webnovel

Ritual Tengah Hutan

Kegalauan melanda hati Clara. Saat ia pergi ke kantor ia tidak banyak berbicara. OK, maksudnya ia tentu saja berbicara tapi hanya seperlunya. Kegalauannya terjadi gara-gara ia menyadari bahwa ponsel suaminya ternyata telah dikunci dengan password baru.

Ini sempat membuat dirinya tercenung. Apakah ini akibat Cahyo marah padanya karena tempo hari ia secara iseng mengulik isi ponsel dan mendapati bahwa historical penelponan dan chat Cahyo dengan banyak orang banyak sekali yang terhapus. Sesuatu hal yang memicu kemarahan Cahyo karena dianggap terlalu ikut campur untuk masalah pribadinya. Ini menimbulkan sakit hati dan luka yang dalam.

“Koq Mama sampe seusil begitu sih? Sampe periksa HP suami?”

“Maaf, tapi…. emang gak boleh?” ia bertanya dengan kebingungan yang besar.

“Nggak boleh. Nggak boleh gitu.”

“Jadi kita harus punya privasi sendiri?”

“Papa bilang sih, iya.”

“Kita hampir 3 tahun menikah dan Mama baru tau kalo peraturan itu ada.”

“Ya anggap aja itu peraturan kita yang baru. Karena toh situasi kita udah jauh berbeda. Lingkup bisnis di kantor juga berubah banyak. Ada rahasia perusahaan yang tetap nggak boleh Mama ketahui. Dan Papa juga nggak pernah Kutak-kutik hape Mama. Iya kan?”

Nah lho. Clara jadi bingung mendengar penjelasan. Apakah pola pikir dokter dengan insinyur harus berbeda? Tidakkah nilai dalam pernikahan seharusnya bersifat universal dan dapat diterima oleh kedua belah pihak? Lalu, apakah sebuah pernikahan harus menutup diri dan menjaga rahasia masing-masing tanpa boleh diketahui pasangan? Tidakkah sikap seperti Cahyo justeru menjadi jalan untuk sebuah perselingkuhan?

Situasi tidak enak ini membuat ia jadi jatuh pada sikap curiga bahwa kedekatannya dengan Latifa bukan semata bisnis. Belum lagi caranya menelpon diam-diam dan berbicara dengan berbisik pada beberapa sales executive wanita lain. Sesaat setelah Cahyo lengah, ia mencoba melihat isi ponsel dan mendapati bahwa histori telpon dan chat dengan orang itu telah sepenuhnya terhapus. Ada rahasia apakah itu? Clara sempat menanyakan soal itu dengan sehati-hati mungkin. Hasilnya? Ia didamprat keras. Dan ujung dari peristiwa ini adalah dengan dikuncinya ponsel Cahyo dengan password baru.

Hari itu hari Sabtu dan ia hanya mampir sesaat di Rumah Sakit untuk urusan kecil. Sampai saat ia pulang dari Rumah Sakit tempatnya bekerja, sikap Cahyo masih terus ia pikirkan. Baginya sikap suaminya masih menimbulkan bekas curiga dan sakit hati. Hari itu ia tidak dijemput oleh Cahyo. Sebagaimana biasa ini adalah hari dimana ia pergi ke gym seorang diri. Lokasi itu ada di sebuah hotel. Ia pergi sebetulnya dalam keadaan sedikit galau. Cahyo berkali-kali ia telpon tapi tidak diangkat. Chat pun hanya dibaca tanpa ditanggapi.

Hari itu Clara bertemu lagi orang yang sama. Ia memasuki gym yang kosong dan menyadari satu-satunya orang lain di sana adalah dia.

“Halo, bagaimana kabarmu,” tanyanya.

“Baik,” jawabnya, canggung.

Pria itu bertanya apakah ia tidak keberatan menggunakan sepeda statis di sebelah Clara. Tentu saja Clara enggan menolak dan ini membuat akhirnya mereka mulai bersepeda bersama. Ia menanyakan semua hal. Bawel sekali mulai dari hal yang normal tentang cuaca, liburan, keluarga, lokasi ini, lokasi itu, tempat ia tinggal, dan hal-hal lain. Ia juga memperkenalkan dirinya sebagai Gilang dan umurnya 40-an. Efeknya tentu Clara pun memperkenalkan dirinya.

Selama berolahraga, Clara memperhatikan ia selalu melihati wajahnya saat mereka berbicara dan ini membuat ia jadi bertanya-tanya kira-kira apa yang Gilang pikirkan. Apakah ia memang hanya bersikap ramah atau jangan-jangan ‘ngeres’ dan berpikiran yang lain. Di situ Gilang juga memutuskan bahwa ia juga akan bergabung dengan Clara di kolam renang dan juga saat berganti pakaian renang. Itu hal yang menarik dan agak ‘berani’ yang membuat Clara tersenyum pada dirinya sendiri. Yah, setidaknya pikirnya ia sudah punya teman baru.

Sejak teman-teman sejawatnya tidak lagi bergabung di gym, Clara hanya datang sendiri dan ia jadi merasa sedikit lebih bahagia karena memiliki seseorang untuk diajak bicara meskipun itu laki-laki. Mereka mengucapkan selamat tinggal saat pergi ke ruang ganti untuk mandi dan berpakaian. Saat Gilang mengatakan ia akan kembali pada hari Selasa, dia menanyakan apakah Clara juga akan datang di hari itu. Tawaran itu disambut Clara dengan senang hati. Ia memang ke gym dua kali di hari kerja tapi tidak ada yang jatuh di hari Selasa. Tapi entah kenapa ia senang dan mengikut saja jika memang ia harus kembali hari Selasa, atau tiga hari lagi dari saat itu.

*

Malam itu bulan purnama penuh. Angin malam bertiup semilir menusuk tulang. Gemerisik dedaunan menyatu dengan suara jangkerik dan lenguhan hewan-hewan malam. Dari balik pepohonan yang pekat, di sebuah pemakaman kusam, berlumut, dan sangat tua, tiga sosok tubuh terlihat. Dua orang wanita dengan jubah putih panjang berlutut di depan seorang pria tua. Duduk dalam posisi melingkar dengan dua batang obor dan dupa terbakar serta wadah berisi aneka kembang.

Sebuah ritual sepertinya baru saja selesai dilakukan. Asap dupa masih menebar asap menyembur aroma khasnya, menjadikan makam kuno itu secara sekilas saja membuat bulu kuduk berdiri.

Sosok tua yang memimpin ritual selesai mengucap mantera tak terpahamkan dua wanita di depannya. Seorang wanita 40an tahun dengan anak gadisnya yang mungkin belum 20 tahun usianya.

Si tua mengucap sesuatu dalam bahasa daerah yang jelas sangat dipahami keduanya. Sebuah perintah yang kemudian ditaati si perempuan tua dengan membuka jubah yang menutupi si perempuan muda. Cahaya purnama seketika menampilkan kemolekan tubuhnya yang ternyata tak berbalut apapun. Dengan dipandu si perempuan tua, ia bangkit dan kemudian membaringkan diri di altar batu berlumut tanpa alas apapun.

Kini si tua bergerak mendekat dengan sebuah batok kelapa di tangannya. Ia memberikan instruksi lagi yang diikuti si perempuan tua dengan memegangi kedua tangan si perempuan muda.

“Jangan lepas.”

Perintah itu dijawab dengan anggukan sedangkan si perempuan muda menahan nafas menahan rasa takut ketika melihat si tua mendekat dan berlutut di dekat altar dimana dirinya terbaring sambil tetap memegangi batok. Ia bergidik ngeri. Dari batok kelapa yang bercipratan air kemana-mana, ia tahu ada sesuatu makhluk di dalamnya. Suatu makhluk najis yang mengerikan, menjijikan. Entah makhluk apa.

Si tua lantas berkata sambil menyeringai. Pupil matanya seolah kini membentuk titik kecil ketika melihati si gadis dengan tatap mengerikan. Buas.

“Kamu sudah siap, manis?”

Di tengah suara angin yang mulai mendesau, terdengar suara lamat-lamat gadis itu. “S-siap, Mbah.”

Si tua berpindah posisi. Tubuhnya tetap berlutut namun kini persis menghadap kedua kaki gadis itu yang masih tertutup rapat. Matanya merayapi sepasang kaki mulus itu dari ujung kaki hingga pangkal paha sebelum ia menyeringai.

“Lebarkan kakimu, manis,” katanya dengan suara serak dan dalam. “Buka selebar mungkin.”

*

Siguiente capítulo