webnovel

PANGLIMA ZUBAIR

Historia
En Curso · 17.6K Visitas
  • 14 Caps
    Contenido
  • 5.0
    13 valoraciones
  • N/A
    APOYOS
Resumen

Dia adalah Panglima terkuat di negeri padri. Tidak ada satupun musuh yang berani melawannya. Hingga suatu ketika istri sang panglima tiba-tiba menghilang. Hal itu membuat sang panglima murka. Lalu siapakah yang sudah menculik istri dari Panglima Zubair? Apakah hal itu ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam di tanah seberang.

Chapter 1Bab 1

Mayang menyiapkan semua keperluan berperang lelaki bertubuh tegap yang baru muncul dari balik pintu rumah panggung. Sekilas Mayang menoleh ke balik punggungnya, lalu melemparkan senyuman pada sang Panglima gagah pemilik hatinya.

"Kapan Abang akan berangkat?" tanya Mayang pada Panglima Zubair. Lelaki yang baru menikahinya beberapa bulan yang lalu.

Lelaki gagah dan tampan itu mendudukkan tubuhnya pada bibir ranjang, mengawasi Mayang yang berada tidak jauh dari tempatnya berada. Satu tangannya meraih pergelangan tangan Mayang lalu menarik gadis cantik itu dalam pangkuannya.

"Mungkin fajar Abang akan berangkat!" jawab Panglima Zubair menjatuhkan tatapan mesra pada Mayang yang tersipu malu.

Lengan kekar itu membelai wajah ayu Mayang yang menatap kepada Panglima. "Kamu tau, sebenarnya aku tidak pernah bisa jauh dari kamu. Tapi demi agama dan seluruh penduduk suku adat, Abang rela meninggalkan kamu. Abang janji, Abang akan tetap hidup untuk melihatmu kembali."

Wajah' Mayang bersemu merah setelah mendengar ucapan Panglima Zubair. "Aku tau, Bang! Aku pun akan selalu setia menunggu kepulangan Abang," balas Mayang melingkarkan tangannya pada leher kekar Zubair lalu memeluknya.

**

Panglima Zubair sudah siap dengan peralatan perang yang sudah Mayang siapkan semalam. Dengan beberapa keperluan lainnya yang akan Panglima Zubair butuhkan nanti di medan perang.

"Panglima, Sultan Iskandar memanggil Panglima untuk datang ke istana!" ucap seorang pengawal yang mengetuk pintu rumah Panglima Zubair lebih awal sebelum keberangkatan berperang.

Panglima Zubair menanggalkan tas perbekalan di atas meja yang berada di ruang tamu rumah panggungnya.

"Baiklah!" sahut Panglima Zubair.

Lelaki dengan bulu halus di sekitar rahang itu berjalan mengikuti pengawal istana. Kebetulan rumah Panglima Zubair terletak tidak jauh dari istana Sultan Iskandar, raja yang menaungi seluruh daerah pesisir di pulau Sumatera.

Lelaki yang mengenakan baju prajurit itu mempersilakan Panglima Zubair masuk ke dalam ruangan khusus milik Sultan Iskandar.

Lelaki yang saling memegang kedua tangannya di belakang punggung itu memutar tubuhnya ke arah Panglima Zubair yang baru tiba. Gurat kesedihan tergambar dari wajah sang Sultan Iskandar.

"Panglima!" lirih Sultan Iskandar menatap gundah pada Panglima Zubair.

"Iya, Paduka Sultan!" sahut Panglima Zubair.

"Suatu hal yang buruk sudah terjadi, Panglima!" Sultan Iskandar menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang terletak di samping jendela ruangan yang mengarah pada pemandangan pemandian yang terletak di luar ruangan istana. Pemandian yang biasanya digunakan oleh sang Ratu berendam bersama para dayang-dayang istana.

Rahang Panglima Zubair menegang menatap penasaran pada Sultan Iskandar.

"Penyebaran agama Islam sepertinya akan berakhir Panglima. Beberapa pemberontak mengancam akan membunuh para warga yang ingin memeluk agama Islam. Dan hal yang lebih parah lagi, mereka akan membayar siapapun yang mau melesat tradisi nenek moyang suku kantil hitam."

Paduka Sultan Iskandar menghela nafas panjang menjeda ucapannya. Sorot matanya menggambarkan sebuah keputusasaan. "Apalagi kini, suku kantil pun ikut bergabung dengan kompeni untuk menduduki wilayah kita." Sultan Iskandar semakin terlihat begitu sedih.

"Apakah kita harus berhenti berjuang, Panglima?" Sultan Iskandar menatap lekat pada sang Panglima.

"Tidak Sultan. Kita tidak boleh mundur demi memperjuangkan agama Allah dan kita harus tetap maju demi mempertahankan bumi kita. Jangan sampai para pemberontak itu merebut bumi kita. Kita harus menjadi pemimpin di tahan kita sendiri, bukan menjadi budak mereka," tegas Panglima Zubair.

"Percayalah kepadaku, kita harus menumpas para pemberontak dan menuntun rakyat kita ke jalan kebaikan," ucap Panglima Zubair penuh keyakinan.

"Lalu bagaimana dengan suku kantil yang terkenal dengan ilmu hitamnya?" Sultan Iskandar terlihat meragu.

"Kita masih memiliki Allah. Paduka Sultan Iskandar tidak perlu khawatir," ucap Panglima Zubair menyakinkan.

Beberapa saat lelaki yang menumpu wajahnya itu terlihat berpikir. "Baiklah Panglima, aku akan ikut berperang," tegas Sultan Iskandar.

"Tapi Sultan!" ucap Panglima Zubair.

"Bagaimanapun disituasi yang genting seperti ini, aku sebagai seorang Sultan merasa terpanggil untuk terjun ke medan perang. Sudah terlalu banyak prajurit kita yang menjadi korban dari para pemberontak yang ingin mengadu domba kita." Lelaki yang bangkit dari bangku itu menatap tajam pada Panglima Zubair.

"Baiklah, jika itu adalah permintaan Sultan Iskandar," tukas Panglima Zubair.

****

"Kenapa Bang? Kenapa aku harus pindah ke istana?" tanya gadis muda yang memiliki rambut panjang terurai itu merasa heran dengan permintaan suaminya.

"Situasi sedang sangat genting sekali, Mayang. Para pemberontak itu sudah melewati batas kewajaran." Panglima Zubair berjalan mendekati Mayang yang sedang berkemas sesuai dengan permintaan suaminya.

"Aku khawatir sesuatu hal buruk akan terjadi padamu." Panglima Zubair menyentuh kedua bahu Mayang dengan menatap lekat padanya.

"Di sana, kamu akan tinggal bersama Ratu Salma dan beberapa para istri petinggi kerajaan. Kematian Cik Sifa membaut Sultan Iskandar memperketat penjagaan pada seluruh anggota istana dari rawannya pemberontak."

Mayang mengawasi manik coklat muda yang terpancar dari sorot mata Panglima Zubair. "Baiklah Abang, jika itu yang terbaik untukku!" tutur Mayang.

Tatapan penuh kekawatiran itu membuat Mayang tidak mampu menolak permintaan Panglima Zubair.

Suara derap langkah kaki delman yang membawa Panglima Zubair dan Mayang semakin melambat. Dari kejauhan, gerbang istana milik Sultan Iskandar sudah dipenuhi oleh beberapa kuda dan prajurit yang akan pergi ke medan perang. Tepatnya, menyerang para pemberontak yang menolak datangnya agama Islam di tanah pesisir utara dan selatan.

"Abang!" Mayang menyentuh punggung tangan Panglima Zubair yang menoleh ke arahnya karena sentuhan tangannya.

"Aku akan menunggu sampai Abang pulang!" tutur Mayang diikuti ulasan senyuman yang terlihat dari sinar fajar yang semakin terang.

Panglima Zubair tersenyum kecil, lalu mengecup pada punggung tangan Mayang yang berada di genggamannya.

"Mayang ini adalah Cik Yusniar, dia akan menjaga kamu dan juga Ratu Salma. Jika kamu butuh apapun kamu bisa mengatakan kepadanya," ucap Sultan Iskandar pada Mayang yang baru tiba.

Wanita bertubuh tinggi besar yang bernama Cik Yusniar itu melemparkan senyuman ramah kepada Mayang yang berdiri di samping Panglima Zubair.

"Selamat datang Nyonya, senang sekali bertemu dengan Nyonya Mayang." Wanita yang mengenakan penutup kepala berwarna hitam itu mengulurkan tangannya pada Mayang.

"Senang sekali juga bisa berjumpa dengan Cik Yusniar," jawab Mayang membalas uluran tangan Cik Yusniar.

Mayang melambaikan tangannya pada Panglima Zubair yang memacu kudanya meninggalkan halaman kerajaan. Mungkin butuh waktu satu minggu rombongan Sultan Iskandar akan tiba di perbatasan. Dimana para pemberontak itu mengambil alih seluruh wilayah perbatasan dan menentang agama Islam yang sedang berkembang pesat di sana.

"Apakah Sultan yakin, jika wanita itu bisa menjaga Ratu dan yang lainnya?" tanya Panglima Zubair pada lelaki yang berada di dalam kereta kuda.

"Aku memang masih baru mengenal Cik Yusniar, hanya saja kemampuannya dalam bela diri tidak dapat diragukan lagi. Karena alasan itulah aku mempercayakan Cik Yusniar untuk menjaga Ratu Salma. Lagipula ada beberapa pengawal yang lainnya yang membantu Cik Yusniar untuk membantu menjaga kerajaan," jelas Sultan Iskandar menenangkan gurat kekhawatiran Panglima Zubair.

*****

Bersambung ....

También te puede interesar

Pesan Cinta Effendik

“Menata hati bukan ikwal membalik telapak Mencairkan luka jua tak sekedar meneguk kopi Menyapu keresahan masa lalu jua teramat tak mampu Semua adalah garis takdir qada Mau tak mau harus terlewati Di sisinya ada jurang di sisi yang lain ada lubang Di tengah-tengah ada serapak dua kaki Bila salah sedikit neraka jahanam adalah ujung tanpa tepi Bukan masalah hanya mengucap Bismillah Atau mengusap kedua tangan kemuka dengan Allhamdulillah Tapi terus berjalan di jalanan yang benar Setegak alif sekuat baq berjuang demi menjaga keimanan dan kesalehan hati Terus berusaha hidup dengan lafaz shalawat dan tabuh genderang takbir langit” *** Begitulah serat cinta lampiran sebait puisi Effendik yang iya tulis rapi bak catatan buki diari. Sore menjelang magrib dengan segelas kopi dan sebungkus rokok di atas meja berteman sunyi sebuah gang desa bernama Mojokembang. Sebuah desa pinggiran kota Jombang. Ini ikhwal sebuah cerita dan album masa lalu Bagus Effendik. Seorang lelaki muda yang sedang mencari jati diri. Benturan demi benturan kenyataan pahit terus ia lalui. Kehidupan sederhana dari orang tua yang sederhana membuat ia harus selalu berjibakuh dan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Bagus Effendik yang sering dipanggil dengan sebutan Cacak Endik. Adalah pemuda biasa dari kebanyakan pemuda kampung lainnya. Namun di balik penampilannya yang biasa saja terselip kalam-kalam illahi yang indah yang selalu tergetar di mulut dan hatinya. Jalan takdir yang ia miliki membuatnya selalu resah dengan keadaan yang diterimanya. Iya selalu bertanya dalam hati apa itu cinta sebenarnya dalam arti mana harus ku kerahui cinta apakah dalam arti kiasan atau secara hakikatnya

Cacak_Endik_6581 · Historia
Sin suficientes valoraciones
55 Chs