webnovel

Aku Takut

Dino dan yang lainnya sudah sampai di tempat penginapan yang khusus untuk di sewakan jika ada yang mau berkunjung.

"Dino, ini tak salah, lihat tempatnya asri tapi kok aku merinding dan aku takut ya," ucap Paijo.

"Iya benar sekali, takut kali pun. Aku sebenarnya juga takut. Tapi bagaimana pun, kita tidak mungkin tidur di luar dan kalau tidur di luar kita bisa ketemu mbak manis itu dan malah ajak kawannya bagai pompong. Elu mau Ijo?" tanya Ian.

Paijo menggelengkan kepalanya. Dia juga takut kalau suruh di luar dan apa lagi mbak manis itu bawa yang lebih menyeramkan dari dia.

"Kau benar, mbak itu bawa golok, kalau sahabat pompongnya bawa gergaji atau cerurit bisa hilang kepala kita dari leher," ucap Paijo.

Ian tertawa dan menepuk pundak Paijo. "Bukan hilang lagi, tapi gitu lah. dan kalau mereka bawa itu kita bawa lain saja," kata Ian.

"Kalian ini ngomong mbak manis, emangnya dia siapa?" tanya Nona.

Ketiganya paham, karena sahabat mereka ini tak bisa lihat mbak Narsih itu. Makanya bilang seperti itu.

"Kau benar tak tahu?" tanya Ian.

Nona menganggukkan kepalanya. Mana mungkin dia berkata bohong. Emang dia nggak nampak, tapi dia aneh saat bersamaan dia merasa di tempat beda.

"Tapi ya, aku merasa kalau aku berada di tempat yang aneh deh, dan tiba-tiba badanku sakit dan apa ya, aneh saja," kata Nona lagi.

Ketiganya saling pandang dan memberikan kode satu sama lain. Penjaga penginapan datang dengan jalan sedikit terbungkuk-bungkuk dengan bawa gunting pohon yang besar.

"Kalian mau nginap?" tanya si Bapak itu lagi.

Dino dan lainnya berbalik untuk melihat siapa yang menyapa mereka.

"Iy--AAAAAA!" teriak Ian.

Nona yang berada di sana juga teriak. Mereka sembunyi di belakang Dino. Dino yang takut mau tak mau harus berada di depan sedangkan ketiga sahabatnya di belakang. Dino menelan salivanya, dia mau mundur tapi di tahan kedua sahabat kunyuk bin tengil itu.

"Dasar dodol kalian, kalian mau aku mati muda. Kalian tidak lihat dia bawa gunting pohon jengkol itu," cicit Dino.

"Kau tak mungkin mati muda. Kau sudah tua Dino, jadi sadar diri. Sudah jangan banyak drama cinta, kau tanya harga tempat ini dan kita langsung cabut," sambung Paijo.

"Baiklah kalau begitu," cicit Dino.

"Permisi, kami dari kota Pak, mau tanya nih, apa ada tempat untuk kami menginap di sini?" tanya Dino dengan pelan.

"Panggil saya Mang, bukan Pak. Karena saya bukan Bapak kamu, paham. Ayo ikut saya, mau berapa lama kalian di sini?" tanya si Mamang.

"Belum tahu, emangnya kenapa ya Mang?" tanya Dino.

"Desa ini tidak pantas kalian tempati terlalu lama, lebih baik kalian pulang saja segera, nanti nyawa kalian yang akan taruhannya," kata si Mamang.

"Sengeri itukah Desa ini? Sampai tak boleh di tempati sama sekali?" tanya Paijo.

"Untuk orang kota seperti kalian, tidak bisa lama, kecuali orang Desa ini," kata si Mamang lagi.

"Tapi kami kan tidak buat masalah kami hanya ...," jawaban Ian terpotong dan tak bisa melanjutkan apapun lagi, karena si Mamang memandang dia dengan tatapan tajam.

Ian langsung terdiam tak banyak bersuara. Dia tak lagi berkata apapun. Dia diam sambil tertunduk. Dino yang tahu segera memecahkan suasana

"Kami tidak lama kok, kami hanya sebentar dan liburan saja. Jika sudah selesai kami akan pulang," kata Dino sebagai penengah di antara mereka.

Si Mamang langsung menunjukkan kamar. Satu kamar untuk para lelaki dan satu kamar untuk Nona.Kebetulan penginapan seperti rumah jadi satu rumah ada dua kamar. Mamang melihat ke arah Nona.

"Narsih, kau masih hidup?" tanya si Mamang.

"Maaf Mang, aku mau klarifikasi dulu. Dia sahabat kami, Nona namanya, bukan Narsih. Mungkin Mamang salah orang saja," kata Dino lagi.

Si Mamang melihat kearah Nona. Dia tahu kalau itu Narsih. Tapi, mana mungkin yang meninggal dunia hidup kembali pikirnya.

"Sudah kalian masuk saja, ingat jangan buat hal yang merusak alam, dan jangan mencari tahu kenapa, dan siapa itu Narsih," ucap Mamang.

Keempatnya terdiam dan menganggukkan kepalanya. Mereka hanya melihat kepergian si Mamang dengan terbungkuk-bungkuk sampai mengomel sendiri dan tertawa sendiri.

"Aku rasa dia aneh. Lihat saja, dia tertawa dan mengomel sendiri. Dan surat kabar itu mengatakan desa ini jadi angker karena peristiwa itu. Dan Nona, wajahmu mirip sama yang di surat kabar ini," jawab Ian lagi.

Nona yang mendengarnya mulai merinding. "Apa kejadian beberapa hari karena ulah wanita itu? Dan kalian bilang wajahnya mirip denganku dan tunggu, aku merasa kalau keanehan aku karena dia," kata Nona lagi.

Ketiganya menganggukkan kepalanya. Nona merapat ke sahabatnya. Dia mulai merasa takut karena bisa saja malam ini dia di datangi sama arwah Narsih itu.

"Aku takut tidur sendiri, aku mau ada yang temani," rengek Nona dengan ketiga sahabatnya.

"Aku saja yang temani," kata Ian.

Paijo menarik tangan Ian, agar kembali ke posisi semula. "Jangan cari kesempatan dalam kesemutan kakiku ya. Eh salah kesempatan. Kita bisa berjaga bergantian di depan kamar Nona," kata Paijo.

"Aku rasa itu bisa juga," kata Dino.

"Kalian tahu kalau rumah ini besar. Jika satu orang yang jaga, dan dia datang bagaimana. Aku takut," kata Ian.

Dino melihat penginapan yang mempunyai dua kamar, kamarnya juga sedikit berjauhan tapi masih kelihatan.

"Jadi maunya gimana. Kita di sini mencari informasi masalah ini. Aku yakin Narsih nggak bakalan jagain kita," jawab Paijo.

Plakk!

"Gundulmu jagain kita. Kau pikir kita ini siapanya dia. Ngarap kali di jagain sama dia," ketus Ian.

Paijo mengusap kepalanya yang di keplak sama Ian. "Sudah kita gantian. Kalian berdua, aku sendiri saja. ingat jangan pada tidur kalian," kata Dino.

"Wah, hebat kali kisanak ini. Bisa-bisanya berkata seperti itu. Kita tidak boleh tidur tapi dia tidur. Jangan jadi orang yang mau menang sendiri mas bro," ucap Ian.

Nona yang melihat ketiga berebut dan enggan menjaganya hanya bisa pasrah.

"Aku bisa sendiri. Kalian cukup pantau aku saja. Menyebalkan sekali. Lelaki kok penakut," sindir Nona.

Nona masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamarnya hingga bergetar ruangan penginapan.

"Nona manis jangan buat kita ketimpa bangunan ini. Aku tak mau berakhir di sini. dasar barbar," sungut Ian.

Ian masuk dalam kamar dan membanting pintu juga. Dino hanya geleng kepala melihat kelakuan keduanya.

"Ayo kita istirahat, nanti kita cari makan saja. Kita harus belanja barang-barang untuk stok kita di sini," kata Paijo.

Dino pun menganggukkan kepalanya. Dia langsung bergerak menuju kamarnya. Senja sore begitu indah, hamparan bukit dan gunung terlihat sangat indah.

"Permisi Den, ini Bibi bawakan makanan untuk Den dan temannya. Di sini kami menyediakan makanan untuk tamu, jadi Den tidak perlu kesusahan untuk mencari makanan, karena jauh harus keluar Desa ini baru ketemu pasar besar," kata Bibi istri dari penjaga penginapan itu.

"Untung Bibi kasih tahu, jika tidak kami akan pergi cari makan," kata Dino.

Ian dan Paijo mendekati Dino dan Bibi. Keduanya teman Dino menatap makanan yang menggoda saliva mereka.

"Wah, rezki nomplok. Ibu ulang tahun ya? Kalau iya selamat ya," kata Ian.

Bibi Sumi hanya tersenyum melihat kelakuan tamunya. "Saya Bibi Sumi. Bisa panggil Bi Sum, jika ada perlu bisa cari saya di belakang penginapan, saya sama suami saya Mang Jupri tinggal di sana," kata Bibi lagi.

"Ok, kami akan datang bila ada masalah, dan bila tidak ada masalah kami juga datang," kata Ian lagi.

Semua orang tertawa karena ulah Ian. Nona keluar dari kamar dengan rambut terurai. Bibi Sum kaget melihat Nona.

"NARSiH!" ucapnya dengan wajah pucat.

Hay sahabat Hyung, masih setia kan, syukurlah.. yuk simpan di rak kalian ya kasih komentar yang gokil ya, Mauliate Godang.

Siguiente capítulo