webnovel

Terpampang

Rumah tangga Clara dan Cahyo memang sudah sangat jelas berada di ujung tanduk.

Dari sisi Clara ia telah melihat bukti perselingkuhan suaminya dimana sebagai akibatnya ia pun telah balas lakukan ketidaksetiaan. Dari sisi Cahyo sendiri perselingkuhan yang ia lakukan harus ia tutup rapat-rapat. Pria itu tak menyadari bahwa isterinya sebetulnya telah mengetahui dan bahkan telah melakukan pembalasan dengan melakukan perselingkuhan juga.

Bagi Clara yang menyadari gap antara dirinya dengan Cahyo makin besar, rumah tangganya tetap harus diselamatkan. Betul, Gilang lebih menarik daripada suaminya. Tapi hubungan dengan Gilang hanyalah hubungan yang semata seks. Sekedar bersenang-senang dimana akan datang waktunya mereka akan berpisah dan bisa jadi dirinyalah yang akan dicampakkan dengan cara menyakitkan. Dia adalah seorang professional karier dan jelas tak ingin pencampakkan itu terjadi. Egonya terlalu tinggi untuk menerima penghinaan semacam itu. Apa yang ia alami dengan Gilang – yang kemungkinan akan dijalani sampai beberapa waktu mendatang – biarlah itu hanya akan menjadi bumbu rahasia dalam perkawinan yang akan tetap ia sembunyikan sampai akhir hayat. Bagi Clara, suaminya tetap harus dipertahankan dengan cara apapun. Pertama karena ia telah tidak setia, kedua karena bermunculannya para kompetitor baru seperti Latifa cs yang jauh lebih termotivasi untuk merebut Cahyo. Dan alasan terakhir, karena ia sadar tubuhnya tak lagi seindah ketika mereka pertama kali bertemu.

Dulu saat awal-awal pernikahan kehidupan seks mereka berjalan luar biasa. Hampir tidak ada hari dijalani tanpa seks. Dalam sehari pun bahkan bisa berkali-kali Cahyo meminta dan selama itu pula ia bisa ladeni. Tapi kini, hanya tiga tahun berselang, intensitasnya jauh berkurang. Berkali-kali ia harus menatap diri di cermin dan mengakui bahwa walau pun sekuat tenaga ia berusaha dengan aktif di gym, tetap saja tubuhnya tak lagi seindah dulu. Selain itu ukuran payudaranya pun kecil. Dan itu hanya penampilan fisik luar, belum lagi yang tak terlihat, yaitu vaginanya tak lagi sempit saat dipenetrasi. Sepertinya itu sekilas nampak sebagai pandangan yang bodoh, tapi bisa jadi itu yang ada di benak para pria, termasuk Cahyo. Clara yakin bahwa Cahyo menuntut kesempurnaan.

Dan itu yang membuat Clara takut. Ia tak ingin kehilangan Cahyo dan harus melakukan sesuatu demi agar pria itu tetap bersama dirinya.

*

Dan akhirnya mereka pun pindah rumah.

Sebuah proses yang benar-benar menyita waktu, tenaga, uang. Butuh tiga kali pengangkutan dengan truk untuk membawa barang-barang dari rumah yang sebelumnya mereka tempati. Cahyo sudah mengambil waktu cuti khusus untuk acara pindahan ini. Ruang-ruang di rumah baru sudah terisi aneka barang dan tentu saja masih belum disusun. Velove tidak bersama mereka. Ia baru akan pulang sekolah dan tiba di rumah mungkin satu atau dua jam lagi. Itu tentu dengan catatan ia tidak singgah di mall dan menghabiskan waktu di sana. Cahyo yang kelelahan lantas duduk-duduk di sofa. Mencoba me-time setelah sejam lebih menjadi ‘kuli angkut’.

“Mau?”

Tawaran sebotol softdrink dari Clara tentu saja disambut baik. Ia duduk di samping Cahyo dan mengamati ketika pria itu mengambil dari tangan Clara, membuka tutup botol dan menenggak dua kali sebelum menyerahkan sisanya pada Clara. Clara meniru dan kemudian menaruhnya pada meja di depan mereka. Tapi tentu saja itu tak serta-merta meredakan panas tubuh Clara yang bekerja keras.

“Gila, panasnya…. Ini sih masih butuh waktu seminggu atau dua minggu lagi untuk menata.”

“Aku bantu, tenang aja,” kata Cahyo sambil memijiti bahu isterinya. “Kalo perlu Papa ambil cuti lagi. Mungkin satu atau dua hari aja.”

Sebuah panggilan telpon terdengar dari ponsel Clara yang ada di meja di depan mereka, tapi lebih dekat ke arah Cahyo.

“Ada telpon dari Susi Admin,” kata suaminya yang melihat nama si penelpon di layar ponsel. “Memangnya Mama sekarang punya staf Admin yang namanya Susi? Orang baru?”

Pertanyaan itu tak digubris. Clara spontan menyambar dan – dengan alasan mencari sinyal lebih baik – ia lantas bangkit dan bicara di depan jendela. Cahyo tak jelas mendengar apa yang ia ucapkan, lalu meneguk lagi sisa air minum dari botol softdrink tadi.

Clara merasa perlu untuk menjauh dan melakukan panggilan telpon dekat jendela karena ia punya alasan kuat. Si penelpon adalah orang yang sangat ia kenal. Bukan Susi bagian Administrasi, karena itu hanya kamuflase dari seorang pria yang tak lain adalah Gilang. Clara malu untuk mengakui bahwa walau ia menyesal atas perselingkuhannya, nyatanya tak lama kemudian ia ingin mengulangi lagi! Pergulatan batin antara hasrat dan logika terus berkecamuk namun di hari-hari terakhir ini pertahanannya sepertinya goyah. Saat itu Clara sebetulnya ingin menghindar obrolan karena ini jelas bukan waktu yang tepat karena ada Cahyo di sana. Tapi Gilang bersikukuh. Ia baru mengakhiri panggilan telpon setelah Clara memaksa diri mengiyakan untuk tawarannya bertemu kembali di pub terakhir mereka bertemu, besok lusa di jam yang sama. Supaya panggilan telpon cepat berakhir, ia juga mengiyakan saja ketika Gilang akan mengirimkan sebuah paket ke kantornya. Sebuah paket khusus dan istimewa, katanya.

Sesaat setelah mengakhiri panggilan telpon tadi dan sampai sekarang Clara berlagak masih kepanasan. Ia masih mengipasi wajahnya dengan telapak tangan sambil melihat-lihati bagian interior bangunan.

“Ada masalah kerjaan, Ma?”

“I-iya. Ini masalah mesin USG yang masih belum beres diperbaiki, makanya Gil… eh… Astrid nelpon.”

“Astrid? Bukannya Susi yang tadi nelpon?”

“Oh iya, Susi.”

Sialan, pikir Clara, hampir saja ia membongkar sendiri kebohongannya. Dan walau telpon sudah lama berakhir, mengapa ajakan Gilang tadi begitu membangunkan gairah dalam dirinya? Suaminya Cahyo tidak lagi pernah menganggap dirinya menarik. Ia lupa kapan terakhir Cahyo membelikan pakaian untuknya. Dan kini ada seorang Don Juan yang bahkan siap mengirimkan paket berisi satu set pakaian dalam untuk dirinya, yang akan ia kenakan dalam perjumpaan berikutnya. Perjumpaan seminggu lagi yang Clara pikir bisa jadi adalah waktu penantian terlama dalam hidupnya karena seolah berjalan berabad-abad. Efek dari memikirkan hal itu pun langsung ia alami. Ia merasa ada kedutan kecil di vagina yang kemudian membuat organ itu mulai basah.

“Rumah ini gede banget,” komentarnya, sekaligus mengalihkan perhatian dari soal Gilang yang membicarakan tugas kantornya. “Jauh kalo dibandingin rumah lama.”

“Di sini sirkulasinya bagus.”

“Betul Pa. Tapi…. tetap aja Mama masih kepanasan.”

Saat ada di bagian jendela yang lebar dimana belum dipasang gorden di sana, mendadak saja Clara membuka t-shirt yang ia pakai sehingga di bagian atasan ia kini hanya mengenakan bra saja. Tangannya masih mengipas-ngipasi tubuh karena panas yang ada.

“Sayang, kamu nggak takut keliatan sama tetangga?” tanya Cahyo.

“Emang ada tetangga?” ia bertanya balik sekaligus menantang. Jarak dari rumah mereka ke rumah Maryoto, tetangga yang ia sudah tahu namanya, ada dua puluhan meter. Hanya memang bagian taman rumah mereka di bagian belakang bersisian dengan taman mereka yang jauh lebih luas.

Tak mendapat jawaban, Clara lantas malah melekukkan diri sendiri, meraih kaitan bra di belakang punggung dengan tangannya, dan…. ctik! Seketika tubuh topless-nya terpampang.

Siguiente capítulo