webnovel

Kenyataan Pahit

"Aaaaaaa, tolonggggg!"

Suara jeritan sayup terdengar di gendang telinga Anya. Dia terbangun dengan menekan kepalanya yang masih pusing. Wajahnya pucat dan terlihat lemas. Dia keluar dari kamar, karena penasaran dengan suara jeritan yang tak berhenti itu.

Dari lantai 2, dia melihat ayahnya sedang berada di lantai dasar dan menatap ke pintu masuk dengan membawa senapan hewan. Anya mengernyit, lantas memanggil sang ayah.

"Ayah," panggilnya.

Ayahnya sontak menoleh dengan cepat, raut wajah pria itu begitu pucat dan nampak berkeringat dingin. Dia menyuruh Anya diam dengan memberikan kode dari jari telunjuknya.

'Apa ada maling ya?' batin Anya menebak.

"BRUAK!" Seseorang terdengar sedang menggebrak pintu dengan keras dari luar.

Anya terkejut, lantas sang ayah berlari menaiki tangga. Anya yang berada di ujung tangga, ditarik masuk ke dalam kamar. Dia tak mengerti, kenapa ayahnya terlihat begitu takut? Jika maling, harusnya maling itu yang takut karena sang ayah membawa senapan. Dia merasa aneh.

"Ada apa sih Yah?" tanyanya, wajah pucatnya butuh jawaban.

Sang ayah menghiraukan, dia sibuk memindahkan meja belajar Anya ke arah pintu dan menumpuk dengan kursi hitam. Ayahnya terengah, kemudian terdiam sejenak. Lantas bergegas memeriksa balkon. Anya mengikuti pria setengah baya itu dengan tanda tanya besar di wajah.

Di bawah, terlihat banyak sekali orang yang berkerumun di halaman rumah, dan seperti mengerubuti sesuatu.

"Ayah, itu kenapa kok pada kumpul di halaman rumah kita?" tanya Anya seraya mengerutkan kening.

Sang ayah langsung menarik Anya masuk dan menutup pintu balkon dengan rapat.

"Sstttttt! Itu monster!" jawab ayahnya dengan pelan, lalu mematikan lampu kamar.

"Kenapa dimatiin Yah?" Anya masih tak mengerti.

Tangannya di tarik oleh sang ayah hingga Anya terduduk di lantai.

"Di luar banyak monster, kalau kamu bicara terus nanti mereka dengar," jawab sang ayah dengan berbisik.

Anya makin tak mengerti. 'Mana ada monster zaman sekarang,' batinnya tak percaya.

Namun dia terdiam, menuruti kata sang ayah.

"BRUAK! BRUAK! BRUAK!" Terdengar lagi suara pintu digebrak berulang kali. Ayahnya terlihat sangat gelisah.

Anya mendekati sang ayah, kemudian berbisik, "Ibu di mana Yah?"

Seketika itu juga, ayahnya langsung membuka pintu balkon. Mengendap dan mengintip dari balik pagar balkon yang terbuat dari besi berwarna hitam.

Anya penasaran, dia mengikuti sang ayah yang bernama Indro Dirojo itu. Di depan pintu rumah, ada beberapa orang yang masih menggebrak pintu. Anya memicingkan mata, dia melihat baju pengajian ibunya.

"Yah, Yah," panggil Anya dengan menyenggol sang ayah. "Itu ibu," ujarnya menunjuk wanita yang memakai setelan baju batik pajang, dengan kerudung warna merah muda.

Indro ikut melihat.

"Aku panggil Ibu ya, Yah," lanjut Anya.

"Jangan!" cegah Indro cepat.

Anya mengerutkan kening kembali, kenapa tak boleh? Padahal ibunya sudah berada di depan pintu. Indro menoleh ke kanan dan kiri mencari sesuatu, kemudian menemukan kerikil, lantas melempar istrinya dengan kerikil itu. Lemparannya tepat sasaran.

Ketika sang istri menoleh, Anya tercekat. Dia sangat terkejut hingga lupa caranya bernapas, matanya terbelalak.

"Anya! Anya! Napas Anya! Napas!" sergah Indro dengan menggoyangkan tubuh anak semata wayangnya itu.

Anya masih tak bisa bernapas, matanya menatap lekat, tepat di wajah sang ibu yang sudah berubah bentuk menjadi mengerikan. Kerudung yang ibunya pakai, sudah tak berwarna merah muda lagi, akan tetapi berwarna merah darah. Dan dari dalam mulut sang ibu, keluar darah segar yang masih menetes dengan deras.

Tentu saja Anya syok, ibunya berubah menjadi mahkluk mengerikan seperti itu. Segera dia ditarik masuk oleh Indro.

"Anya! Sadar Anya! Anya!" Indro berusaha menyadarkan Anya yang masih tak bisa bernapas, hingga tangan anaknya itu menegang.

Indro panik. "Anya! Sadar Anya! Anya! Sadar Anya!" seru Indro pelan dengan sangat sedih, linangan air mata turun, pria itu takut kehilangan anaknya juga.

"Anyaaaa! Tolong sadarlahhh!!! Jangan tinggalkan ayahhhh!!" rintih Indro dengan terisak.

"Anyaaaaa!!" Dia menggoyangkan tubuh Anya dengan kecang.

"Heeekk!" Anya tersadar dan kembali bernapas dengan gelagapan.

"Syukurlah Nakkk, kamu sadarrrrr," ucap Indro seraya memeluk Anya erat, dia lega anaknya bisa sadar kembali.

Tiba-tiba asma Anya kumat, Indro langsung mencari inhaler di dalam laci meja rias sang anak, dengan disinari sedikit cahaya bulan yang masuk. Setelah mengobrak-abrik semua laci, akhirnya inhaler ketemu.

Inhaler masuk ke dalam mulut Anya dengan cepat. "Shhh shhh shhh. Hahhhhhhh." Dia menghembuskan napas lega.

"Hiks hiks hiks." Isakannya mendadak keluar, wanita cantik itu beringsut menjauh dari sang ayah. Dia duduk meringkuk di kegelapan dengan raut bingung dan tak percaya.

Indro menghampiri dengan perasaan sama. Dia tahu anaknya begitu syok, dan tak terima dengan keadaan ibunya yang sudah berubah menjadi mahkluk mengerikan.

"Ayah ... kenapa ibu bisa berubah menjadi seperti itu?" tanyanya disela isak.

Indro menghembuskan napas berat sebelum menjawab, "Ayah tak tahu Nak, tiba-tiba ibumu menggedor pintu kencang sekali. Ayah lagi di kamar mandi waktu itu. Pas keluar buka pintu, ibumu dan teman-temanya sudah diserang sama monster-monster itu. Ayah lari ambil senapan di kamar buat menolong mereka, terus ada suara pintu di tutup. Bruak! Kencang sekali. Ayah langsung kembali ke pintu depan, tapi Ibumu ...."

Indro terdiam, tak sanggup melanjutkan. Anya pun terdiam, menunggu kelanjutan sang ayah untuk bercerita.

"Ibumu bilang ...." Ingatannya kembali dikejadian tadi, ketika istrinya sedang digigit oleh para mahkluk mengerikan itu. Sang istri berpesan di sela rasa sakit, untuk menjaga Anya, apapun yang terjadi.

Indro tak kuat menahan air mata, pria itu tersedu. Anya tak kuasa melihat sang ayah menangis, dia tahu sekarang, kenapa wajah ayahnya pucat pasi tadi. Dia memeluk Indro yang bertubuh besar dan mengelus punggung pria berumur 55 tahun itu dengan lembut.

"Itu bukan salah Ayah. Ayah sudah berusaha menolong ibu," ucapnya, ditepuk-tepuk pelan punggung Indro. Dia tahu sang ayah sangat merasa bersalah, karena tak bisa menolong sang ibu. "Ibu sudah berkorban buat kita," lanjutnya.

Pria yang sudah beruban itu mendongak, wajahnya basah oleh air mata yang berderai. Anya mengusap air matanya dengan penuh kasih.

"Kita harus bertahan Yah, demi ibu," tutur Anya lembut, namun tegas.

Indro seakan mendapat kekuatan kembali. "Baiklah," sahutnya dengan berusaha berdiri dibantu Anya.

"Kamu tidurlah. Kamu belum sembuh benar," ucap Indro.

"Tidak Pak, Anya mau menemani Ayah," tolak Anya.

Indro terenyuh melihat anaknya yang dulu masih terlihat seperti anak kecil, sekarang sudah tumbuh dan menjadi wanita dewasa yang kuat.

"Ayah jaga di pintu balkon, kamu jaga di sini ya," tukas Indro.

Anya mengangguk. Mereka berpencar, Anya duduk di dekat meja belajarnya. Dan menyandarkan kepalanya yang masih berdenyut sakit. Suara geraman dan gebrakan pintu masih terdengar, membuatnya makin sakit kepala. Dia berusaha mengatasi rasa sakit itu dengan memejamkan mata.

Tak lama, dia tertidur. Dan terbangun entah pukul berapa, setelah mendengar suara ledakan yang begitu kencang.

"DUARRRRRRR!!!!"

Anya terkejut, dia tersentak bangun dan gelagapan. Indro mendatangi.

"Sttttt! Tenangg," ucap Indro dengan menatap sang anak.

Anya bisa tenang setelah beberapa saat.

"Monster itu pergi ke arah ledakan, ini kesempatan kita untuk kabur," ujar Indro memberitahu.

Ayahnya menarik meja belajar setelah memastikan tak ada monster di halaman rumah.

"Ambil inhaler dan kebutuhanmu yang lain. Bapak mau ambil persediaan, nanti kita ketemu di garasi," perintah Indro cepat dengan menggendong senapan.

Anya mengangguk lantas melakukan perintah Indro. Mereka berkumpul 5 menit kemudian. Gerbang rumah dibuka oleh Anya dengan pelan agar tak menimbulkan kebisingan.

Mobil off road keluar dengan mulus melewati gerbang dengan gerakan waspada. Suara geraman mobil membuat monster yang belum berlari jauh, berbalik kembali. Tiba-tiba ....

"ANYA! AWAS!"

"DOR!"

Siguiente capítulo