(Ryandra Lim)
Hari ini aku mulai pindah ke Penthause, beberapa barang-barangku sudah diangkut. Suwon Palace, tempat ku tinggal saat ini adalah hunian berkelas, dengan beberapa fasilitas mewah. Tentunya aku yang memiliki Penthause dan Suwon Palace. Pemberian hadiah ulang tahunku yang ke 18 tahun dari papa.
Ya, umurku kini menginjak 18 tahun. Aku terbilang masih muda, bisa memiliki gedung mewah ini. Jangan salah, keluargaku kaya raya. Mama dan papa seorang pebisnis, mereka begitu sibuk dengan pekerjaan mereka, sampai-sampai mereka tidak memperhatikan aku dan kedua kakak-kakakku. Yang terpenting kami bisa hidup enak.
Saat aku berjalan di lobby saja, beberapa orang yang mengenalku, mereka serempak membungkukkan badan, hormat padaku yang sebagai anak konglomerat. Bukannya bangga dan nyaman, melainkan aku tidak nyaman dengan sikap mereka.
Aku mentap kartu lift khusus, masuk ke dalam lift dan tanpa menekan tombol, fitur lift ini sudah diakses ke kediamanku yang berada di lantai 50. Aku tidak begitu bosan di dalam lift, aku bisa melihat pemandangan di dalam gedung, orang-orang yang berlalu-lalang. Lumayan ramai juga, karena di samping Suwon Palace ada Suwon Mal yang terhubung dengan kediamanku. Aku memang pemilik gedung ini, tetapi mal itu milik papa.
Lift berhenti dan aku sudah berada di tujuanku. Aku belum menyusuri bagian-bagian Penthause, tetapi aku langsung masuk ke kediamanku. Aksitektur yang megah dan artistik, belum lagi perabotan modern dan berteknologi. Pertama, aku melihat-lihat ruang tamuku yang luas, para pelayan sedang menata sofa. Di ruang tamu ini aku bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari kaca jendela besar. Setelah puas melihat-lihat pemandangan dari kaca jendela, aku melihat di sudut dinding, sebuah layar tv lcd besar yang tertanam di dinding.
Aku menjelajahi setiap sudut rumah baruku. Di ujung lorong, tepat di samping ada sebuah pintu menuju ruangan lain. Aku buka pintu itu dan masuk ke dalam, ternyata banyak sekali rak-rak berisi buku-buku. Papa tahu saja kalau aku sangat suka membaca buku, tempat ini disulap menjadi ruang perpustakaan pribadi. Setelah puas melihat-lihat perpustakaan. Aku berjalan berlawanan arah, di samping ada kolam hiasan. Aku melihat ruang dengan pintu besar. Aku tidak tahu ruang apa ini.
Masuk ke dalam, ada meja kerja di sudut dan ada miniatur gedung Suwon Mal, di samping sofa. Dulu papa pernah tinggal di sini, karena memutuskan pindah lagi ke rumahnya, tempat ini disewa ke orang lain. Dan sekarang, aku menjadi pemilik Penthause, hadiah dari papa.
Aku melihat sekeliling ruang kerja, tanpa sadar aku merasakan sebuah buku terjatuh dari rak buku di belakangku. Aku menoleh ke belakang, mengambil buku yang terjatuh. Aku kembalikan buku itu ke rak, tetapi aku melihat sebuah tombol di ujung rak.
Tombol apa ini?
Aku sangat penasaran sekali. Aku tekan tombol itu. Ternyata lemari rak buku ini menjadi pintu rahasia di belakang. Rak pintu terbelah, bergeser sendiri. Aku melihat sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati. Membuka pintu itu, ternyata di balik pintu itu ada ruangan lain. Aku masuk ke dalam, di sambut dengan berbagai koleksi yang tentunya aku mengenal koleksi ini. Semua koleksi topeng ini milik papa yang belum semuanya dipindahkan, masih ada beberapa yang di tinggal di sini. Ternyata ada ruangan lagi, aku melewati tirai dan di dalam hanya ada beberapa barang.
Aku melihat sebuah topeng aneh terbingkai di dinding. Seperti topeng wayang berwajah manusia, tetapi yang ini beda sekali. Guratan bibir merahnya yang tersenyum terlalu lebar, matanya menyipit seperti bulir padi dan tanduk panjang dan tajam yang mencuat. Aku tidak tahu jenis topeng wayang apa ini.
Aku kembali keluar, tetapi aku tidak menyadari ada sosok yang menatapku dari celah lubang topeng. Karena aku tidak menyadarinya dan langsung keluar. Di ujung hanya ada dinding, tetapi aku melihat sebuah boneka kayu wayang khas adat Jawa. Aku mengenalnya dengan wajah yang merah dan dua gigi kelinci dengan senyuman ke atas, memakai pakaian hitam dan sarung yang melingkar miring. Wayang Cepot itu seukuran manusia, berdiri di pojokkan. Aku mengamati patung itu, setiap wajahnya yang entah kenapa tatapannya membuat aku takut, karena ukurannya yang menyamai orang dewasa.
Meraba-raba wajah itu, hingga gigi-giginya yang seperti gigi kelinci. Tak sengaja aku menekan salah satu giginya hingga masuk ke dalam. Aku melihat dinding di hadapanku bergeser ke samping. Ternyata dinding ini adalah pintu rahasia dan boneka wayang Cepot ini adalah tombol membuka pintu. Di balik dinding pintu ini ada sebuah lorong panjang, entah menuju kemana. Di dalam lorong itu cahaya remang-remang.
Aku berjalan perlahan-lahan. Aku penasaran dengan apa yang ada di ujung lorong ini. Saat aku berjalan, aku merasakan ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Aku teruskan kembali berjalan di lorong, tetapi, tetap saja aku merasakan seseorang mengikutiku. Aku menoleh kembali ke belakang, kedua kalinya tidak ada siapa-siapa. Aku kembali melanjutkan perjalananku yang tertunda, meski di setiap langkah kakiku, sosok di belakangku terus mengikutiku.
Sampailah di sebuah pintu kayu besar. Pintu itu sama seperti pintu masuk ruang rahasia. Tapi di pintu ini banyak sekali tulisan-tulisan yang tidak aku kenali. Aku membuka pintu itu, tetapi tidak bisa di buka. Ada cela lubang kunci di situ, tetapi aku tidak menemukan kunci pintu ini. Sepertinya pintu ini di kunci dan aku tidak tahu dimana kuncinya.
Merasa perjalananku sia-sia saja. Aku putuskan kembali keluar.
Tapi, aku menoleh kembali ke dua buah pintu kayu besar itu. Benar saja, aku sangat penasaran sekali. Tapi ya sudah, mau bagaimana lagi. Aku kembali keluar dan rak buku kembali bergeser menutup pintu di baliknya, seperti sedia kala.
***
Bel pintu menyala. Sepertinya ada tamu. Aku membuka pintu, melihat siapa pengganggu di hari pertamaku pindah rumah. Eriska, kekasihku dan sahabatnya, Sarah datang, dan terakhir, Si Bodoh ini. Noah dengan wajah menyebalkannya.
"Kenapa kamu ke sini?" tanyaku tak bersahabat.
Noah menjulurkan lidah, seperti anak kecil. "Apa aku tidak boleh ke tempat tinggal kamu? Punya rumah baru, enak aku berantakan."
Aku mendengus seba. Pastinya dia akan berbuat ulah lagi. Tapi ya sudah, aku biarkan saja si bodoh itu bermain di rumahku, hitung-hitung aku sedang bermurah hati dengannya. Aku mempersilahkan mereka bertiga masuk ke dalam. Makanan tersaji di meja, dua pelayan menghidangkan makanan di meja. Aku mempersilahkan mereka mencicipi hidangan, sesekali mengajak Eriska, Sarah dan Noah makan malam di rumahku.
Noah seperti orang yang sudah dua hari tidak makan sama sekali, sampai air liur yang hampir menetes. Matanya pun berbinar menatap makanan berkelas di depan mata.
"Hei, bodoh. Makan yang sopan." Sarah menjitak kepala Noah yang langsung mengadu kesakitan.
Sarah dan Noah, mereka cocok jika jadi pasangan. Noah yang selalu mengejar cintanya Sarah dari dulu dan sampai sekarang, selalu ditolak mentah-mentah. Melihat mereka berdua ribut saat makan. Terkadang Eriska melerai pertengkaran mereka berdua.
Aku, Eriska, Sarah dan Noah, kami berteman dari kecil dan kami bahkan masuk akademik yang sama. Tidak menyangka kalau Eriska, Sarah dan Noah, mereka memiliki kekuatan unik yang tidak miliki orang biasa.
Selesai sarapan. Noah seperti biasa, dia anak yang rusuh, menjelajahi segala macam isi di dalam rumah baruku. Dari pada dia mengacau, aku mengikutinya sembari menggerutu. Aku dan Noah ke lantai dua, dari lantai dua ini aku bisa melihat pemandangan luar dari kaca jendela besar dan di bawahnya, ruang tamu dan ruang makan. Noah main asal masuk saja ke kamarku, dia langsung merebahkan diri di tempat tidur besarku, menikmatinya begitu nyaman, seakan dia tidak pernah mendapatkan kemewahan selama hidup.
"Nyaman sekali. Sudah dua kali aku bermain ke rumah kamu, sekarang ke rumah baru kamu. Tempat tidur kamu nyaman sekali."
Aku hanya diam saja, tidak menanggapi ucapan Noah. Melihat si bodoh ini nyaman sekali, seulas senyum terbentuk di bibirku.
"Dunia ini penuh orang-orang dewasa yang kejam, tapi aku senang punya teman." Noah melirikku dan berkata, "kamu ingat tidak, waktu itu aku dan kamu main ke rumah sepupu kamu. Aku dituduh mencuri barang mahalnya dan kamu membela aku. Tapi, tetap saja aku dapat hukuman dari Paman dan Tante aku, sampai aku di kurung di gudang. Kamu sekali lagi selamatkan aku."
Ya, aku ingat kejadian setahun yang lalu. Saat aku dan Noah main ke rumah sepupuku, Clarissa, anak dari Paman Jay dan Tante Selena. Awal mula itu juga aku melihat kekuatan Noah yang sebenarnya. Noah juga seorang spirit magis, sama seperti aku. Hanya saja, dia terlalu bodoh dan tidak becus dalam menggunakan kekuatannya. Payah selama mengikuti pelajaran pelatihan, membentuk kekuatan magisnya terlalu lambat. Tapi, kali itu, hal unik terjadi pada Noah.