webnovel

Diam-diam Dijual

“Maksud lu?”

“Untuk cowok sekeren Kevin, saingan lu berderet! Lu jadinya musti punya nilai tambah yang bikin dia mau pilih lu.”

Itu jawaban yang meng-KO pendapatnya. Love akhirnya setuju. Bulu kuduknya berdiri ketika melihat Lyn menekan tombol ‘SEND’. Gambar seronok dirinya kini berada di dunia maya.

Diam-diam tanpa Love sadari, Lyn juga menambahkan sebuah kalimat: “This bitch wants to know you.”

Velove pasrah. Ia merasa terpaksa melakukan hal itu karena – setelah melihat foto-foto pria itu dari Lyn – ia mendapati bahwa Kevin sangat tampan. Dan di kota besar, sudah pasti Love sadar bahwa ia harus memiliki ‘sesuatu’ yang berbeda. Sesuatu yang adalah kelebihannya yang mungkin bisa membuat pria setampan itu berpaling pada dirinya.

Untuk mendapat ikan besar, harus besar pula pengorbanan atau umpan yang ia sediakan. Sepuluh menit kemudian ponsel Lyn mendapat chat balasan dari Kevin. Ia senang dengan foto-foto itu dan mau bertemu serta berkenalan dengan Love.

Gayung telah bersambut. Kevin menyetujui mereka copy darat.

*

Kalau suara aneh di rumah tua terasa begitu menakutkan Kamal, tidak demikian halnya dengan Clara. Ia yakin itu adalah buatan orang iseng dan ia ingin orang itu terciduk melakukan ulahnya. Sayangnya itu pagi hari. Sekuat apapun keinginan untuk menyelidiki, ia baru akan bisa melakukannya seusai pulang kerja.

Jadi, inilah dirinya saat itu. Menjelang magrib dan langit masih menyisakan terangnya yang terakhir sebelum matahari sepenuhnya masuk peraduan. Ia melangkah dengan penuh kewaspadaan ke dalam gudang tua dengan sebuah kunci di tangan kanan dan senter di tangan kiri. Ketika ia membuka pintu gerbang, ternyata tidak mudah. Namun hal itu memang wajah mengingat gembok yang sudah sangat berkarat dan bahkan sangat sulit untuk ia gerakkan. Tapi ia adalah dokter yang terlatih mencari jalan keluar secepat mungkin ketika mengalami kendala di tengah jalan. Saat berpikir-pikir itulah sebuah ide muncul di benaknya. Melihat kondisi yang ada membenturkan dengan benda keras mungkin bisa jadi solusi untuk kemacetan akibat karat. Ia baru mau menghantam gembok dengan batu ketika mendadak tiba-tiba gembok terbuka sendiri.

Klekkk!

Ia terkejut. Tapi kemudian dengan cepat menguasai diri dan mengatakan pada diri sendiri bahwa itu adalah suatu kebetulan yang luar biasa. Ia baru mau mendorong pintu gudang ketika….

Krietttt!!!

Pintu gudang mendadak terbuka sendiri.

Clara melihatnya dengan takjub. Faktor anginkah yang membuat pintu gudang yang berat itu terbuka dengan sendirinya? Lantas jika bukan angin, siapa atau apa yang melakukannya?

Dan satu hal lagi….. mengapa ia merasa seperti ada suara rintihan orang memanggil namanya? Di tengah segala tanda-tanya kakinya mendadak terasa kelu. Namun tak bisa lagi ia kontrol ketika melangkah menjauhi tempatnya. Mendekati gudang.

*

Cahyo sangat menyadari kelebihan fisik yang ia alami. Dengan usia 37 dan karier yang dimiliki, rasanya tidak ada wanita yang enggan menolak ajakannya. Hari itu ia pulang kantor di jam biasa menggunakan mobil dinasnya, yang merupakan sebuah Fortuner. Hanya saja karena ia harus mengambil sebuah berkas di kantor pemasaran pada lokasi pembangunan di sebuah daerah di Bogor, ia harus jalan berputar, mengambil barang, dan baru benar-benar melakukan perjalanan pulang setelah lewat pukul 6 malam. Ia baru berjalan lima - enam menit dan tengah melewati jalan sepi, penuh pepohonan, dan nyaris tanpa penerang jalan umum ketika matanya menangkap ada sebuah mobil di pinggir jalan dan dalam keadaan terpuruk di parit.

Ia hanya berharap pengemudinya tidak apa-apa ketika ia melihat bayangan seseorang di tepi jalan mengacungkan jari jempol. Memberi isyarat tumpangan. Orang itu mengenakan jaket hujan karena hari memang gerimis. Ia lalu memundurkan mobil sampai kemudian berhenti di samping orang itu. Melalui jendela mobil terbuka yang power windownya baru ia pencet, ia serta merta menegur orang itu.

“Mobilnya kenapa pak?”

Orang itu membuka penutup kepala. Cahyo terkaget karena orang itu ternyata seorang wanita muda yang sepertinya seumuran dengan Latifa.

“Ups, kirain cowok. Mobilnya kenapa, Mbak?” ulangnya, sekaligus memperbaiki kesalahan ucapan.

Dari ucapan wanita itu ia jadi tahu bahwa mobilnya tergelincir akibat ia kurang pandai membawa mobil. Usahanya menelpon perusahaan derek mobil gagal karena sinyal yang parah.

“Di sini memang sinyal kurang baik karena saya kenal daerah ini. Coba telpon dari kantor pemasaran saya. Di sana lebih bagus.”

“Boleh, pak?”

“Boleh. Naiklah.”

Ia membuka pintu dan wanita itu masuk serta meletakkan ransel di lantai. Mobil kemudian berputar balik ke arah lokasi kantor pemasaran.

“Maaf tadi kupanggil pak. Aku pikir kamu cowok.”

“Gapapa. Bapak bukan dari daerah sini?”

"Betul. Aku bukan dari sekitar sini. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah setelah mengunjungi kantor pemasaran.”

“Kantor di perumahan Palm Valley?” tanyanya setelah melihat sticker perumahan di sudut kaca mobil. “Bapak kerja di situ?”

“Ya.”

“Supervisor?”

“Procurement Director.”

Wanita itu bersiul yang menandakan kagum. “Ups. Sorry, kirain bapak itu supervisor atau salesnya. Itu perumahan elit, supervisornya aja pake mobil SUV.”

“It’s OK. Banyak orang menilai tampangku memang mirip sales.”

“Are you serious? Nggak lah. Aduh aku jadi nggak enak nuduh bapak seperti itu,” ia mendekap kedua telapak tangan sambil membungkuk. “Tampang bapak emang beda. Tampang petinggi perusahaan. Tadi aku salah duga karena suasana gelap.”

Cahyo mengangguk dan tersenyum. Menimbulkan rasa aman pada wanita itu. Di dalam mobil suasananya gelap, tapi wanita itu bisa melihat ia tersenyum manis. Musik klasik melantun lembut dari perangkat audio dan ini membuat wanita itu berpikir bahwa pria di sebelahnya tidak tampak seperti pemerkosa gila. Wanita itu biasanya tidak mendengarkan musik klasik tapi itu menyenangkan untuk didengarkan—agak menenangkan. Mereka berdua diam saat Cahyo mengemudi dan ia melihat ke luar jendela.

*

“Tiga juta.”

“Lu hanya mampu segitu?”

“Iya, gue lagi cekak gara-gara minggu lalu gue…”

“Selamat malam. Bye!”

Carolyn baru mau menutup telpon ketika Kevin buru-buru mencegah.

“Lyn! Wait! Tunggu, jangan tutup telponnya!”

“Lu ngomong gak pake mikir ya.”

“Gue hanya becanda.”

“Lu nawar jangan keterlaluan. Barang bagus begitu lu hanya nawar tiga juta. Banyak orang lain yang ngantri. Lu baru orang pertama yang gue tawarin. Begitu gue udah tawarin sama yang lain, lu nggak ada kesempatan untuk balik lagi karena pasti akan disamber orang kedua atau ketiga setelah lu.”

“Ngerti.”

“Jadi berapa?”

“Lima.”

“Make it ten. Sepuluh juta.”

“Mmm…”

“Mau gak?”

“Nggak bisa lebih turun?”

“Gue bosen ngomong sama lu. Kere lu! Mau nggak?”

“Oke, oke. Deal di angka 10 juta.”

*

"Kita udah sampe," katanya. Mobil tiba di depan kantor pemasaran perumahan. “Coba kamu hubungi perusahaan dereknya dari sini.”

Wanita itu mengeluarkan ponsel tapi hanya untuk kemudian kecewa karena ponselnya seketika itu mati karena lowbat.

“Jangan kecil hati. Kamu telpon di kantor aja. Yuk,” Cahyo mengajak wanita itu masuk. “Kamu bisa charge di sana sekaligus ada snack dan kopi atau teh kalo mau.”

Siguiente capítulo