"Jendral!" sebuah teriakan terdengar dari salah seorang prajurit yang berlari menuju tenda pimpinannya.
Seorang pria berusia di akhir lima puluh tahunan yang sedang membaca laporan mata-mata musuh yang baru di terimanya. Dengan wajah yang mulai dipenuhi keriput dan beberapa helai rambut yang memutih tak menyurutkan wibawa sang jendral. Jubah kotor dan zirah penuh bekas darah yang mengering justru membuat aura tegas sang Jendral memancar. Prajurit itu memberi hormat pada Jenderal Pasukan Perak Kekaisaran Duan, Liu Su Feng. Sang Jendral menunduk dan memandang bawahannya tersebut. Satu tangannya dia lambaikan dan memerintahkan si prajurit tersebut untuk bangkit.
"Lapor, Jendral. Pasukan bantuan dari Provinsi Jingsi sudah dalam perjalanan. Mereka akan tiba di Lan Yi dalam dua hari," lapor sang prajurit.
Sang Jendral mengangguk menerima laporan tersebut. Matanya beralih memandang peta wilayah Lan Yi yang terbentang di depannya. Sebuah wilayah perbukitan yang kini telah berubah menjadi medan perangnya.
"Sampaikan pada para Panglima bahwa kita akan tetap melanjutkan rencana semula. Panglima Fei dan Panglima Ye akan menyerang dari dua arah. Pasukan bantuan akan langsung menyerang sumber pasokan mereka," perintah Jendral Su.
"Baik."
"Siapakah yang memimpin pasukan Jingsi?"
"Pangeran Pertama Yang Mulia Qian telah ditunjuk Kaisar untuk memimpin pasukan Jingsi bersama Panglima Wan."
Jendral Su mengangguk lalu mengijinkan si prajurit untuk kembali melanjutkan tugasnya. Kali ini Sang jendral kembali sendirian di dalam tendanya. Matanya beralih melihat peta wilayah kerajaan Shujing. Sebuah kerajaan besar di sebelah barat laut Kekaisaran Duan. Wilayah strategis yang disebut sebagai permata pegunungan utara. Sebuah wilayah yang selalu di idamkan Kaisar Duan, Yang Mulia Hu Bing Yu.
"Karena Pangeran Pertama telah turun tangan, maka perang ini akan segera tiba pada ujungnya," lirih Sang Jendral.
***
Derap langkah kaki kuda terdengar bersahutan di tengah kesunyian hutan malam itu. Sebuah pasukan yang terdiri dari lebih dari seribu orang prajurit menyusuri hutan Luofeng dengan bergegas. Gemerincing pedang dan senjata mereka pun terdengar saat kuda yang mereka tunggangi melompat berlari di atas jalanan terjal. Tidak ada percakapan atau pembicaraan apapun. Hanya suara-suara yang saling bersahutan untuk berlomba tiba di tujuan. Medan perang Lan Yi.
"Wangye, kita telah berkuda semalaman, pasukan dan juga kuda kita butuh beristirahat," ucap Panglima Wan.
Pria yang di panggil olehnya hanya diam dan terus memacu kudanya. Mengabaikan permintaan sang bawahan untuk beristirahat. Sehingga sebagai bawahan mereka hanya bisa terus memacu kuda mengikuti sang pemimpin. Namun tak berapa lama si pemuda itu menghentikan kudanya.
"Berhenti!" ucap pemuda itu tiba-tiba.
Panglima Wei segera mengangkat tangannya dan memerintahkan pasukan untuk berhenti.
"Kita istirahat disini, ketika fajar tiba kita akan melanjutkan perjalanan."
"Baik, Wangye," jawab Panglima Wan.
"Wan Yan, tidak perlu mendirikan tenda untukku," perintah Sang Pangeran.
Pemuda itu mengikat kudanya pada salah satu batang pohon lantas berjalan memasuki hutan dan menghilang dalam kegelapan sebelum Panglima Wan dapat menjawab. Panglima Wan hanya bisa menggeleng pelan lalu segera memberikan instruksi dan perintah pada prajurit yang mereka bawa.
Bentang pegunungan panjang terlihat layaknya sosok gelap yang tertidur di atas padang rumput hitam. Dengan di selimuti kabut tipis dan angin yang berhembus pelan membuat punggung bukit dari pegunungan itu terlihat semakin mempesona. Wilayah yang sedang berusaha ditaklukkan oleh sang ayah dengan mempertaruhkan nyawa ribuan pasukan Kekaisaran Duan. Pemuda itu menatap kosong wilayah yang ada di depan matanya, Kerajaan Shujing.
Ketika dia meninggalkan kediamannya di Provinsi Jingsi untuk melaksanakan titah sang ayah, pemuda itu telah berjanji dalam benaknya. Dia berjanji bahwa akan menyelesaikan perang Lan Yi ini dengan segera.
"Akan aku pastikan tanah kalian takluk dibawah pedangku."
***
Ting… ting…
Denting pedang yang beradu dan teriakan kesakitan para prajurit yang terluka atau meregang nyawa adalah hal yang biasa di sebuah medan perang. Aliran cairan kental berwarna merah yang membasahi tanah atau tumpukan tubuh yang tergeletak tak bernafas juga bukanlah sesuatu yang baru. Namun meski banyak korban telah berjatuhan dari kedua belah pihak tidak ada keinginan bagi keduanya untuk menyerah atas kemenangan. Dua kubu yang telah berseteru selama beberapa bulan itu tetap saja mengirimkan pasukan untuk mengalahkan satu sama lain.
Di tengah kekacauan medan perang siang itu, Sang Jendral pasukan perak Kekaisaran Duan, Jendral Su tengah berduel satu lawan satu dengan Jendral Kerajaan Shu Jing, Jendral Lu Min. Dua pria yang sama-sama tak lagi muda itu saling mengayunkan pedang satu sama lain untuk menebas dan menusuk anggota tubuh lawan. Namun, bagi mereka usia hanyalah sebuah angka tanpa makna. Hal itu terlihat karena setelah duel panjang yang mereka lakukan tak ada satu pun di antara keduanya yang terluka.
"Jendral Su, sudah saatnya kau beristirahat hari ini, Ingat tulangmu tak sekuat dulu," ejek Jendral Lu dengan tawa sengaunya.
Wajah penuh keringat dan darah pasukan Duan di baju zirahnya membuat amarah Jendral Su sempat tersulut sejenak. Namun Jendral Su adalah sosok yang mampu berpikir tenang di tengah kekacauan yang ada. Dia hanya menanggapi ejekan Jendral Lu dengan seringai tipis.
Jendral Lu Min menggeleng sambil menyeringai lebar. Dia mengangkat pedang miliknya yang seketika membuat seluruh pasukannya berhenti menyerang. Keheningan segera tercipta di medan Perang Lan Yi saat tiba-tiba seluruh pasukan Shujing berhenti mengayunkan senjata mereka. Layaknya sebuah gencatan senjata, kedua kubu segera mengambil jarak dari satu sama lain. Jendral Su Feng dan para Panglima Duan tetap bersikap tenang, namun juga tetap waspada terhadap gerakan musuh.
Dalam keheningan itu, Jendral Lu Min berjalan mendekat ke arah Jendral Su Feng. Dengan tenang pria itu memasukkan pedang miliknya kembali ke sarung pedangnya.
"Jendral Su," panggil pria itu.
Jendral Su hanya diam melihat gelagat aneh dari pemimpin pasukan musuhnya tersebut.
"Kita telah berperang selama berbulan-bulan tanpa hasil. Shujing telah kehilangan ribuan pemudanya begitu juga dengan Duan. Mari kita akhiri perang ini dengan segera agar kedua belah pihak bisa segera kembali ke rumah mereka," ucap Jendral Lu Min.
Pria itu dengan berani berjalan memutari Jendral Su bahkan menepuk nepuk bahu sang Jendral.
"Lihatlah," ujarnya sambil menunjuk para prajurit di depan mereka. "Wajah-wajah lelah yang merindukan rumah mereka."
Jendral Su menepis tangan Jendral Lu dan lantas menjauh dari pria itu.
"Akan aku pastikan kau tiba di kediamanmu, jika kau menyerahkan Shujing kepadaku," tegas Jendral Su.
Jendral Lu Min terlihat tersinggung namun pria itu segera tertawa dengan keras. Tawa menghina yang sangat tidak nyaman untuk didengarkan. Pria itu kembali mendekati Jendral Su dan kali ini menarik paksa Jendral Su dan berbisik kepadanya, "awalnya aku bermaksud mengembalikannya padamu, tapi sepertinya kali ini kau tidak akan pernah bisa melihat putrimu."
Mata Jendral Su membelalak lebar. Tangannya dengan cepat mengayunkan pedangnya namun Jendral Lu juga tak kalah cepat dan menangkis gerakan sang lawan. Dua pemimpin pasukan tersebut kini saling beradu tatap dan menekan pedang satu sama lain. Wajah tegang yang dipenuhi amarah jelas terlihat di wajah Jendral Su. Sebaliknya, sebuah senyum puas justru terpampang di wajah Jendral Lu.
"Berani kau menyentuhnya akan ku musnahkan tanahmu," ancam Jendral Su sambil menggeram pelan.
Panglima Fei dan Panglima Ye menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pemimpin mereka. Keduanya lantas memerintahkan pasukannya untuk bersiap dengan pedang masing-masing.
"Aku mengagumi kecantikannya, namun percayalah aku orang yang setia. Tapi aku tidak bisa menjamin dia akan bertahan di bawah tatapan lapar ribuan pasukan Shujing," ledek Jendral Lu Min.
Amarah benar-benar terlihat dimata Jendral Su Feng. Dia mendorong dengan sekuat tenaga dan membuat Jendral Lu Min mundur beberapa langkah. Pedang di tangan pria itu bahkan telah menyentuh bagian leher zirahnya, hanya berjarak beberapa centi dari kulit pria itu.
"Jendral Su Feng!" Sebuah teriakan terdengar dan mengalihkan perhatian kedua Jendral.
Jendral Su Feng menarik pedangnya dan segera l mundur mencari asal suara yang memanggilnya. Namun belum sempat dia menemukan asal suara, sebuah anak panah melesat lurus dari sisi kanannya dan tepat mengenai dada Jendral Lu Min.
Jendral Lu Min, pria itu hanya bisa terdiam terkejut menatap anak panah yang menembus baju zirahnya. Dia terbatuk beberapa kali saat cairan kental memaksa keluar dari tenggorokannya. Tidak ada perlawanan yang bisa pria itu berikan. Dia hanya bisa jatuh terduduk dengan luka yang terus mengalirkan darah.
Di tengah rasa terkejut kedua pasukan, sebuah suara tapak kaki kuda terdengar mendekat ke tengah medan perang. Seorang pemuda dengan zirah perah dan jubah putihnya melambai diterpa angin panas yang menyebarkan bau anyir. Sebuah topeng berbentuk mata elang menutupi separuh wajah pemuda itu. Tangan kanan pemuda itu menggenggam tali kekang kuda yang ia naiki, sedangkan di tangan kirinya sebuah busur perak terlihat berkilau di bawah terik sang mentari.
Dia adalah pemimpin pasukan bantuan Provinsi Jing Si, Pangeran Pertama Kekaisaran Duan, Qian Li Yuan.