webnovel

Tak ada bantuan

Pria yang terlihat sangat tidak ramah itu melanjutkan ucapannya. "Kalian harus segera pergi meninggalkan tempat ini!" titah pria itu dengan berbalik menatap tajam.

Sontak Jefri dan yang lainnya terkejut. Baru saja keluar dari maut, mereka harus keluar lagi menghadapi para mahkluk yang ganas luar biasa itu. Si wanita yang sedang bersama gadis kecil itu juga terkejut bukan main, ia lantas bergegas mendatangi sang pria dengan meninggalkan gadis kecilnya di tangga.

"Biarkan mereka tinggal di sini untuk beristirahat, kasihan mereka," bujuk si wanita dengan tatapan memohon.

Pria itu tak terbujuk, ia malah naik pitam dan melayangkan tangan besarnya ke pipi sang wanita. "PLAK!" Suara tamparan itu cukup keras, raungan para mahkluk itu tak mampu menutupi betapa murkanya sang pria terhadap wanita kurus di hadapannya saat ini.

Jefri dan yang lainnya makin terkejut atas perlakuan pria itu. Mereka tidak menyangka kalau sang pria sangat tega.

"Mereka sudah membuat rumah ini tak aman lagi! Dan ini semua gara-gara kamu! PLAK PLAK PLAK!!!!" Pria itu sangat marah, hingga urat-urat di wajahnya timbul dan memunculkan warna merah. Sang wanita diam dengan menutup kedua pipinya yang menjadi tempat sasaran tangan jahat sang pria, ia tertunduk dengan sedikit rambut menutupi wajah kecilnya.

Indro melihat darah di ujung bibir tipis wanita itu. Ia lantas mencoba menengahi agar sang wanita tak mendapat amukan lagi. "Maafkan kami, kami tak bermaksud membuat rumah kalian tak aman. Kami akan pergi saat situasi sudah aman," janjinya.

Anya merasa tak terima dengan janji Indro. "Ayah bagaimana kita bisa keluar? Di luar ada banyak monsterrrr," bisiknya dengan memegang erat kaos Indro. Anya terlihat sangat takut.

Indro menggenggam tangan anaknya itu dan menatap Anya seakan bilang bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kami akan pergi setelah merawat luka teman kami dan beristirahat," lanjut Indro dengan membawa Anya dan yang lain ke garasi.

Sedangkan pria itu menatap mereka dengan tak suka, dari tatapan matanya bisa terlihat kalau dia ingin sekali mengusir Indro dan yang lainnya saat itu juga. Ia tak peduli nasib orang lain, selama dia aman di sini. Tak akan ia izinkan lagi siapapun itu, untuk masuk ke rumahnya.

Indro dan yang lain, terpaksa harus beristirahat dengan mendengarkan suara raungan mahkluk mengerikan itu. Ditambah suara cakaran dan gebrakan di pintu besi garasi, membuat telinga mereka berdenging sakit. Satu-satunya jalan adalah menutup telinga rapat-rapat.

Saat itu Anya teringat bahwa dia membawa ponselnya. Namun sayang, setelah mencoba mencari di saku celana, ia mendapati bahwa ponselnya tak ada. Anya mengingat-ingat kembali di mana ia menyimpan ponsel keluaran dari China itu.

Dia mendengus kesal, kala teringat bahwa ponselnya terjatuh saat hampir diserang oleh zombi di depan rumahnya sendiri.

"Hahhhh!" desahnya.

"Kenapa?" tanya Jefri.

"Hpku jatuh, kalau ada hp kan kita bisa minta tolong polisi atau siapapun di luar sana," terang Anya. Dia kesal, tak mengetahui bahwa ponselnya jatuh. Padahal itu adalah harapannya saat ini.

"Percuma!" Ada seseorang yang menyahut. Pria itu muncul di balik tembok dengan membawa senapan, ia menatap Anya dengan tajam. "Tak akan ada yang datang meski kamu menelepon berulang kali. Kota ini sudah hancur," ucapnya dengan sarkas.

"Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Anya dengan sedikit takut. "Apa Anda sudah mencobanya?" Ia ingin menggali informasi dari pria itu.

Pria itu berhenti, Anya sedikit tercekat. Ia takut senapan yang dibawa pria itu akan mengarah padanya hanya karena ia bertanya.

Pria itu berbalik. "Apa menurutmu aku akan tetap di sini kalau memang ada bantuan?" lontarnya. "Kalau polisi atau tentara itu memang ada, kejadian ini tak akan berlangsung, meski hanya dua hari saja," lanjut orang itu dengan ketus. Dia terlihat marah, akan tetapi tidak hanya dengan Anya dan yang lain, namun dengan bantuan yang tak datang.

Anya bingung. Masih banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, untuk menjawab tumpukan pertanyaan yang dia pikirkan sejak kejadian mengerikan ini berlangsung. "Apa di luar kota juga keadaannya sama seperti ini?" tanyanya memberanikan diri.

Pria itu makin marah. Ia menodongkan senjata api laras panjangnya ke Anya. Sontak Indro berdiri di depan sang anak.

"Aku tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan kalian. Jika kalian sudah selesai, SILAHKAN PERGI DARI SINI!" usir pria itu dengan tetap menodongkan senjatanya.

"Maaf, anak saya tak akan bertanya lagi. Biarkan kami beristirahat sebentar di sini, kami janji tak akan lama," pinta Indro dengan memohon.

Jefri meraih tangan Anya, ia menyuruh Anya untuk duduk agar pria itu tak merasa sedang di interogasi oleh Anya.

Anya patuh, ia duduk di hadapan Jefri. Pria itu lantas menarik senjatanya dan pergi. Sang ayah menghela napas lega, kemudian duduk di sampingnya.

"Jangan bertanya lagi, lebih baik sekarang kamu rawat luka Boni," titah Indro ke anaknya yang baru saja terancam nyawanya itu.

Anya menuruti kata-kata Indro, sebenarnya dia juga sangat takut tadi, dan yang dia takutkan benar-benar terjadi. Untungnya ia masih bisa lolos dari kekejaman orang itu, dia jadi merasa makin kasihan dengan wanita yang tinggal di rumah ini. Bagaimana wanita itu sanggup bertahan, jika diperlakukan seperti tadi terus menerus?

Mengingat temperamen pria itu sangatlah buruk, pasti tak hanya sekali atau dua kali pria itu memukul wanita tadi. Mungkin, sudah menjadi kebiasaan, orang itu menjadikan manusia sebagai samsak hidup.

"ADUH PERIH!" pekik Boni.

Anya yang larut dalam pikirannya, tak sengaja menekan bagian luka Boni hingga membuat mahkluk mengerikan itu semakin agresif, karena mendengar pekikan Boni.

"Pelanin suara kau!" tegur Jefri ke Boni.

Boni menutup mulutnya sendiri. Indro berdiri, dia terlihat was-was. Setelah Anya selesai merawat luka Boni, Indro meminta Jefri untuk membuka perbekalan yang ia simpan di tas yang dibawa oleh Jefri.

"Kita makan dulu dan istirahat sebentar di sini," ucap Indro sembari membagikan roti tawar.

Pria pemilik rumah itu menatap penuh ingin tahu. Indro menawarinya roti tawar, namun dia menolak dengan tatap yang meremehkan.

Indro dan yang lainnya makan dalam diam.

"Kita harus menghemat air, jadi air ini kita bagi berempat," ujar Indro dengan mengeluarkan air kemasan satu liter dari dalam tas.

Mereka semua mengangguk menyetujui dan mulai minum perlahan. Boni yang paling banyak menghabiskan air.

"Jangan banyak-banyak! Ini buat persediaan!" tegur Jefri dengan menarik tangan Boni.

Boni sedikit tak rela, namun akhirnya memberikan air itu ke Anya. Indro yang sudah minum, pergi berbicara dengan sang tuan rumah.

"Saya izin naik ke lantai atas boleh?" tanya Indro dengan sopan.

"Buat apa?" tanya pria itu dengan ketus.

"Saya ingin mengamati monster itu, dan mencari jalan untuk tempat keluar kami nanti," terang Indro.

"Oke," jawab pria itu acuh.

Indro langsung naik ke lantai atas. Dia menemukan wanita yang tadi ia lihat di dalam sebuah kamar yang tak tertutup pintunya. Wanita itu sedang bersimpuh di lantai dengan memeluk anak kecil yang tertidur. Isak tangis pelan terdengar, Indro melihat kaki wanita itu lebam dan ada bekas luka lainnya.

Bisa diketahui bahwa itu adalah bekas luka pemukulan seperti di cambuk yang sering terjadi, karena banyak bekas luka di kaki wanita itu. Sadar akan adanya Indro yang sedang mengamati, wanita yang terlihat kuyu itu segera menutup kakinya.

"Maaf mengganggu, saya mau ke balkon," terang Indro, kemudian melangkahkan kaki keluar, ia merasa tak enak telah mengamati seseorang yang tak seharusnya.

Akan tetapi, ia tak bisa mengalihkan perhatiannya. Dia merasa miris melihat perbuatan pria kejam itu, tega-teganya ia melakukan itu terhadap istrinya sendiri. Dia tahu kalau wanita itu adalah seorang istri, setelah melihat foto pernikahan yang tampak bahagia di dinding ruang tamu tadi.

Indro jadi teringat istrinya yang sudah berubah bentuk menjadi mahkluk mengerikan. Dia merasa masih bersalah tak bisa menyelamatkan sang istri. Akan tetapi, semua harus terus berjalan. Dia harus menjaga Anya agar tetap hidup.

Di bawah, tepatnya di depan garasi. Ia melihat mahkluk mengerikan itu masih setia memukul dan mencakar pintu besi itu yang membuat mahkluk lainnya terus berdatangan. Dia memutar di atas balkon, melihat sekeliling.

Rumah yang ia gunakan untuk tempat berlindung sementara ini di kelilingi oleh sawah. Tak ada bangunan lain di sebelahnya. Dia melihat tak ada mahkluk mengerikan di sepanjang sawah yang sedang tak ditanami apapun itu. Lantas ia terpikirkan sebuah rencana.

Segera Indro turun dan berbicara dengan yang lain.

"Aku ada ide," ujarnya yang membuat Jefri dan yang lain berdiri tegak mengerumuni.

"Kita lewat pintu belakang, di belakang ini sawah. Tak ada monster di sana, jadi kita bisa lewat belakang lalu ambil mobil dan putar balik," terang Indro sembari mempraktekkan dengan jemarinya yang besar agar lebih jelas.

Semua saling tatap dan menganggukkan kepala.

"Baiklah, bereskan perbekalan kita. Ayo kita langsung berangkat," titahnya.

"Kalian sudah siap pergi?" tanya tuan rumah itu tiba-tiba.

"Iya," jawab Indro. "O ya, apa boleh kami meminta air? Air kami hampir habis," pinta Indro.

"Minta? Tidak lah! Cari aja sendiri!" tolak pria itu mentah-mentah.

"Kenapa anda pelit sekali! Kami hanya meminta air," sergah Boni dengan marah.

"Pelit? Kalau aku pelit, tak akan kubiarkan kalian duduk dengan tenang di rumahku yang bagus ini," bantah pria itu dengan nyala mata yang begitu tajam.

Indro menahan Boni, ia tak mau kejadian Anya tadi terulang kembali.

"Sudah! Pergi sana! Gara-gara kalian rumahku jadi sasaran monster itu!" usir pria itu dengan marah.

Istri pria itu menatap dari atas tangga dengan prihatin. Ia tak bisa melakukan apapun untuk membantu Indro dan yang lain. Jefri menatap pria itu dengan sangat tak suka.

"APA KAMU LIHAT-LIHAT! PERGI SANA!" usir pria itu lagi dengan menatap Jefri nyalang.

Jefri merasa tak tahan diperlakukan seperti itu, ia ingin memukul pria itu setidaknya sekali saja, namun ditahan oleh Indro.

"Baik! Kami pergi," pamit Indro dengan menatap istri pria itu sejenak. Dia bingung, ingin sekali ia mengajak wanita itu pergi agar terlepas dari suaminya, akan tetapi tak ada jaminan bahwa dia akan aman bersama mereka.

"Ayo anak-anak!" ajak Indro dengan menuju pintu belakang.

Boni menyusul. Jefri ingin sekali melawan pria itu, namun lagi-lagi ditahan, dan kali ini oleh Anya. Dia terpaksa pergi dengan masih menatap tak suka pada pria itu. Untung senapannya sedang tak dibawa, kalau tidak, Jefri bisa langsung ditembak oleh pria pemarah itu.

Ketika pintu dibuka, tak ada jalan turun. Mereka harus meloncat. Boni turun dengan perlahan, karena lutut yang tak terbungkus oleh celana jeans itu masih terasa sangat nyeri. Anya dibantu turun oleh Indro. Jefri dengan lincah melompat dan mendarat dengan mulus. Pintu langsung ditutup oleh pria itu tanpa mengucapkan salam perpisahan.

Boni mendengus kesal. "Bisa-bisanya ada orang kayak begitu," omelnya.

"Sudah, lebih baik kita jalan. Sebelum monster itu melihat kita," sergah Indro.

Mereka berjalan merunduk di pematang sawah yang kering dan terkadang bersembunyi di balik pohon pisang, agar tak terlihat para mahkluk mengerikan itu.

"Om," panggil Jefri di sela persembunyiannya.

Indro menoleh.

"Kita masih belum punya solar," ujar Jefri mengingatkan alasan mereka turun dari mobil untuk mencari solar.

"Wah, iya ya," timpal Boni.

"Aku tadi lihat ada botol-botol bensin di sebuah toko di pinggir jalan waktu kita lari, mungkin di sana ada solar juga," timpal Anya.

"Kamu ingat tokonya di mana?" tanya Jefri.

Anya menoleh, melihat jalan yang masih dikelilingi oleh para mahkluk mengerikan itu.

"Itu dia, di sana!" Anya menunjuk sebuah toko kecil yang sudah porak poranda dan ada botol bensin yang terlihat masih berdiri kokoh di dalam tempatnya.

"Kita bisa coba cari tahu," ujar Indro.

"Tapi, gimana caranya Om? Di sana kan banyak mahkluk itu," tanya Boni dengan takut.

Indro berpikir sejenak.

"Kita bagi tugas," jawabnya. "Anya dan Jefri, kalian ke sana. Cari tahu apa ada solar atau perbekalan yang bisa kita gunakan buat nanti. Om dan Boni, bertugas mengalihkan mereka," terang Indro.

"Om, bagaimana caranya mengalihkan mereka?" tanya Boni, dia merasa pesimis dengan rencana Indro.

Indro melihat sesuatu di kejauhan.

"Bisa!" jawabnya pasti. "Anya, Jefri, kalian bersiap. Kalau lihat aba-aba2 dari kami, langsung saja lari dan masuk ke toko itu," titah Indro.

"Siap Om!" jawab Jefri.

Anya menatap ayahnya, dia tak rela berpisah dengan Indro.

"Kamu akan baik-baik saja sama Jefri, kita ketemu di mobil ya," pesan Indro lantas mengecup dahi anaknya.

Anya masih merasa tak rela, akan tetapi Jefri sudah menarik tangannya pergi untuk bersiap. Sedangkan Boni dan Indro pergi menuju ke tengah sawah. Mereka berpisah.

Anya terpaksa mengikuti Jefri dan bersembunyi di balik toko, sedangkan Jefri berada di area depan, memastikan tak ada mahkluk mengerikan di dekat tujuan mereka.

Boni dan Indro mengambil boneka sawah dan menaruhnya di dekat pematang sawah. Mereka lantas bersembunyi di belakang sebuah warung.

"Cepat!" titah Indro dengan menyenggol Boni yang takut.

Boni melempar mahkluk itu dengan batu kecil, namun tak ada efek, zombi itu tak menoleh ke arah mereka.

"Yang besaran, itu mah tidak terasa," sergah Indro.

Boni melempar lagi dengan batu yang lebih besar, akan tetapi tak membuahkan hasil. Mereka mengganti rencana.

"Panggil saja, cepat!" titah Indro.

"Takut Ommm," sahut Boni dengan gemetar.

Indro menghela napas sejenak. Kemudian ...

"WOI!"

Siguiente capítulo