webnovel

BAB 21 : Kurang Kasih Sayang Orang Tua

Seorang guru berusia empat puluh tahunan, hampir menginjak usia paruh baya. Wajahnya yang lonjong seperti papan kayu yang kokoh tapi banyak memiliki rongga. Apalagi di bagian pipinya, yang terlihat sangat cekung dan tidak sehat. Matanya tidak pernah terbuka sepenuhnya, hanya terbuka setengah saja. Jadi guru itu terkesan sedang mengancam, sedang mengintai dalam marah.

"Anak-anak itu belum datang, Bu?" tanya salah seorang guru, yang terlihat ramah dan baik hati. Tapi ketika melihat guru yang tirus itu, dia mengurungkan niatnya. Apalagi ketika melihat pose guru tirus itu yang menautkan kedua tangannya yang memiliki jemari panjang dan pucat. "Saya pergi dulu."

Guru ramah itu segera pergi ke mejanya dimana seorang guru yang lain sedang duduk dan mengerjakan sesuatu.

"Ada apa?" tanya guru satunya, yang memiliki ciri rambutnya agak ikal dan pendek. "Kena semprot lagi?" Suaranya semakin rendah saja.

Guru ramah tadi menggelengkan kepala sembari meletakkan jari telunjuk di depan bibir, tanda kalau rekan kerjanya itu harus diam dan tidak banyak bersuara.  "Sepertinya Bu Galih sedang tidak dalam kondisi baik."

"Benarkah?" longok guru ikal tadi, mengamati guru sangat tirus itu, Bu Galih, yang menjadi senior di ruang BK itu. "Apa dia sakit? Tapi sepertinya tidak. Hatinya saja yang sakit. Mungkin karena Stella dan teman-temannya belum juga sampai di sini. Hah, anak-anak bandel itu. Mereka selalu saja membuat masalah. Kenapa sekolah masih memberikan mereka kesempatan sih untuk bisa bersekolah di sini?"

"Mungkin saja…" Guru ramah itu mengedikkan bahu karena tidak bisa menemukan kemungkinan yang tepat. "Mungkin saja karena sekolah memang memberikan mereka kesempatan."

Stella dan teman-temannya memang sudah terkenal kebandelannya. Tidak hanya di kalangan murid tapi juga di kalangan guru. Tapi meski begitu Bastian dan Bisma tidak pernah benar-benar tahu kalau Stella yang ada di sekolahan mereka adalah orang yang mereka sukai.

Wah, dunia ini memang penuh dengan misteri.

Tak lama kemudian pintu ruangan BK pun berderit terbuka, menyusul empat siswi yang masih duduk di kelas X kini masuk ke dalam. Mereka tampak takut, kecuali satu anak saja, yaitu Stella.

Setelah menyelesaikan masalah dan juga bisa bersembunyi dari Bastian, Stella dan teman-temannya segera bergegas ke ruang BK. Tidak ada masalah berarti yang mereka hadapi di sepanjang perjalanan jadi mereka bisa sampai dengan tanpa kurang sesuatu apa pun.

Stella mendongakkan wajah, terlihat sangat angkuh dan juga kurang berpendidikan. Sementara teman-temannya mendelik di belakang punggung Stella, terutama Lisa yang cemennya bukan main.

Naura dan Raya berusaha sekuat tenaga untuk membangkitkan keberanian mereka. Tapi apa daya, saat melihat Bu Galih nyali mereka menciut seketika. Bahkan kini mereka saja berpegangan tangan dengan erat.

"Bu Galih kok bisa serem gitu sih?" bisik Naura dengan gugup, yang saat ini mencengkeram tangan Raya dengan cukup kencang. "Wajahnya juga nyeremin gitu. Matanya seperti sedang mengintai, dan pipinya tirus banget. Aduh, serem banget! Kita kan anti ke ruang BK, tapi sekarang kenapa malah masuk ke sini?"

Stella tidak menggubris saat mendengar protes dan rengekan dari Naura. Gadis itu tetap berjalan dengan tegak dan berani seolah tidak ada badai apa pun yang bisa mengalahkannya, apa pun itu.

Sekarang mereka semua sudah berada di depan meja Bu Galih, yang seakan menjadi singgasana. Jemarinya yang pucat masih bertaut seperti tadi.

Memimpin teman-temannya, Stella masih berdiri tegak di depan meja itu, menunggu untuk dipersilakan untuk duduk.

Dipersilakan? Sepertinya kata itu kurang cocok untuk mendeskripsikan kondisi mereka saat ini. Apalagi mereka sampai di situ kan karena dipanggil akibat kenakalan yang telah mereka lakukan.

Bu Galih tidak banyak berbicara. Bibirnya yang tipis dan hampir pucat tidak bergerak sedikit pun, begitu juga tubuhnya. Satu-satunya yang bergerak hanya matanya saja yang saat ini mengamati Stella dan kawan-kawannya.

"Duduk kalian!" perintahnya. Suaranya ternyata lebih ringan dari yang terlihat. Bahkan juga terkesan agak lembut. Tapi jangan salah, kalau sudah membentak Bu Galih tidak ada tandingannya di sekolah itu. Bahkan guru lelaki pun tidak bisa menyaingi kekuatan suaranya yang mengesankan.

Stella dan teman-temannya pun duduk di kursi yang berada di depan Bu Galih. Tapi karena jumlah kursinya tidak banyak jadi ada beberapa yang berdiri. Dan orang itu adalah Lisa.

Dan karena tau Lisa anak baik, guru ramah tadi mencari kursi untuk diduduki Lisa. Sekarang The Angel Wings sudah duduk semua, siap menunggu untuk mendapatkan putusan hukuman.

Bu Galih belum bicara apa pun, kecuali matanya yang seolah mengoyak empat anak itu. Alisnya yang kecil tapi tebal sesekali naik.

"Langsung saja pada intinya," kata Bu Galih yang berbicara dengan intonasi cukup pelan. Tapi entah kenapa itu justru menambah kesan horror di hati anak-anak yang ada di depannya, kecuali Stella. "Kalian sudah membuat kakak kelas kalian masuk rumah sakit. Apa kalian tahu itu?"

Raya, Naura, dan Lisa saling lirik. Tapi mereka tidak berani menjawab sedikit pun. Mereka seperti mati kutu, hanya menunduk tanpa banyak bicara.

Guru ramah di sudut ruangan menggelengkan kepala. "Ckckck, sebenarnya anak-anak itu tidak punya banyak nyali. Tapi karena mereka bergerombol jadi mereka berani menindas siswa yang lain. Kalau dipisah sebenarnya mereka juga penakut."

"Ya begitulah, Bu, anak-anak. Mereka terlalu berpikir dangkal. Kalau sudah terlanjur, baru menyesal."

Stella memandang tegas pada Bu Galih. Tidak ada tatapan takut di mata gadis itu. "Iya, Bu, kami memang melakukannya."

"Hah???" Teman-teman Stella tersentak kaget. Kenapa Stella justru mengaku? Seharusnya dia tidak mengaku kan? Apalagi saksi mata sangatlah kecil. Kakak kelas tadi juga sudah bisa diancam.

Teman-teman Stella tidak tahu apa yang ada di pikiran ketua mereka saat ini.

"Kenapa kalian melakukannya?" tanya Bu Galih lagi tanpa berekspresi, tak berbeda jauh dengan Stella.

"Karena kami ingin melakukannya."

Guru ramah itu berbisik pada guru ikal. "Stella anaknya memang badung. Tapi aku baru tahu kalau mentalnya sekuat itu. Dia anaknya Pak Beni kan? Dokter yang terkenal itu?"

Guru ikal mengangguk. "Pak Beni juga punya beberapa bisnis seperti perusahaan dan kafe. Keduanya sukses besar. Dia bukan anak orang sembarangan. Mungkin karena itu dia berani dan tidak takut sama sekali, karena ayahnya memiliki pengaruh."

"Tapi kalau dipikir kekayaan ayahnya juga tidak terlalu mempengaruhi sekolah. Masih banyak siswa-siswa dari keluarga kaya lainnya. Tapi mereka tidak seperti Stella yang suka membuat masalah. Kira-kira kenapa ya?"

Guru ikal itu mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Sudahlah, Bu, jangan dipikirkan! Nanti kita justru pusing. Anak-anak kan memang begitu, suka nakal, suka berpikir pendek. Lebih baik kita pantau saja mereka. Kalau sudah kelewat batas, baru kita tegur dan nasihati."

"Tapi entah kenapa saya merasa ada sesuatu yang aneh pada Stella, Bu." Guru ramah itu terdiam sembari memandangi Stella. Ada sesuatu yang ingin guru itu tahu. Selain itu dia juga ingin membantu Stella. 'Karena aku merasa Stella ini anak yang kurang kasih sayang orang tua. Tapi apa itu mungkin?'

***

Siguiente capítulo