(Clarissa Lim)
Memikirkan kembali, betapa mama lebih menyayangi Lucy yang putri kandungnya, di banding aku yang hanya sebatas anak tiri. Melihat perhatian mama pada Lucy, membuatku marah. Tidak peduli alunan musik dari earphone yang aku pasang di telinga, tidak membuatku tenang. Merasakan buku-buku jariku memerah, kepalan tangan yang kuat. Menahan setiap amarah yang membakar tubuhku.
Aku memejamkan mata. Ingin rasanya melupakan peristiwa tadi siang. Tapi tetap saja tidak bisa aku hilangkan. Apa yang aku lihat, membuatku semakin membenci mama.
Lucy Anastasia. Lucy adalah saudara tiriku. Aku dan Lucy berumur sama, hanya terpaut lima bulan lebih tua aku, tetapi bukan berarti aku dan Lucy bisa menjadi saudara dekat. Aku membencinya, sangat membencinya. Karena Lucy, aku membenci mama. Mama Selena, Mama tiriku yang sudah merawatku dan Kak Chenoa.
Siang itu, aku sengaja mengikuti mama yang pergi kembali ke rumah sakit, menjenguk Lucy yang masih di rawat di rumah sakit. Lucy di tempatkan di ruang khusus. Aku melihat mama begitu telaten dan mencurahkan kasih sayangnya hanya untuk Lucy. Awalnya aku merasa bersalah dengan kondisi Lucy, mengingatkan aku dengan kejadian dua tahun yang lalu. Aku dan teman-temanku menyakiti, membully, hingga membuat mental Lucy hancur. Beberapa kali Lucy hampir melakukan bunuh diri, untungnya Lucy terselamatkan. Itu juga karena perbuatanku sendiri sebagai saudara tiri.
Mama tidak pernah tahu kalau aku lah pelaku atas penyebab Lucy menjadi seperti ini. Aku diliputi rasa bersalah yang besar, terlebih saat aku mengajaknya pergi mengendarai mobil berdua. Aku dan Lucy terlibat kecelakaan. Entah itu anugerah atau sebuah musibah, aku selamat dan hanya mengalami luka kecil dalam kecelakaan. Berbanding terbalik dengan Lucy yang mengalami luka serius. Lucy mengalami gangguan fatal di tulang belakangnya, hingga lumpuh dan koma sampai sekarang. Untungnya, saat itu hanyalah sebuah kecelakaan yang tak di sengaja. Tapi, melihat Lucy yang sampai sekarang terbaring dan kemungkinan akan lumpuh selamanya, membuatku semakin merasa bersalah.
Hatiku semakin diaduk-aduk, dengan perasaan yang tak menentu. Aku membuka mataku, mendengar mama menghampiri aku yang sedang bermalas-malasan, berbaring di sofa.
"Cla, kamu buat masalah apa lagi?"
Aku tidak mendengarkan mama, sibuk mendengarkan musik. Mama semakin geram dengan perilaku aku. Merebut paksa earphone di telingaku. Aku marah, hingga membentak mama.
"MAU MAMA APA?!"
"Cla, mama tidak pernah mengajar mu membentak?!" Mama terkejut.
"Ajaran mana yang Mama berikan kepadaku? AJARAN MANA? MAMA HANYA SIBUK UNTUK LUCY."
Marah dan sedih. Biasanya aku tidak emosional seperti ini. Rasa marah yang bercampur dengan kesedihan, hingga aku merasakan air mata jatuh ke pipi. Saat ini lah aku mengeluarkan semua isi hatiku di depan wanita yang menyandang status sebagai ibu sambung. Sosok ibu yang begitu aku rindukan. Aku jadi rindu dengan Bunda Dayana, bunda kandungku yang sudah lama meninggal.
"Dari aku kecil, Mama lebih banyak meluangkan waktu hanya untuk Lucy. Apa pun yang Lucy inginkan selalu Mama kabulkan. Sedangkan aku, hanya ingin Mama hadir diulang tahunku. Mama tidak pernah hadir untuk aku. Dan sekarang..." Kata-kataku tersangkut di tenggorokan, sangat sulit sekali memberitahukan perasaanku yang sebenarnya. "Mama lebih mementingkan Lucu dari pada aku, hanya sebatas anak tiri."
"Mama tidak seperti itu, sayang. Mama sayang sama Cla, selalu sayang." Mama menangis dan memelukku. Putri tiri yang tidak di harapkannya. Aku tidak butuh pelukan mama. Aku melepas pelukan mama dan mendorong mama kasar hingga jatuh ke sofa.
Melihat tatapan sendu mama. Tentu saja mama kecewa dengan sikap kasarku ini. Mama berusaha dan mencoba bersikap selayaknya seorang ibu, untuk aku dan Kak Chenoa, tetapi mama tidak bisa sepenuhnya mencintai kami seperti anak kandung.
Dari pada aku semakin marah dan semakin menyakiti hati mama, seperti aku menyakiti Lucy. Aku memutuskan pergi keluar malam-malam.
"Cla, mau kemana? Ini sudah malam."
Mama terus menghentikan aksiku yang ingin pergi dari rumah. Percuma, Mama berusaha mempertahankan aku. Aku sudah bertekad dengan pendirianku, pergi dari rumah.
Berkeliaran di tengah malam, aku tidak tahu akan pergi kemana. Aku putuskan menenangkan diri di taman favorit ku. Saat itu lah, aku tak sengaja bertemu dengan Noah. Aku tidak tahu kalau laki-laki bodoh itu juga sepertinya sedang ingin menenangkan diri, membutuhkan tempat ini. Noah sepertinya tidak ingin berselisih denganku dan bersedia mengalah. Aku tidak peduli.
Aku bosan, kembali pulang. Tak sengaja aku hampir tertabrak sebuah truk. Aku yang sedang dalam mood tidak baik, melabrak dan marah-marah pada supir tua itu. Noah, si bodoh itu menengahi aku dan supir tua itu. Satu hal yang membuat aku terkejut. Ternyata aku ditarget tumbal balas dendam oleh seseorang.
Terkejut dan tentu saja aku tidak mungkin percaya. Tapi aku pernah mendengar sebuah kutukan seperti itu, termasuk dalam ilmu hitam. Profesor Erza yang menjelaskan saat mata pelajaran 'Pandangan Ilmu Hitam'. Hanya Spirit Magis beraliran 'Ilmu Hitam' yang melakukan tindakan keji, menggunakan benda seperti itu. Tapi siapa yang telah mengutuk aku? Aku sendiri masih tidak percaya.
"Kamu jangan main asal mengarang ya. Aku dikutuk sama seseorang?" Alisku terangkat ke atas.
"Ya sudah, kalau kamu tidak percaya. Sebaiknya aku pulang ke rumah, tidur di kasur empuk. Biarkan kamu diteror rasa penasaran."
Kalau di pikir-pikir lagi.
Aku menarik kerah jaket Noah, hingga dia tercekik kesakitan.
"Woy, Cla. Kamu mau bunuh aku?!" Noah meronta-ronta, karena aku menarik kerah jaket si bodoh itu.
"Buktikan, kalau ini benar," kataku angkuh dan melepaskan kerah jaketnya.
Noah tersungkur ke tanah, dengan wajah mencium aspal jalanan. Ciuman pertama Noah adalah aspal jalanan. Senang saja menjahili si bodoh ini. Lihat, wajahnya yang memerah dan menatapku galak. Aku tidak takut padanya.
"Profesor Erza pernah mengatakannya, saat mata pelajarannya."
"Tumben kamu pintar?" kataku, meledeknya.
"Aku ini pintar tahu," kata Noah garang.
Aku tidak peduli. "Buktikan!" Aku menekankan satu kata itu.
"Ikut aku."
"Ikut kemana? Mau apa-apakan aku?"
"Mana mau, aku bersama gadis singa seperti kamu?!."
Laki-laki bodoh ini. Dia mau ajak bertengkar denganku. Aku tidak peduli, mencengkram kerah jaketnya dan menyudutkan Noah. Ryan benar, si bodoh ini senang sekali memancing emosi seseorang.
"Kamu mau tahu yang sebenarnya atau mau bertengkar denganku?"
"Cla, sakit tahu," teriak Noah. "Mau ikut tidak? Kita tanya ke Profesor Erza."
Aku menimbang-nimbang dan akhirnya, aku melepas cengkraman tanganku dari kerahnya.
Setelah memastikan sopir itu baik-baik saja dan bisa kembali melanjutkan perjalanannya, aku juga malas jika harus berurusan langsung ke kantor polisi. Dunia Magis dan Non Magis berbeda sekali, apa-apa jika ada masalah harus lapor ke polisi. Kali ini, aku memaafkan sopir itu. Janji Noah padaku, memberi tahu maksud dari tumbal balas dendam atau kutukan yang menargetkan aku. Mau tidak mau aku ikut bersama Noah, menaiki motor yang tak selevel denganku, yang kemana-mana naik mobil. Hanya kali ini saja, aku menurutinya menaiki motor jeleknya.
***
Lima belas menit selama di perjalanan. Kami berhenti di sebuah gedung apartemen. Aku tahu tempat ini, kediaman Profesor Erza. Aku berjalan di belakang Noah, ikut masuk ke dalam lift. Noah menekan tombol lantai lima dan berselang kemudian, kami sudah berada di lantai lima. Tepat di pintu bertuliskan 'Unit 1023'. Menekan bel dan seseorang keluar dari dalam.
"Ini sudah jam satu dini hari, Noah. Apa kamu ingin mendapat mata pelajaran tambahan?"
Seorang wanita, berkisaran usia tiga puluhan membukakan pintu. Wanita itu masih terlihat mengantuk dan memakai baju tidur. Meski masih terlihat mengantuk, wanita itu terlihat cantik dan ramah.
"Profesor Erza, saya dan Clarissa ingin bertanya pada anda."
"Mau tanya apa kalian berdua ini? Masuk dulu ke dalam."
Profesor Erza yang ramah, mempersilahkan aku dan Noah masuk ke dalam, dan duduk di sofa. Profesor Erza tinggal di sebuah apartemen, terlihat minimalis dan penuh dengan buku-buku berisi buku ilmu hitam dan kutukan. Memang tepat Noah membawaku ke sini, Profesor Erza yang paling tepat, karena beliau yang paling tahu soal ilmu hitam dan kutukan.
"Noah, Clarissa, kenapa kalian ke sini?" tanya Profesor Erza, menatap kami.
Tanpa berbasa-basi, Noah memperlihatkan boneka kain dan topeng wayang pada Profesor Erza. Wanita itu mengerutkan dahinya, seperti orang yang kaget.
"Anda tahu dengan benda ini?"
"Kamu temukan benda ini dimana, Noah?"
Noah menceritakan bagaimana saat aku hampir saja tertabrak truk yang tiba-tiba hilang kendali, lalu menemukan dua benda aneh di dalam truk.
"Anda pernah menjelaskan, kalau benda-benda ilmu hitam seperti ini kemungkinan adalah wadah sebuah ritual, termasuk kutukan untuk orang yang di target."
"Boneka ini contohnya, ritual untuk tumbal balas dendam. Sedangkan topeng ini, kemungkinan milik orang yang menargetkan Clarissa. Cla, apa kamu punya masalah dengan seseorang?"
Tentu saja. Aku punya masalah dengan banyak orang yang sudah aku singgung. Semua orang membenciku, menganggap ku anak manja, suka menindas yang lemah. Tanpa aku jawab pun, Profesor Erza tidak bertanya lagi padaku. Beliau tahu sifat ku seperti apa, sebagai mahasiswanya.
"Topeng ini adalah identitas milik seseorang yang menargetkan mu, Cla. Yang sudah pernah saya jelaskan, bahwa Spirit Magis yang beraliran ilmu hitam, cenderung memakai benda-benda berbahaya seperti ini, untuk menyerang seseorang."
Alis mata Profesor Erza mengkerut dan memandangku, dengan raut khawatir. "Cla, sebaiknya kamu berhati-hati. Jika kamu menemukan benda seperti ini lagi, berada di dekatmu. Beritahu saya, dengan begitu saya akan minta bantuan pada Nyonya Karin, Kepala Akademik dan Profesor Lucius. Yang terpenting kamu harus berhati-hati, jangan menyinggung siapapun."
Seperti sebuah peringatan. Aku menganggukkan kepala.
Aku dan Noah berpamitan. Di parkiran, Noah terus menatapku aneh.
"Kenapa kamu lihat aku?" kataku ketus.
"Dari pada cari musuh, jadinya malah karma berbalik padamu," kata Noah, yang sengaja sekali mengejek aku.
Kesal, aku menginjak kaki Noah. Noah melompat-lompat seperti monyet, memegang kakinya yang aku injak.
"Cla, sakit tahu."
Aku tidak peduli dengan rengekannya, menyambar helm di atas motor. "Tanggungjawab, antar aku pulang."
Noah mau tidak mau, terpaksa mengantar aku pulang.