webnovel

Mengunjungi Rumah Rohani

"Aku rindu sama kamu, Sayang."

"Kapan kamu kembali, aku mau melakukan banyak hal lagi sama kamu, aku sangat sayang sama kamu Fira, gak ada lagi hal yang aku senangi selain kamu."

"Aku cuma mau mengamankan kamu dan tidak bisa menuruti apa yang kamu mau."

Baru saja aku sampai di rumah, dan saat meliat notifikasi di ponsel yang baru kunyalakan, berondongan pesan masuk dari Mas Fadil berlomba-lomba masuk.

Aku mendiamkannya dan mulai membukanya satu per satu. Membaca pesan masuk tersebut membuatku merasa sesak, kenapa dia tak juga pisah denganku. Aku ingin bebas dan lepas darinya.

"Kamu dari mana aja kamu?" tanya Mamah, ketika mendapatiku sedang duduk di ruang tamu.

Aku segera mematikan ponsel lagi dan segera menghampiri Mamah untuk menyalaminya.

Mamah terlihat ceria sekali saat dia menyapaku, ini suatu kemajuan, kuharap tak adda pembahasan tentang Mas Fadil yang aku dengar sekarang. Karena percuma hanya akan ada satu permintaan, yaitu memintaku untuk datang ke sana.

"Aku senang melihat Mamah ceria, apa sudah baik sekarang?" tanyaku sembari melihat dirinya yang sudah lebih segar, meskipun masih terlihat pucat wajahnya.

Mamah tersenyum dan dia menggiringku duduk di ruang tamu. Dia terlihat sangat antusias, tanganku dipegang dengan erat dan dia meenepuk-nepuk telapak tanganku.

"Ada yang mau Mamah kasih tau, dan sayang sekali kamu gak ada tadi, baru pulang sekarang."

"Lalu ada apa, Mah?"

Mamah memasang senyum yang merekah dan wajahnya terlihat semakin sumbringah dengan kesung pipi yang cukup dalam menghias.

"Fadil baru aja datang dan dia membawa seseorang yang mendoakan Mamah. Jujur aja, setelah kamu pergi badan mamah rasanya semakin gak karuan bahkan mamah kembali sesak dan saat mau keluar rumah buat minta bantuan tetangga, Mamah malah melihat Fadil yang baru saja turun dari mobil."

Aku terpaku dan diam saja beberapa saat. Ternyata ini yang menyebabkan pesan masuk itu dan senyuman Mamah.

Aku tak menduuga kalau Mas Fadil berani datang ke sini. Aku juga jadi berandai-andai, kenapa pria itu datang ke sini, memberikan penawar kepada Mamah dari racun yang dia berikan sendiri lewat wanita tua yang menyeramkan tersebut.

"Kenapa dia gak nunggu aku, Mah?" tanyaku mencoba menanyakan yang terjadi kenapa Mas Fadil jauh-jauh ke sini seakan tahu keadaan Mamah yang sedang sakit.

"Katanya dia takut kamu marah, Fir. Dia mau jenguk mamah karena kamu bilang ke dia kalau mamah sakit."

Oke, aku tahu sekarang kalau pria itu mulai mendekatiku lewat Mamah dan cara dia sangat licik. Aku gak akan pernaah mau maafin dia.

"Oke, Mah, sekarang mamah udah sehat, memang siapa orang yang Mas Fadil bawa ke sini buat berobat?" tanyaku.

"Oh, katanya beliau juga kenal sama kamu."

Kepalaku tersa pening mendengar semua ini secara bertubi-tubi. Apa yang telah kulewatkan terasa banyak. Aku tak tahu apa yang terjadi hanya karena pergi beberpa jam dari sini. Sebenarnya apa yang akan Mas Fadil rencanakan.

Apa dia termasuk dari perkumpulan pesugihan wanita yang dipanggil Nyai, tapi kenapa fotonya tidak ada, lalu apa kaitan dia dengan itu semua. Kepalaku terasa berat dan mau pecah.

Aku mau segera masuk ke kamar dan menenggelamkan diri di ranjang rasanya. Akan tetapi, rasa penasaranku ini tak bisa terbendung lagi.

"Siapa orang itu, Mah? Mungkin aku lupa karena orang-orang desa terlalu banyak yang aku kenal, termasuk orang pintarnya."

"Namanya Kiyai Akmal," jawab Mamah.

Aku terdiam dan tak bisa berpikir jernih dengan apa yang telah kudengar. Orang yang kuharap akan membantuku tersebut, ternyata malah berbalik menyerangku.

Dia memang keras sekali kepadaku, tetapi kenapa dengan segala kata-kata penuh dendam yang dia lontarkan untuk Ma Fadil, Pak Bayu dan Bu Putri itu malah tak ada efeknya terhadapku. Ini bukan lagi hal sepele. Aku kembali menemui jalan buntu dan dikuasai keraguan dengan penjelasan Pak Kusumo.

"Mah, sekarang aku senang, Mamah bisa sehat dan bisa jalan dengan lancar. Tapi Mamah harus istirahat, kan?"

Lebih baik aku mengalihkan pembicaraan karena aku sudah tak sanggup lagi dengan segala pemikiran yang telah terjadi denganku.

Semua yang telah Mamah katakan membuatku merasa kesal juga.

"Iya, tapi Mamah mau kasih tahu pesan Fadil. Katanya dia nunggu kamu buat ngehubungin dia dulu, ya. Dia minta maaf. Dia mau kamu kembali lagi dengannya."

Mamah kembali menggenggam tanganku erat, demi menyampaikan pesan terselubung dari Mas Fadil. Aku jadi serba salah, alasan apa yang mau aku katakan dengannya karena aku tidak akan pernah kembali ke Mas Fadil jika masalah ini bersumber darinya dan dia telah melakukan banyak hal untuk mencelakai Mamah serta aku.

"Aku perlu banyak berpikir lagi, Mah, dan aku harap Mamah tahu kalau aku berharap banyak yang terbaik bagi hubunganku dengan Mas Fadil, Mah."

Jawaban ini harus cukup untuk menutup percakapan. Aku sampai tidak bisa berpikir lagi karena kalut dengan keadaan tak terprediksi ini.

"Oke, Mamah akan sampaikan itu ke Fadil, tapi secepatnya kamu harus ada kesepakatan yang tentunya mamah harap tak merugikan siapa pun, Fira."

Wanita yang mengenakan daster itu bangkit dari sofa, dia mengacak rambutku seperti saat masih kecil, kemudian pergi dari meninggakanku yang baru bisa bernapas lega setelah sendrian.

Aku melihat kembali ponsel dan membaca pesan baru yang masuk dari Mas Fadil.

"Aku harap, Mamah bisa menepati janjinya untuk membawamu kembali ke pelukanku, Fira, karena itu adalah harga dari dilepasnya penunggu di rumahmu tersebut. Tapi aku gak bisa menunggu kamu lebih lama lagi, aku bisa mati!"

Aku segera memasukan ponsel ke tas dan berlalu menuju kamar, sepertinya hari ini akan sangat panjang untuk aku berpikir atau aku kembali saja meminta Mas Fadil mencabut segala hal yang dia tanam di rumah Mamah, tapi sepertinya rencana apapun yang kugunakan tak akan ada artinya bagi pria menyebalkan tersebut.

***

"Lo yakin, mau ke sana sendirian, gue minta maaf gak bisa ikut karena suami ngelarang kalau belum sembuh, Fir."

Aku mengetik pesan balasan ke Gina yang masih saja mengirim banyak pesan agar aku bisa meresponsnya tentang keberanianku datang ke tempat yang diberi tahu oleh Pak Kusumo.

Entah siapa yang memberi tahu Gina perihal rencanaku, mungkin saja Pak Kusumo penasaran apa yang aku lakukan lewat Gina dia mengorek informasi.

Syukurlah suaminya Gina tak memberi ijin, karena aku bisa mati gaya jika Gina mengikutiku menyelidiki hal yang sama sekali tak masuk akal dengan pemikirannya.

Di sinilah aku berdiri, di depan jalan yang pria itu sebutkan. Mencari setitik kebenaran yang perlu kugali demi membuka alasan apa Pak Bayu, Bu Putri melakukan hal menyeramkan di bekas rumahku.

Semoga orang ini tak memberi harapan palsu atau punya maksud lain seperti Kiyai Akmal, atau Pak Kusumo yang penuh dengan misteri.

Siguiente capítulo