Wanita itu mengernyit menatap bungkusan plastik yang disodorkan oleh Jefri.
"Sepertinya Mbak, butuh ganti baju," tutur Jefri dengan canggung.
Wanita itu sedikit terhenyak.
"Iya Mbak, ganti baju aja di mobil. Kita jaga di sini," saran Anya yang melihat kondisi baju wanita itu yang terlihat kotor dan sedikit compang-camping.
Wanita itu terlihat malu.
"Ini untukmu." Jefri memberikan jaket kulit warna hitam ke Anya.
"Terima kasih," sambut Anya senang lantas mengajak wanita itu berganti baju. "Yuk Mbak."
Boni menyenggol Jefri. "Aku mana Jep?" tanyanya dengan menengadahkan tangan.
"Lah, kau kan udah nyari sendiri tadi. Kenapa malah minta aku," sergah Jefri.
"Yaelah, mana kepikiran," sahut Boni.
"Ya udah cari sendiri aja sana," usir Jefri.
"Temenin," rengek Boni dengan menggandeng lengan Jefri.
"Ogah!" tolak Jefri mentah-mentah seraya mencoba melepaskan gandengan Boni yang sangat erat.
"Ayolahhh." Boni menarik tangan Jefri dengan manja.
"Ihhh!" Jefri menepis tangan Boni, dia merasa geli melihat tingkah temannya itu.
"Masih ada waktu, kalau memang mau nyari jaket, sebaiknya lakukan sekarang dengan cepat," ujar Indro tegas.
"Ayoklah Jeppp, kau kan teman terbaikkuuu," ajak Boni lagi dengan memohon.
"Iya iya," sahut Jefri menyerah, lantas pergi dengan Boni.
Di dalam mobil, Anya sedikit terkejut ketika melihat tubuh wanita itu ada beberapa lebam dan bekas kemerahan di lehernya. Namun Anya hanya diam tak bertanya. Ia takut jika bertanya akan mengungkit peristiwa yang menimpa wanita itu.
Tak lama Boni dan Jefri kembali dengan memakai jaket levis. Mereka langsung melanjutkan perjalanan setelah mengambil tombak masing-masing, menuju tempat aman yang belum diketahui di mana tempatnya.
Jalanan nampak sepi, bangunan serta rumah yang mereka lewati nampak kosong, pintu terbuka lebar seakan penghuninya terburu-buru pergi. Mereka yang berada di dalam mobil nampak cemas dan takut. Karena ada beberapa tempat yang nampak sangat berantakan dan terdapat ceceran darah berwarna merah.
"Di mana semua orang?" gumam Anya.
Mereka semua sepemikiran dengan Anya. Menatap sekitar, mencari keberadaan manusia yang tak terlihat sejak dari tempat mereka menginap semalam. SMA Negeri yang mereka lewati pun terlihat sunyi.
Saat berada di sebuah belokan, mereka terkejut setengah mati dengan banyaknya mahkluk mengerikan yang sedang merangsek masuk ke dalam rumah-rumah di sekitar jalan. Suara raungan dan pekikan ketakutan terdengar dari dalam rumah kayu yang sudah roboh diterjang oleh banyaknya mahkluk mengerikan itu.
Geraman mobil off-road milik Indro membuat mahkluk itu menoleh dan menargetkan mereka sebagai mangsa selanjutnya.
Tak ada waktu untuk memutar balik karena posisi mereka yang tak bagus, mobil berhenti tepat di tengah jalan. Alhasil yang bisa mereka lakukan adalah maju ke depan dengan menabrak semua mahkluk mengerikan yang menghadang.
Anya menusukkan tombak pada mahkluk yang mencoba meraihnya. Sontak, Jefri dan Boni memakai tombak mereka untuk pertahanan dan menusuk setiap mahkluk yang mendekat. Wanita itu ketakutan sendiri di tengah mobil, sembari menutup telinganya karena suara mahkluk itu begitu mengerikan.
"HARGHH!! HUARGGHH!! HUARGGHHHH!"
Mobil menembus jalan kecil beraspal yang berkelok-kelok. Mahkluk itu masih setia mengejar, meski mobil sudah berusaha melaju dengan kecepatan tinggi.
Ketika sampai di sebuah perbatasan desa, tiba-tiba ban mobil meletus. "DUAR!" Membuat mobil itu oleng dan hampir terguling ke area persawahan yang ada di pinggir jalan. Untung Indro mampu mengendalikannya.
Mereka semua harus segera turun dan berlari karena suara letusan begitu kencang. Suara itu akan memancing mahkluk mengerikan yang berada di sekitar desa itu.
"Lari! Cepat!" seru Indro.
Suara raungan dari para pengejar terdengar makin dekat. Mereka berlari masuk ke desa, semua rumah tertutup rapat ketika melihat mereka berlari tergopoh. Di sebuah balkon rumah lantai 2, terlihat sebuah keluarga yang ketakutan dan langsung masuk ke dalam rumah saat Anya dan yang lainnya masuk ke halaman rumah.
Seketika Anya, menggedor pintu itu meminta pertolongan.
"TOLONGGG!! TOLONGG KAMIIII!!!" pekik Anya.
Dia menggedor berulang kali namun tak ada yang keluar, apalagi menjawab. Tak menyerah, ia berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Yang lain pun ikut meminta tolong, sayangnya tak ada yang mau membukakan pintu sama sekali. Hingga mahkluk itu terlihat di pertigaan jalan.
"Lari saja!" titah Indro karena percuma meminta tolong.
Anya terjatuh ketika berusaha berlari kembali. Kakinya berdarah, terantuk aspal jalan. Akhirnya ia lari dengan terpincang-pincang. Indro langsung membantu anaknya. Hal itu membuat laju mereka melambat. Ada beberapa mahkluk yang sudah sangat dekat dan hendak menggigit tangan Anya yang berada di pundak Indro.
"AWAS! MENUNDUK!" pekik Jefri lantas menusukkan tombaknya ke para mahkluk itu.
Langkah mereka terhenti sejenak, semua meluncurkan tombaknya di leher atau kepala setiap mahkluk yang mendekat. Ada yang menerjang sang wanita yang tak membawa tombak.
"AAAAAA!!" pekik wanita itu.
Dengan segera Jefri menusuk otak kecil mahkluk itu.
"Kuatkan dirimu!" seru Jefri ke wanita itu yang ingin menangis, lantas kembali membantu yang lain.
Mereka berlari kembali, sebelum kawanan para mahkluk yang sudah menyerang beberapa rumah itu menargetkan mereka lagi. Akan tetapi, langkah mereka harus terhenti. Di depan, datang kawanan mahkluk yang terlihat lebih agresif dengan raungan yang sangat kencang. Alhasil, mereka terjepit.
"Gimana ini Om?" seru Jefri.
"Melingkar!" titah Indro.
Mereka membuat formasi lingkaran, dengan wanita itu berada di tengah karena tak punya senjata. ia bertugas membawa tas.
Jantung mereka berdebar kencang, tak ada jalan lain untuk menghindar dari serangan dua sisi para mahkluk itu. Rasa takut terlihat di setiap wajah yang berusaha untuk mencari jalan keluar. Wanita yang berada di tengah, sudah meneteskan air mata, tangannya bergetar hebat. Ia berpikir hari itu adalah hari terakhir dalam hidupnya.
"HUARGGHH! HUARGGGGHHHHHG!!!!"
Mereka bersiap dengan tombak masing-masing. Boni menelan ludah dengan susah payah karena saking takutnya. sedangkan Jefri mencengkeram tombak dengan kuat, ia tak boleh ragu apalagi merasa kasihan pada mahkluk yang ingin mencabik-cabik mereka itu.
Satu persatu mahkluk datang mendekat, Jefri menguatkan imannya dan menusukkan tombak berulang kali dengan tepat sasaran. Berbeda dengan Jefri, Boni menusukkan tombaknya dengan sembarangan hingga ia kewalahan sendiri.
"INCAR KEPALANYA BON!" pekik Jefri memberitahu.
"JLEB!" Boni berhasil membunuh satu mahkluk tepat di kepalanya setelah tak berhasil membunuh di area jantung tadi.
"JLEB! JLEB! JLEB!" Suara tusukan tombak mengudara di jalan yang kering. Indro menghabisi dengan cepat bersama Anya yang berada di sampingnya.
Boni kewalahan lagi, ia tak tega menghabisi mahkluk berjenis kelamin wanita yang sudah tertusuk tombak tepat di bagian perut itu. Ia merasa kasihan karena mulut mahkluk itu belum berdarah-darah seperti yang lain, itu tandanya mahkluk itu baru saja berubah.
"JLEB!" Mahkluk itu lemas seketika setelah darah kental berwarna hitam mengucur keluar dari mulutnya. "JANGAN RAGU! Kalau nggak, kita yang akan mati!" seru Jefri dengan menarik tombaknya dari belakang kepala mahkluk itu.
Ketika Jefri masih menatap mata kosong mahkluk itu, tiba-tiba ada yang menerjang dan menggigit perut buncitnya.
"Hargh! Hargh! Harghhh!!" Mulut mahkluk itu tak bisa menggigit perut Boni.
Boni yang sudah ketakutan, mengira ajalnya telah tiba, terhenyak setelah melihat wajan aluminium dari balik kaosnya. Dengan cepat ia mendorong mahkluk itu dan menusuk tepat di mata.
"MAMPUS KAU! Emang enakkk, wajan kok digigit!" serunya senang dengan mengetuk wajan diperutnya. "DANG! DANG!"
"Ayo semua! Sini maju!" seru Boni percaya diri, perubahannya begitu drastis, ia melakukan itu untuk menutupi rasa takut yang sudah membanjiri seluruh tubuh tambunnya.
Jefri geleng-geleng melihat kelakuan temannya yang masih sempat sombong itu. Hanya saja ia tak bisa menegur Boni karena makin lama, jumlah mahkluk itu kian bertambah banyak. Tak berkurang sedikit pun hingga mereka kelelahan. Apalagi mereka harus menghadang mahkluk mengerikan yang ingin menggigit wanita yang ada di tengah. Pekerjaan mereka menjadi lebih berat.
Di sela-sela tusukan-tusukan yang dilontarkan. Indro mencari ide agar mereka bisa bertahan.
"SEMUA! MUNDUR KE PAGAR ITU!" pekik Indro dengan menunjuk sebuah pagar hitam tak jauh dari tempat mereka.
Mereka semua bergerak sembari tak berhenti melawan. Pisau di tombak Boni tertinggal di kepala seorang mahkluk. Yang tersisa hanyalah tongkat.
"Jef! Masuk ke dalam pagar!" seru Indro.
Jefri perlahan mencoba masuk. Boni menahan yang datang dengan tongkatnya.
"CEPAT JEP!" pekiknya.
Jefri menggunakan kesempatan itu untuk melompat ke dalam pagar dan membuka.
"Masuk!" serunya.
Semua masuk satu persatu, tinggal Boni yang tertinggal.
"AYO BON!!" pekik mereka.
Boni mendorong mahkluk itu menjauh lantas masuk.
"BRANG!!" Gerbang ditutup dengan kencang dan digembok. Mahkluk itu menabrak gerbang, masih berusaha ingin meraih Jefri dan yang lainnya. Mereka terhenyak mundur, kala gerbang itu didorong oleh banyaknya mahkluk yang berkumpul hingga engselnya hampir lepas.
Mereka menatap dengan pasrah, seluruh tenaga untuk melawan sudah terkuras habis di siang yang begitu terik. Kehausan dan kelelahan, itu yang mereka rasakan.
Tiba-tiba, ada suara peluit yang sangat kencang.
"PRIIIIITTTTTTTTT!!!!!! PRIIIIIITTTTTTTTTTTTT!!!!!"