webnovel

Mi Familia 2

"Kemana saja kamu? Aji hampir mati kelaparan gara-gara nungguin kamu datang. Mana makanannya?" ujar Aji begitu Ben muncul di gerbang rumahnya.

Ben terkekeh. "Aku makan di tempat tadi. Udah keburu lapar."

"Sekarang kamu sudah kenyang, kan?" tanya Aji.

Ben menganggukkan kepalanya. "Pasti ada maunya, nih?"

"Cuciin motor. Gantian saya yang mau makan," sahut Aji. Ia segera mengambil kantong plastik hitam yang dibawa oleh Ben. Aji menukar kantong tersebut dengan selang air yang ia pegang.

"Nah, sana cuci motor. Anak muda nggak boleh malas-malasan," ujar Aji seraya berjalan meninggalkan Ben di halaman rumah.

Ben menatap Aji yang meninggalkannya dengan selang air yang masih menyala. Ia sedikit memonyongkan bibirnya lalu mengarahkan selang tersebut ke arah motor tua milik Aji.

"Cuci yang bersih!" teriak Aji.

Ben berdecak pelan lalu menyahuti Aji. "IYA!"

Setelah itu, Ben kembali mengalihkan perhatiannya pada motor tua milik Aji. Ia menyiram sisa-sisa sabun yang masih menempel di motor tua milik Aji sambil memeriksa bagian motor tersebut.

Setelah selesai menyiram sisa-sisa sabun pada motor milik Aji, Ben segera mengambil lap untuk mengeringkan motor tersebut. Sementara Ben mengeringkan motornya, Aji duduk di depan bale dauh sambil menikmati makanannya dan memperhatikan Ben.

Aji tersenyum simpul ketika melihat Ben sedang mengeringkan bagian motornya. Ia tidak pernah menyangka akan membesarkan anak adiknya sampai seperti sekarang.

"Gimana kalau setelah lulus SMA kamu menempuh pendidikan Tentara saja, Ben?" tanya Aji tiba-tiba. Ia menyadari postur Ben yang sangat cocok untuk menjadi seorang Tentara.

Ben yang berperawakan tinggi dengan badan yang tidak terlalu besar, pastinya akan mudah diterima akademi kemiliteran. Ditambah dengan kemampuan akademis dan kemampuan bahasa yang ia miliki, tentunya itu akan menjadi nilai tambah untuk Ben.

"Nggak minat. Lagipula aku belum menentukan aku mau tetap menjadi warga negara Australia atau menjadi warga negara Indonesia," sahut Ben.

"Sudah pasti kamu jadi warga negara Indonesia. Kamu cuma lahir dan tinggal sebentar di Australia. Selebihnya hidup kamu ada di sini," timpal Aji.

"Tapi aku memang nggak minat untuk jadi Tentara. Kalau aku jadi Tentara sama aja aku ngikutin jejaknya–" Ben terdiam dan berhenti mengelap motor milik Aji.

"Following your father's footsteps?" sela Aji.

Ben mengangguk pelan dan kembali melanjutkan kegiatannya mengelap motor milik Aji. "Pokoknya aku nggak mau jadi seperti dia."

Aji tertawa pelan. "Terus apa rencana kamu setelah lulus SMA?"

"Kuliah di Jakarta, mungkin."

"Jurusan apa?"

"Matematika," jawab Ben.

"Yakin kamu mau ambil jurusan matematika?" tanya Aji.

"Yakin. Kalau nggak matematika aku mau jurusan teknologi informasi. Dua-duanya menarik," ujar Ben.

"Si Bayu juga mau ke Jakarta?"

"Nggak tahu. Yang jelas dia nggak bakal ngikutin aku kalau aku ambil jurusan matematika."

"Ya jelas dia nggak mau ngikutin kamu. Teman-teman kamu pasti menghindari matematika setelah lulus SMA. Kamu malah mau ambil jurusan matematika," sahut Aji sambil menggelengkan kepalanya.

"Mereka aja nggak tahu gimana asyiknya matematika," timpal Ben.

"Ya sudah, terserah kamu mau ambil jurusan apa. Saya nggak akan maksa kamu ikut Akmil. Tapi kalau kamu berubah pikiran, nanti saya bantu supaya kamu masuk Akmil," ujar Aji.

"Nggak, aku nggak bakalan masuk Akmil atau apapun yang berbau kemiliteran."

"Hati-hati, Ben. Omongan kamu suatu saat bisa jadi bumerang buat kamu. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Sebenci apapun kamu saya Ayah kamu, kamu tetap anaknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."

"Kalau pohonnya ada di atas bukit, dan buahnya jatuh terus menggelinding, pasti buahnya akan jatuh jauh dari pohonnya," sahut Ben.

Aji terdiam setelah mendengar apa yang dikatakan Ben. Ia kemudian menghela nafas panjang. "Terserah kamu sajalah."

Ben terkekeh setelah mendengar apa yang dikatakan Aji. Pria paruh baya itu sudah menyerah untuk membujuknya masuk ke akademi militer.

----

"Long time no see, Bali," ujar David Harris setelah akhirnya ia menginjakkan kakinya di bandara internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Pria berperawakan tinggi besar itu langsung mengenakan kacamata aviator miliknya dan segera melangkah keluar dari bandara. Beberapa orang Supir taksi langsung mengerubunginya dan menawarkan kendaraan mereka.

Meski banyak yang menawarkan jasa padanya, namun David memilih untuk melewati para Supir tersebut. Ia terus berjalan sampai para Supir itu menyerah dan mencari orang lain untuk mereka tawarkan jasa.

Senyum di wajah David terkembang begitu ia melihat seseorang yang ia kenal sudah menunggunya. Ia langsung berjalan cepat dan menghampiri wanita yang membantunya menemukan putranya.

"Apa kabar, Jasmine?" tanya David dengan logat kebarat-baratan miliknya.

Jasmine, seorang mantan anggota militer asal Australia yang sudah lama menetap di Indonesia. David dan Jasmine pernah berada di kesatuan yang sama. Keduanya pergi berlibur bersama ke Bali setelah menjalankan tugas dari kesatuan mereka.

Pada saat itulah, David berkenalan dengan Ayu dan kemudian mereka memutuskan untuk hidup bersama. Sementara David kembali ke Australia, Jasmine justru memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama di Bali. Karena kecintaannya pada Bali, Jasmine memutuskan mundur dari kesatuannya dan menetap di Bali dengan membuka penginapan yang dibantu oleh warga lokal yang kini menjadi suaminya.

"You really mess up, David," ujar Jasmine ketika ia melihat David.

"Indeed. But people change. I've served my sentence and changed," sahut David.

"I hope it's true. It would be best if you didn't mess around here. I won't help you if you get into trouble," timpal Jasmine.

"Oh, come on. I want to see my son. I wonder how he grew when I'm not around."

Jasmine menghela nafas panjang. Sementara itu, David menatapnya sembari tersenyum.

"Don't want to let me hug you? I haven't seen you in a long time, pumpkin. I miss you," goda David.

Jasmine berdecak pelan. "You jerk. Don't call me pumpkin in front of my husband."

David tertawa sembari memeluk Jasmine. Keduanya memang dekat namun hubungan mereka hanya sebatas teman. David juga tahu jika Jasmine sudah menikah dan mempunyai anak.

Setelah beberapa saat, David melepaskan pelukannya. Jasmine menatap David dalam-dalam. "Remember. Don't make a fuss. You have to go if your son doesn't want to see you. Don't push him."

David menganggukkan kepalanya lalu memberikan sikap hormat pada Jasmine. "Yes, Sir."

Jasmine tertawa pelan. Ia dan David kemudian segera pergi meninggalkan area kedatangan dan berjalan menuju tempat parkir.

----

Begitu mobil yang dikendarai Jasmine pergi meninggalkan bandara I Gusti Ngurah Rai, David memperhatikan jalanan yang ia lalui.

"Looks like this place has changed a lot," ujar David.

Jasmine berdecak pelan menanggapi ucapan David. "Not much. It was your feeling cause' you haven't seen this place for a long time."

David menganggukkan kepalanya. "Maybe. I become more curious about how's Ben looks like now. He must be handsome like his father, right?"

"Cih," sahut Jasmine. Ia kemudian berdecak pelan.

David yang duduk di sebelahnya tertawa pelan melihat ekspresi Jasmine. Tidak lama kemudian, David menghela nafas panjang dan kembali memperhatikan jalanan yang ada di luar. Ia memikirkan reaksi Ben ketika ia menemuinya setelah sekian lama.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. You could share your thought in the comment section and don't forget to give your support through votes and reviews. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
Siguiente capítulo