webnovel

Jembatan Dua Dunia

(Sebastian Xu)

Di sekeliling tempat sudah bukan lagi sel penjara. Melainkan berada dipembatas antara dunia manusia dan dunia lain. Sekeliling tempatku sebuah ruangan yang besar, pilar-pilar menjulang tinggi dan pipa-pipa yang saling tersambung di atas, memanjang entah dari mana sampai kemana. Ini seperti berada di bawah tanah. Kakiku tergenang air sebatas mata kaki, genangan air ini bening sekali, aku bisa melihat pantulan wajahku. Suasana dan cahaya di tempat ini berbeda, cahaya hijau yang entah berasal dari mana, memancar di sekeliling tempat.

Aku melihat Anaya berada di ujung menundukkan kepala, rambut panjangnya menutupi wajah, tangan yang terkulai ke bawah. Melihat sosok wanita bergaun merah di belakang Anaya. Wanita itu menampilkan senyum mengejek dengan rona merah darah di bibir, mata yang cekung dan menghitam. Wanita bergaun merah itu menampakkan diri.

"Tidak menyangka, seseorang sepertimu berani masuk ke dunia ini, selain dunia Non Magis dan dunia Magis."

Tawa wanita bergaun merah itu melengking, bercampur tawa-tawa yang entah datang dari mana. Wanita bergaun merah memain-mainkan kukunya yang panjang, lidahnya terjulur ke luar, seperti seekor ular.

"Kegelapan, sangat menyenangkan sekali. Terutama, untuk seseorang yang mengalami putusasa. Seperti Anayaku tersayang," ujar wanita bergaun merah mengelus sayang rambut Anaya.

Aku tak bergeming sedikit pun dari tempat, tidak ingin bertindak gegabah. Anaya yang aku lihat saat ini berbeda dengan Anaya sebelumnya. Anaya sekarang sangatlah berbahaya. Aku bisa merasakan aura dan kekuatan gelap yang menyelimuti wanita itu. Sedangkan sosok wanita bergaun merah di samping Anaya. Aku tidak bisa merasakan energinya. Entah wanita itu berpihak pada Anaya atau tengah menjerumuskan Anaya ke dalam kegelapan.

"Kamu yang selama ini berada di dekat Anaya?" tanyaku tenang.

Wanita itu memain-mainkan rambut Anaya. "Antara ia atau tidak. Anaya sendiri yang memilihnya, aku hanya mengunjunginya, tak kala dia merasa putusasa."

"Pada akhirnya. Sisi kegelapannya yang mengendalikannya, karena dirinya yang lain menyayanginya, menyayangi lebih dari siapa pun." Wanita itu begitu dekat dengan wajah Anaya, lidahnya yang panjang menyapu kulit wajah Anaya. Aku melihatnya sangat jijik sekali.

"Anaya yang malang, harus hidup bersama ayahnya yang kejam, menyiksanya tanpa ampun. Anak-anaknya yang lucu, ikut tersiksa. Memang, dari pada tersiksa lebih baik anak-anak lucu itu tertidur selamanya."

Wanita bergaun merah mendekatkan diri di samping Anaya, begitu dekat di telinga.

"Lakukan lah apa yang kamu mau. Dirimu sendiri menginginkannya, kematian orang-orang yang sudah menyiksamu dan anak-anakmu."

Kata-kata nan lembut wanita bergaun merah itu bagaikan racun. Anaya yang dari tadi tertunduk, mendongakkan kepala. Aku merasakan aura gelap yang begitu pekat sekali di dalam diri Anaya. Wajah yang memucat dan guratan hitam menjalar ke sekujur tubuh. Bola mata memutih sempurna, sederet gigi-gigi menghitam. Tak kala aku tidak bisa berkata-kata lagi.

Sosok kegelapan dalam diri Anaya, mengambil alih tubuh wanita itu.

Hembusan angin kencang, bercampur pekatnya kegelapan. Tameng gelembung melindungiku dari hembusan angin yang mematikan. Hembusan angin yang bercampur pekat gelap menghilang. Anaya sudah tidak ada di depan mataku. Kecepatan yang tidak bisa aku lihat, jarak yang sangat dekat sekali. Wanita bergaun merah sudah berada di sampingku, sangat dekat sekali. Dia membisikkan sesuatu di telingaku. Aku bisa merasakan napas wanita itu yang sangat dingin sekali, sampai menusuk ke tulang.

"Kamu tidak akan bisa menyelamatkannya. Sisi tergelapnya yang sangat begitu menyayangi Anaya. Jangan buang-buang waktu melihat kenangan indah, semuanya hanya kepalsuan."

Aku menatap tajam mata wanita itu. Wanita bergaun merah itu tertawa lepas dan menghilang di balik kegelapan. Ruang-ruang yang mirip seperti ruang bawah tanah kian menghilang. Pilar tinggi menghilang, pipa-pipa yang menjalar di atas kian menghilang dan genangan air mulai surut. Redup cahaya bergantikan suasana sel tahanan yang kembali seperti semula.

Mataku menatap sekeliling. Aku melihat jeruji besi yang telah rusak, seperti ada yang menjebolnya. Bukan manusia biasa, melainkan entititas lain. Pak Ridwan dan dua anggota polisi tergeletak di lantai, mereka mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh. Aku mendekati Pak David. Pria berusia 50 tahun itu mencoba berdiri, meski darah mengucur di kepala.

"Anda baik-baik saja?" tanyaku yang sangat khawatir.

Beberapa petugas polisi mulai berdatangan, menyelamatkan dua anggota polisi mereka yang terkapar di lantai.

"Wanita itu tiba-tiba mengamuk saat anda diam saja. Dia mengamuk kesana-kemari, melukai saya dan dua rekan saya."

Aku membawa Pak David duduk di bangku yang sudah disediakan, menenangkan pria itu yang masih sedikit terguncang, tetapi masih bisa menjelaskan kronologi sebenarnya selama aku berada di dunia lain.

"Lalu, Anaya sekarang kemana?"

"Wanita itu mengamuk, sembari menyebut nama ayahnya dan pergi begitu saja."

Mungkinkah target selanjutnya adalah ayahnya Anaya?

Aku segera mengejar Anaya. Sebelum itu, tanganku di tahan Pak David.

"Pak Bash, saya tidak mengerti dengan semua ini. Sesuatu yang sangat sulit saya percaya. Di zaman yang sudah modern seperti ini, selalu ada sesuatu yang tidak saya pahami. Orang-orang seperti anda yang memiliki kekuatan dan kami, yang hanya orang biasa. Kami selalu memandang kalian aneh dan berbahaya. Menganggap dunia ini cukup di huni orang-orang normal seperti kami. Tapi kehadiran anda, sebagai salah satu dari mereka. Saya benar-benar tidak mengerti. Salah satunya adalah Bu Anaya, dia seperti anda."

"Memang sangat sulit dipahami oleh anda, apa lagi kalian yang tidak percaya dengan orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu. Mereka lebih banyak diam, bersembunyi atau tidak ingin menunjukkan kekuatan mereka dihadapan kalian. Kalian menganggap mereka bahaya dan mereka menganggap kalian lemah. Semuanya selalu ada sisi baik dan buruknya. Tapi yang saya yakinkan, kekuatan saya ini akan dipergunakan untuk kebaikan." Aku menjelaskan pada Pak David, orang yang selama ini begitu dekat denganku dan keluargaku. Orang yang sudah aku anggap seperti sosok ayah untukku.

Orang-orang seperti aku yang memiliki kekuatan, selalu di pandang aneh dan berbeda oleh orang-orang biasa. Mereka tidak tahu saja, masih ada banyak orang-orang yang memiliki kekuatan. Mereka tidak ingin menunjukkan dan lebih memilih menyembunyikan kekuatan mereka.

Aku berlari keluar dari kantor polisi. Segera masuk ke dalam dan menjalankan mobil. Dengan kecepatan tinggi, aku bergegas menuju rumah Pak Inara, ayahnya Anaya. Kemungkinan sisi gelapnya Anaya ingin balas dendam ke Pak Inara yang telah menyakitinya, di tambah provokasi dari sosok wanita bergaun merah. Dengan berbekal informasi yang aku dapat dalam waktu singkat, aku bisa tahu dimana keberadaan rumah Pak Inara.

Perjalanan yang memakan waktu cukup lama, ditambah kemacetan di sepanjang jalan. Aku membanting stir ke kiri, melewati jalan pintas. Pak Inara tinggal di daerah terpencil, jarak dari ibu kota cukup jauh. Beberapa kali aku melewati hutan dan rumah penduduk. Hingga sampai lah aku di sebuah desa. Menjelang sore hari. Aku berhenti di sebuah rumah besar, berdiri sendiri di area kanan dan kirinya hanya pepohonan. Jarak dari rumah warga cukup jauh.

Aku menatap bangunan besar itu. Sepintas aku bisa melihat kilatan gambar yang terekam jelas dikepalaku. Seorang pria paruh baya, berbadan gemuk dan kepala botak menyiksa seorang anak perempuan. Setelah itu muncul lagi gambaran yang sama. Pria gemuk itu menyiksa seorang wanita. Wajah wanita itu mirip sekali dengan Anaya. Rambut hitam sebahu, memiliki lesung pipi yang cantik dan wajah yang ayu khas orang Jawa. Aku teringat dengan wajah anak kecil yang disiksa. Mungkinkah anak perempuan itu adalah Anaya? Dan pria tua berbadan gemuk adalah ayahnya Anaya, Pak Inara.

Lamunanku buyar tak kala melihat kaca di jendela lantai dua pecah, pecahan itu berserakan ke bawah. Aku mendengar suara teriakan dan suara tawa wanita di dalam, menjelang malam. Lampu-lampu di sekitar mulai menyala, tidak dengan rumah besar itu.

Aku berlari masuk ke dalam. Di dalam rumah selain luas, banyak sekali beraneka koleksi patung di setiap sudut ruang. Aku mencari saklar lampu, menemukan saklar lampu dan menyalakan. Seketika ruangan di sekitarnya menyala.

Aku mendengar suara pecah belah dan suara gaduh di lantai atas. Aku berlari menaiki tangga. Saat kakiku melangkah di lantai atas, sebuah meja panjang terbang ke arahku. Aku bergegas menghindar. Meja itu terjatuh ke lantai bawah, hancur dan patah menjadi dua. Pria berbadan gemuk, Pak Inara berada di tembok dengan memegang sebuah vas bunga. Di hadapannya, Anaya yang aku lihat sebelumnya dengan sekarang berbeda sekali. Sosoknya yang berparas cantik, berubah sembilan puluh derajat. Wajahnya penuh kerutan dan guratan hitam yang menjalar ke sekujur tubuh, bola matanya putih sempurna. Anaya tertawa melengking dan seperti cicak yang merangkak di atas tembok, merangkak hingga ke atap langit. Memandang penuh kebencian pada Pak Inara.

Siguiente capítulo