webnovel

Laki-laki Misterius 2 

Renee menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

Baru beberapa jam ia tiba di Mansion keluarga Emmanuel, tapi ia sudah merasakan tekanan yang luar biasa yang membuatnya ragu apakah ia bisa bertahan di Mansion ini selama tiga bulan atau tidak.

Ya, Ratu menjanjikan dirinya untuk berada di sekitar Leo selama tiga bulan untuk memantau apa pun yang laki-laki itu lakukan, Renee tidak tahu apa alasannya mengapa dirinya yang dipilih oleh sang Ratu, tapi yang jelas ia sangat membutuhkan emas itu untuk membangun kedai yang ia impikan.

Renee tidak memiliki keahlian lain selain berakting di panggung teater, tapi karirnya sudah redup dan ia tidak mungkin lagi bertahan di sana, Renee hanya bisa melakukan apa pun agar ia bisa bertahan di kehidupan yang keras ini.

"Tidak apa-apa," gumam Renee sambil bangkit dari tempat tidur, ia menghela napas panjang.

Di sini terlalu sunyi, bahkan tidak ada suara detak jarum jam yang terdengar, Renee hampir berpikir ia bisa mendengar suara napas dan detak jantungnya sendiri.

"Tidak peduli seberapa aneh tempat ini, kau hanya bisa bertahan Renee. Demi emas dari Ratu, kau harus bisa!"

Renee tersenyum pada tembok kosong, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri.

Suara kenop diputar dengan amat pelan terdengar, Renee langsung menoleh dan mendapati wajah Ivana muncul.

"Tugas pertamamu dimulai, Tuan Leon ingin menghirup udara segar di luar."

"Ah?" Renee tergagap, ia bangkit dari ranjang dengan suara derit yang keras. "Tapi ini jam dua malam."

"Lalu?"

Renee terdiam, lalu menyadari kalau tidak ada gunanya dirinya untuk bertingkah seperti ini, semua orang yang ada di sini sangatlah aneh dan ia harus memakluminya, yang terpenting ia harus bersikap profesional layaknya seorang aktris.

"Tidak, maafkan aku."

Renee mengambil sweter rajut dan memakainya sambil berjalan, mengikuti langkah Ivana yang ada di depannya. Mereka sampai di ruang kerja sang Marquis dan Ivana tanpa berkata apa-apa, langsung pergi meninggalkannya.

Renee tidak tahu apakah ia harus mengumpat atau tidak pada Ivana. Wanita itu kemudian menatap pintu kayu jati yang ada di depannya, menarik napas dan memasang wajah tersenyum.

Renee sedikit bingung, apakah ia harus mengetuk pintu atau tidak, tapi pada akhirnya ia tidak ingin dicap sebagai pelayan yang tidak sopan dan mengetuk pintu dengan pelan.

"Tuan Leo, Renee di sini untuk melayani anda."

"Masuklah," sahut seseorang dari dalam, Renee dengan gugup membuka pintu dan langsung melihat sosok sang Marquis yang menatap ke arah jam dinding besar yang ada di sudut ruangan.

Leo masih memakai pakaian yang sama ketika menyambutnya, noda yang Renee temukan di ujung lengan bajunya sudah menghilang. Wajahnya terlihat dingin dan ada jejak kelelahan di sana.

Tapi meskipun begitu, ketampanan laki-laki itu tidak dapat disembunyikan, seperti sebuah berlian langka yang memiliki keunikannya sendiri di dalam etalase kaca, berharga dan tidak dapat dijangkau dengan mudah.

Renee tanpa sadar melihat ke arah jendela, dan masih sama, tertutup rapat tirai, bahkan cahaya bulan yang bersinar di luar sana pun, tidak akan bisa menerobos masuk.

"Bawa aku keluar."

Leo tidak menatap Renee, matanya itu masih terpaku pada jam besar yang berdetak tanpa suara di sudut, seakan itu adalah pemandangan paling menarik daripada dirinya.

"Baik, Tuan Leo."

Renee berjalan di belakang laki-laki itu, mendorong kursi rodanya untuk keluar, untungnya ruang kerja sang Marquis ada di lantai satu, sehingga ia tidak perlu repot untuk membawanya turun naik tangga.

Renee tidak tahu seperti apa Leo sebenarnya, selama ini ia hanya mendengar banyak rumor yang semuanya adalah rumor buruk tentang sang Marquis, ia berusaha menahan dirinya untuk berpikiran yang tidak-tidak.

Bagaimana pun, itu hanya rumor, bukan kenyataan.

Mungkin Leo hanya orang yang memiliki sedikit kelainan dan membuat orang menganggapnya sebagai orang yang tidak waras.

"Kemana Tuan Leo ingin pergi?" tanya Renee sambil mendorong kursi roda dengan gerakan pelan.

"Pergi ke taman." Leo menyahut dengan santai di depannya, ia bersandar dengan nyaman di kursi roda yang didorong Renee, kakinya dilapisi oleh selimut tebal yang membuat wanita itu bertanya-tanya, apakah kakinya bisa digerakkan atau tidak?

Apakah itu patah?

Renee menghela napas pelan, ia tidak boleh mengatakan hal seperti itu, jika Tuan Leo tersinggung, mungkin ia akan kehilangan emas yang dijanjikan sang Ratu.

Renee terus mendorong Leo untuk pergi ke taman, cahaya bulan bersinar dengan terang dan angin dingin bertiup menggoyangkan dedaunan, Leo tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan Renee terus mendorong hingga mereka tiba di depan gazebo yang berdiri dengan kokoh di sudut taman.

"Tuan, apakah anda ingin pergi ke tempat lain?" tanya Renee dengan hati-hati.

Jika ini siang, Renee mungkin akan sedikit lebih energik melayani Tuannya, tapi ini adalah malam hari, ia bingung harus melakukan apa dan angin yang terus bertiup ini membuat tubuhnya menggigil.

"Tidak, cukup di sini." Leo mengisyaratkan agar Renee mundur dari sisinya, ia menopang dagunya dan menatap langit. "Bukankah hari ini sangat cerah?"

"Ya." Renee menjawab tanpa ragu, ia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menganggap semua keanehan yang terjadi sebagai sebuah kewajaran. "Hari ini sangat cerah, sangat bagus untuk duduk minum teh sambil melihat cahaya bulan."

Meskipun pada kenyataannya, angin berhembus terlalu keras dan ia hampir membeku.

Leo yang tidak pernah menatap Renee akhirnya menoleh, ia terlihat tertarik dengan apa yang dikatakan.

"Lalu tolong sajikan teh hangat di sini."

Renee tercekat, bibirnya tanpa sadar melengkung ke bawah.

"Mohon tunggu sebentar, Tuan Leo."

"Cepatlah, kau tidak ingin membuat Tuanmu kedinginan di sini, kan?"

Leo melambaikan tangannya, di wajahnya terulas senyum miring dan matanya itu berbinar, seperti mendapat kesenangan baru.

Renee menggigit bibirnya, ia tahu kalau saat ini ia sedang dipermainkan oleh Leo.

"Sialan."

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Leo lagi, tangannya menarik selimut untuk mendekati lehernya.

"Tidak, saya akan mengambil teh ke dalam." Wanita itu langsung masuk ke dalam rumah, bahkan tanpa menoleh pun, ia yakin jika Leo saat ini tengah mengejeknya.

Sesuai dugaan Renee, Leo memang mengejeknya saat ini, bedanya ia bukan tersenyum tipis seerti yang biasa ia lakukan, tapi ia menyeringai lebar.

"Ratu … apa tidak ada wanita yang lebih pintar untuk dikirim padaku?"

Mata hitam Leo itu menatap kepergian Renee yang terburu-buru masuk ke dalam rumah, tampak sekali jika yang ada di pikiran Renee saat ini ia hanya ingin membawa teh secepat mungkin ke hadapan Leo.

"Bodoh sekali, siapa yang akan pergi ke taman di jam dua pagi?"

Leo mendengkus, kemudian mengusap lengannya.

"Ini … dingin sekali."

Siguiente capítulo