webnovel

Kepala Di Dalam Toples

Aku tak bisa bergerak. Tubuh kaku dan hanya mata yang membuka dengan lebar tanpa bisa berkedip sedikit pun. Sepertinya aku memang dipersiapkan untuk melihat hantu ini yang terus saja menatap ke arahku dengan kekehan geli yang menakutkan.

Entah berapa lama aku bisa bebas dari situasi ini, hingga suara wanita tua itu berhenti menggema di kamarku.

Dia bukannya pergi menghilang dan meninggalkanku yang semakin ketakutan, malah mendekat dan naik ke ranjang.

Suasana sangat sunyi. Tidak ada sumber suara sedikit pun, bahkan helaan napasku saja sama sekali tak berbunyi.

Bunyi tulang yang dipatahkan. Seketika aku mengingat aki. Saat dia sedang kerasukan di rumahku, cara dia berjalan juga sama. Aku hanya bisa pasrah. Entah apa yang ingin dia lakukan. Apakah bisa sesosok makhluk halus membinasakan maanuisia? Aku tak pernah mendengarnya.

"Kamu kenapa pergi begitu saja. Padahal aku belum sempat mencicipimu!"

Sura serak yang menusuk, terdengar tepat di lubang telinga. Aku meringis. Mencoba bergerak untuk sekadar bangkit dari tempat tidur dan pergi meninggalkan kamar.

Tidak ada niat melawan atau apa pun itu. Aku pasti kalah dengan hal mistis ini karena tak bisa mengendalikan perasaanku yang sangat ketakutan.

Biarlah dia menghantuiku asal tak ada satu inchi pun dari tubuh ini yang menjadi sasarannya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapanku ternyata tak terealisasi dengan benar.

Nenek-nenek dengan rambut panjang yang sangat berantakan tersebut ternyata bisa menjelma menjadi seseorang yang bisa menyentuhku.

Di mulai dari rabaan tangannya yang sangat dingin seperti es, menempel ke kulit telapak tangan yang sangat sensitive.

Aku bukan berusaha diam saja, tapi aku juga ta ingin begini.

"Pe–pergi!" Hanya itu yang akhirnya aku bisa katakan setelah tak tahan lagi ketika dia memegang kepalaku dan membuka mulutnya yang tampa gelap tanpa gigi sedikitpu di sana.

Dia menyeringai dan aku berteriak sejadi-jadinya berharap apa yang kulakukan cukup untuk Mamah datang dan melepaskankun yang terperangkap di sini. Aku lelah sekali dan tenggorokan terasa panas sekali.

"Kau bukan di rumahmu. Kita hanya berdua di sini," ucapnya dan aku kemudian merasakan ada jilatan di sekitar lenganku, panas dan lengket.

Aku tak tahu kapan aku mengeluarkan air mata, tahu-tahu pipiku basah.

Dia benar, kami bukan ada di kamar melainkan sebuah tempat yang rasanya tak asing. Sebuah kamar dengan banyak toples yang berjajar di atas meja.

Aku masih tak bisa bergerak, hingga rasa panas menelusup di sekujur tubuh. Tak pernah tahu apa arti dari ungkapan 'seperti terbakar', tapi sekarang aku mengalaminya. Bunyi ranting pohon yang dijilat api, kemudian si jago merah semakin membesar di ruangan ini dan membakar sebagian benda yang terbuat dari kain serta kayu.

Aneh, aku bisa berdiri, aku melihat semuanya dan tak bisa teriak meminta tolong. Kuraba mulutku, tertutup rapat. Tak ada yang bisa kulakukan, hanya gumaman saja yang bisa kudengar sendiri.

Toples yang mejanya terbakar, berjatuhan ke lantai. Benda itu pecah, semua isinya yang menghitam keluar, cairan gelap itu membuat seisi ruangan sangat bau.

Aku mematung ketika satu toples menggelinding di bawah kakiku, benda itu berisi cairan hitam yang sangat pekat. Toples beling tersebut cukup besar, sepertinya aku butuh dua tangan untuk memegangnya. Tapi setiap aku ingin mengambilnya, tak pernah bisa.

Hantu Nenek itu tertawa ketika aku ketakutan melihat ruangan ini yang sudah terbakar, panas dan berasap. Dia yang tadi sempat menjauh kembali mendekat dan memegang toples itu dengan sangat enteng. Tak sama sekali keberatan.

"Kau tahu, ini akan segera jadi tempatmu, Fira!"

Aku melotot, mendengar dia mengatakan hal ini terasa sangat menakutkan.

Perlahan tangannya memutar tutup toples berwarna merah terang itu. Kemudian dia tertawa dan meremasnya, lalu benda tersebut pecah dan isinya terpental ke Tubuhku.

Refleks aku memegang benda yang ada di dadaku. Bulat dengan banyak rambut yang basah. Aroma busuk itu membuatku ingin pingsan. Tapi tetap berusaha menahannya.

Tak bisa kusangka, dengan mata yang sangat awas aku melihat kepala. Ada rambut dan juga tetesan hitam yang terus saja keluar.

Perlahan aku membalikan benda tersebut dan melihatnya.

Tidak! Ini tidak mungkin. Kepala itu adalah aku.

Seketika dunia terasa berputar. Aku melepas kepala yang kuyakini hanya khayalanku. Aku tak mungkin sejauh ini kalau bukan karena perbuatan setan kiriman Mas Fadil. Suami kurang ajar! Apa yang membuat dia sampai Setega ini kepadaku. Memangnya aku pernah berbuat kesalahan kepadanya.

Ruangan berputar-putar lagi di pandanganku. Aku juga merasa pusing luar biasa, hingga aku bisa membuka mata lagi dan melihat langit-langit kamarku di rumah Mamah.

Kali ini entah mengapa aku tak seheboh biasanya. Berlari atau kabur dari kamar ini bukanlah tujuanku lagi. Lagipula untuk apa. Megadu ke Mamah juga bukan pilihan terbaik, mengingat pikiran beliau sudah diracuni oleh pria gila itu.

Aku hanya merasakan sekujur tubuh terasa sakit. Ketika aku duduk, kutemukan cairan hitam masih menempel di wajah dan juga bajuku.

Respons yang kuberikan entahlah, aku merasa ini lucu. Tak kusangka apa yang sudah kulakui sampai seperti ini.

Mendapatkan gangguan sampa seperti ini. Mungkin ada yang salah denganku, hanya ada tawa yang keluar nyaring dari mulutku tentunya bersamaan dengan air mata yang menganak sungai.

Ah, kemana aku harus pergi. Ke mana aku minta bantuan. Besok mungkin, saat kesadaran bisa aku rasakan sepenuhnya memang tak akan bisa hilang sepenuhnya. Seperti yang dikatan Kiyai Akmal dan juga Wisnu. Aku ini calon tumbal. Tapi mengapa susah sekali dia mendapatkanku, kenapa tidak sejak menginjakkan rumah itu nyawaku diambil saja.

Aku bangkit perlahan, dengan tubuh yang pegal dan segera berjalan ke kamar mandi. Membasuh diri dengan air dingin. Terasa menyengat tubuh, tapi menenangkan karena ini masih di rumah, keadaan yang normal. Aku terus berdiam diri di bawah kucuran air. Menutup mata sembari memikirkan jalan apa yang akan kuambil.

Setelah bersih dan tubuh terasa kebas karena dingin. Aku keluar kamar. Memakai baju ganti yang lebih tebal, kemudian kembali ke ranjang. Tapi saat melihat noda hitam itu, aku segera mengganti seprei seadanya, tak terlalu rapih, yang penting bisa ditiduri saja.

Saat sudah naik ke kasur, aku juga mau segera menutup mata dan menjemput malam. Tapi kembali mendapat gangguan yang sudah menghabiskan kesabaranku ini

Suara ketukan pintu terasa sangat mengganggu. Tadinya mau kubiarkan saja. Saking malasnya turun lagi dan membuka pintu. Tapi saat kudengar suara Mamah mengiringi ketukan, akhirny aku bergegas turun.

Jantung terasa bertalu keras, ketika aku memutar kenop dan pintu terbuka. Mamah berdiri dengan mata memerah, lehernya terjerat tali tambang yang mengikatnya erat.

"Mamah gak bisa na-- napas!"

Siguiente capítulo