Barang yang mempunyai banyak variasi itu, ia ambil dengan sembarangan karena tak tahu mana yang harus dipilih. Tasnya sudah menggembung, layaknya orang hamil. Tak sengaja kakinya yang ingin menjelajah lagi, menginjak susu kemasan. Ia lantas teringat Alyssa, dengan cepat ia ambil semua susu kemasan yang masih bagus dan hendak pulang.
Geraknya terhenti, kala sudut matanya menangkap sesuatu di bawah makanan kecil yang berserakan. Boni memungutnya, ada sebuah jepit kecil kupu-kupu yang terlihat cantik.
"Bagus juga nih," gumamnya.
Dia tersenyum sumringah, bisa menggantikan membawa sesuatu untuk Alyssa. Disela senyumnya, Boni merasakan seperti ada seseorang yang sedang memandangnya dari dalam toko. Ia menoleh, memindai di bawah sebuah lampu yang berkedip. Terlihat seseorang sedang berdiri di sana.
Boni hanya bisa melihat bagian kaki orang itu yang bersih dan tak berdarah seperti para zombi. Dia merasa lega karena orang itu adalah manusia, dengan perlahan ia mendekat. Akan tetapi, tiba-tiba lampu yang menyorot orang itu mati.
"Haishh, bikin kaget saja," batin Boni.
"Hei, apa kau sembunyi di sini?" tanyanya dengan berbisik. Dia takut suaranya terdengar oleh para zombi yang berada di luar.
Ketika langkah kakinya begitu dekat dengan orang itu, lampu menyala begitu terang. Memperlihatkan seorang wanita berkerudung yang ternyata adalah asisten dari pemilik toko. Sialnya si asisten itu sudah berubah wujud sama seperti bosnya, dengan mulut yang menganga, menampakkan sisa-sisa daging yang terselip di sela-sela giginya.
"HUARGHHH!!!"
Sontak, Boni berlari keluar toko tanpa memperdulikan banyaknya zombi yang berada di jalan. Ia hanya berlari melewati pekarangan dan terus berlari. Asisten yang sudah menjadi zombi itu, mengejarnya di urutan paling depan.
Ia baru teringat sekarang, kalau asisten itu tuna rungu, makanya ia tak bergerak ketika melihat Boni tak bersuara di kegelapan. Namun, saat melihat Boni di tempat yang terang, ia langsung bereaksi.
"Alamak Tuhannn!!!! Sial kali nasib aku!" sebutnya dengan terus berlari.
Fajar makin menyingsing. Boni harus segera sampai kalau tidak ingin di terjang oleh zombi di segala sisi. Ia berlari melewati rumahnya, agar zombi itu tak berhenti di sana. Karena dia hapal rumah tetangganya, dia masuk ke dalam rumah dengan begitu mudah dan begitu pula ketika keluar. Dia tahu di mana letak pintu belakang dan mampu membuatnya lolos dari kejaran para zombi yang berada di dalam rumah.
Setahunya, para zombi itu hanya tahu mengejar tanpa tahu membuka pintu atau mencari jalan keluar. Jadi cara yang paling mudah adalah memasukkannya ke dalam rumah dan menutup pintu.
Mereka tak akan bisa keluar kecuali ada yang membukakan pintu atau mereka mendobrak dengan jumlah zombi yang banyak.
"Nyaho kalian, 'kan?" ujarnya bangga dengan diri sendiri.
Dia kemudian berlari menuju rumah. Di tengah rasa senangnya, ia menabrak sesuatu di jalan.
"Waduh!" batinnya takut.
Ada seorang zombi yang masih tertinggal dan siap menerkam Boni. Ia kebingungan karena parangnya tak ada
SLAP!"
Zombi itu mendadak berhenti dengan posisi tangan yang terangkat ke atas. Ia pun terkejut, kala melihat zombi itu diam tak berkutik.
Tiba-tiba, leher zombi itu mengeluarkan darah dan kepalanya langsung lengser begitu saja, digantikan oleh kepala Indro yang baru terlihat dari balik tubuh zombi itu.
"Bruk!" Zombi itu tersungkur.
"Ayo!" ajak Indro, mereka langsung berlari pulang ke rumah Boni.
"Hah hah hah!" Suara napas tersengal dari Boni memenuhi ruangan.
Sinta yang baru datang dari kamar, menatap dengan cemas.
"Tak apa-apa Mas? Ada yang luka? Apa zombi itu kemari?" cecarnya dengan banyak pertanyaan.
Boni menata napasnya terlebih dulu dan menelan ludah agar mampu menjawab, "Satu satu Mbak, tanyanya."
"Oh iya, maaf Mas," sahut Sinta tak enak. "Apa mas terluka?" tanyanya.
"Nggak, cuma capek aja," jawabnya dengan napas masih tersengal, setelah berlari cukup brutal.
Tadi adalah suatu rekor untuk Boni, mendapatkan ancaman yang nyata membuatnya mengesampingkan rasa sakit dan hanya berpikir untuk berlari sekencang mungkin. Dan sekarang efeknya baru terasa, kakinya langsung pegal bukan main.
"Duduk dulu mas." Sinta menggandeng tangan Boni untuk duduk di sofa.
Ia duduk setelah menaruh tas yang ia bawa ke lantai.
"Hahh, aku mau tepar dulu," ujarnya dengan merebahkan diri dan memejamkan mata.
Sinta membiarkannya dan hendak membawa tas itu ke dapur. Akan tetapi, ia sedikit kesukitan, tas yang tak begitu besar itu terasa begitu berat. Berbeda dengan tas yang ia jaga sebelumnya, mungkin karena isinya berbeda.
Dengan bantuan Indro ia membawa tas itu ke dapur. Dia mengeluarkan semua isi tas dan menemukan pesanannya. Hanya saja sepertinya ada yang tertinggal. Dia kembali lagi ke ruang tamu.
"Mas," panggil Sinta dengan menggoyangkan tubuh Boni.
"Ya?" sahut Boni malas.
"Telurnya mana?" tanya Sinta.
Seketika itu juga, mata Boni terbuka lebar, dia terbangun dengan sendirinya. Tatapan matanya begitu syok.
"Gawat! Aku lupa!" serunya pelan.
Akibat asisten tadi, ia lupa akan telur yang sudah ia tata. "Gimana ini?" tanyanya dengan takut.
Indro menghela napas. "Kamu tinggal di mana?" tanyanya.
"Di toko, gara-gara si asisten budeg itu makanya aku jadi lupa," jawab Boni.
"Ya sudah, biar aku saja yang pergi," ucap Indro.
"Jangan Om, biar saya saja. Ini tugas saya," sergah Boni, tak mau tugasnya di ambil alih, pantang untuknya menyerah tanpa berusaha terlebih dulu.
"Yakin kamu?" tanya Indro tak percaya.
"Yakin Om, lagipula zombinya udah pada di dalam rumah tadi. Jadi, aman," jawab Boni yakin.
"Baiklah, berhati-hatilah," pesan Indro.
"Tasnya mana Mbak?" tanya Boni pada Sinta.
"Oh ya, sebentar Mas." Sinta membawakan kembali tas yang sudah kosong.
Boni segera mengintai dari jendela, memastikan jalan yang akan dilalui aman.
"Doakan aku," pintanya sebelum pergi.
Indro dan Sinta menatap dari balik kaca jendela dengan khawatir.
Ketika Boni berusaha kembali ke toko. Jefri dan Iko mengganti rencana mereka ke sebuah rumah sakit terdekat, sebab puskemas desa sudah menjadi sarang para zombi. Tak ada waktu untuk melawan ataupun membuat pengalihan.
Karena itulah, keduanya mengambil motor di bekas warung yang sudah rata dengan tanah. Mereka diuntungkan dengan keadaan jalan raya yang sepi. Hanya hitungan menit saja, mereka sudah sampai di depan gedung rumah sakit.
Keduanya menyelinap masuk ke dalam rumah sakit yang nampak sepi. Ada beberapa zombi yang terlihat setelah melintasi lobby. Karena tak tahu di mana tempat penyimpanan darah, mereka memeriksa sebagian besar lantai 1 sembari menghindari para zombi yang berseragam perawat dan pasein.
Apapun yang mereka temukan, seperti jarum, kain kasa, alkohol dan yang lainnya, langsung masuk ke dalam tas. Setelah beberapa lama, akhirnya darah yang bertuliskan Ab- di sebuah kulkas ditemukan, bersama dengan darah yang lainnya.
Jefri dan Iko saling tatap dengan senyum terkembang. Misi mereka berhasil, dengan tangan yang penuh kebahagiaan, keduanya mengambil beberapa macam darah untuk persediaan. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah keluar dan pulang dengan hidup-hidup.
Sayangnya ....