"Yera, plis stop!"
Tapi Yera tak mendengarkan Fathan. Fathan menarik napas. "Sayang," ucapnya.
Yera yang ketawa-ketiwi refleks merubah raut wajahnya, datar dan menghentikan langkahnya. Fathan tersenyum miring.
"Harus bilang sayang dulu baru diem, hm?"
Yera mengerjap. "Dih, apa si, geli tahu." cibirnya.
"Mana parfum gue?"
Yera menaruh parfum itu di atas nakas. Fathan mengambil lalu memakainya. Kemudian ia menyisir rambutnya. Setelah itu mengambil sajadah dan peci. "Ganteng kan gue?" tanyanya setelah memakai peci.
Yera menatap Fathan dari atas sampai bawah. "Pede banget lo." ujarnya. Padahal dalam hati Yera mengiyakan.
"Gini-gini gue inceran kaum hawa. Lo harus bersyukur dijodohin sama gue."
"Biasa aja. Harusnya gue nolak."
"Terus kenapa setuju?"
"Kalau bukan karena Bunda, gue udah nolak dari awal. Lo juga kenapa setuju aja sih?"
"Karena ... lo istimewa." jawabnya dengan senyum tipis.
"Dih, sana lo salat jum'at." suruh Yera.
Apoya a tus autores y traductores favoritos en webnovel.com