Alkisah semula1
Menyerupai tak pernah serupa
Daging menjadi tubuh
Dari tanah asal diri
Api yang menyebabkan angin
Berbaur langit menjadi cahaya
Lebih tinggi langit atas kepala
Matahari berpijar ubun-ubun
Membakar rambut hingga kulit tengkorak
Masih ada tujuh rupa warna nirwana
Dari darah dan gumpalan
Berasal dari kejadian suci kewajiban
Antar yang di sebut suami dan istri
Setidaknya mengertilah setetes air hina
Yang mengerti belum tentu paham
Apa itu menjadikan yang di jadikan
Apa itu yang membuat dan yang dibuat
Semua bukan milik kita
Bahkan kita melihat dunia pertama bertelanjang tubuh
Karena itu tidak ada apa-apa
Dan tek berbentuk jua
Kosong adalah isi dan isi adalah kosong
Semua sirna hampa tak memiliki bentuk jua
Serupa tapi tak sama
Ikhwal tubuh dan bayangan adalah aku
Sang pemilik bayangan adalah Maha Aku
Bila semua ada tak ada aku tak berarti kejadian
Yang semula hidup bakal mati
Yang bernyawa keseluruhan bakal tiada
Yang semula ada bakal tiada juga
Yang ingat belum tentu bisa
Yang bisa belum tentu paham semula
Ikhwal semula aku adalah titik
Dalam maha luas alam semesta
Dan hanya debu kecil teramat kecil di lihat dan di rasa
Mengertilah alkisah semula
Yang menjadikan dan yang dijadikan
Saat ada lalu tak ada dan kembali ada
Bahkan bila baka adalah tujuan
Maka fana adalah sebuah wadah dan sarana
Bila tanah adalah tempat tumbuh
Maka langit adalah sebagai rumah
Begitu terus perumpamaan di mulaikan
Dari Aku menjadi aku lalu tiada ku kembali menjadi Aku
***
Begitulah sair keresahan hati siang ini saat takbir zuhur berkumandang dan terbentang alam hati memanggil dengan respons otomatis. Saat lafaz azan dari bibir hitam nan basahnya air suci permulaan salat di kumandangkan.
Sejuk dikalbu namun selalu getaran dahsyat di dada begitu terasa. Dan alam otak memanggil-manggil berkata dalam jiwa, "Hentikanlah seluruh kesibukan dunia dan mari sujud pada Sang Rabana."
Ah aku rasa semakin hari semakin berat saja dunia ini dan masa pandemi yang tiada henti membuat kami para pedagang harus berjibaku berjuang hanya sekedar untuk makan. Sore ini bakda Ashar pukul 15:25 menurut waktu di desaku.
Ya sudahlah terlalu lelah aku hari ini tentang berjuang atas harta yang berlebih setidaknya Gusti Allah memberiku cukup untuk makan esok hari dan membeli sebungkus rokok seperti biasanya sudah terucap Alhamdulillah di hati ini.
Andai kala di Jakarta aku sudah mengerti apa itu menghargai sejumlah rezeki yang ku dapatkan. Tentu hari ini aku sudahlah berjaya tak terus menerus berusaha untuk tetap hidup.
Ya biarlah memang dahulu adalah kisah cerita di Jakarta. Yah Sukanta andai waktu itu aku dapat menolongmu tentu lain cerita sebab kau yang selalu mengingatkanku untuk sekedar menyisihkan rezeki yang kita dapat setiap malam terminal.
Melangkahku malas dan gontai menuju sebuah tempat kalau orang Jawa bilang Padasan atau tempat berwudu di sudut rumahku sebelah sumur rumah. Dengan Bismilah dan basuhan air dari kran Padasan arau tempat berwudu di mulai dari ujung kuku sampai berurutan sesuai yang disyariatkan.
Lalu setelahnya ku tengadahkan tangan berdoa dengan lantunan doa setelah wudu. Ku gelar kembali sajadah warna biru yang dahulu aku beli kala jalan-jalan sore di area depan Pondok Pesantren Kiai Haji Hasyim Ashari Tebu Ireng Cukir kota Jombang.
Empat rakaat terselesaikan sudah kembali melipat sajadah lalu duduk di ruang tamu untuk sedikit menikmati segelas kopi sisa tadi siang. Mencoba mengingat kembali semua kenangan kala Jakarta menggoda akan segala kemolekan dan kecantikan dan sebuah daya tarik besar dengan sebuah iming-iming.
"Hiduplah di kota Jakarta maka kamu akan sejahtera."
Tapi itu sudah berlalu terlalu lama bahkan jauh lama sekali sehingga menjadi kenangan dan album hitam agak tebal dan besar yang kini telah kupegang di tangan kanan.
Ku buka kembali sebuah lembar di mana aku telah bersama Moza Mustafa. Seorang janda muda dari kota Lamongan Jawa Timur. Mbak Moza bekerja sebagai tukang pijit terapi di Hotel Mariot di mana dulu temanku oh bukan sahabatku Sukanta bekerja.
Terkadang ia seharian tak pulang sebab banyak pelanggan yang kecapean badan dan ingin di pijat oleh Mbak Moza. Dan pernah iya katakan gaji sehari kerja melebihi dari seratus ribu bahkan bisa lebih kalau lembur dan pasien sedang banyak-banyaknya.
Sempat aku berpikir negatif tentang pekerjaan pijit-memijit Mbak Moza di dalam kamar hotel bertingkat 23 lantai itu. Sebab sangat riskan akan lelaki hidung belang yang begitu saja kurang ajar melihat kemolekan tubuh Mbak Moza yang begitu putih dan halus.
Tapi urung ku pikir ku tepiskan biarlah menjadi masalah Mbak Moza. Dan suatu hari terungkap siapa yang menusuk Sukanta dia adalah komplotan preman dari mantan suami Mbak Moza.
Dan sudah pula di tangkap bersama komplotannya oleh pihak yang berwajib. Kala itu aku bertambah menyesal karena tidak ada di tempat kejadian saat Sukanta menghembuskan nafas terakhirnya.
Terkenang sebuah malam di mana aku begitu terpukul dan Mbak Moza begitu merasa bersalah sebab mantan suami ya lelaki yang ku buat tak sadarkan diri sekali jurus. Saat pagi hari pukul tiga pagi membuat gaduh depan pintu kosan ku itu.
Ternyata ia adalah mantan suami Mbak Moza. Mereka sudah berpisah setahun yang lalu sebab Mbak Moza tak kuat dengan perilakunya yang tak mau bekerja dan hanya meminta uang hasil jerih payah Mbak Moza untuk minum-minum dan mabuk dan judi.
Tetapi si lelaki tak mau berpisah sebab hanya Mbak Moza yang dapat ia peloroti untuk diperas uangnya. Sebagai bekal ia bersenang-senang di dunia malam Jakarta.
Saat menusuk Sukanta sebenarnya bukan Sukanta tujuan dan sasarannya. Tapi aku berhubung ia tahu Sukanta temanku. Saat menemui Sukanta dan menanyakan dimana aku berada tapi tak ada jawaban dari bibir Sukanta sepatah kata pun.
Akhirnya mereka berkelahi dan keadaan yang tak seimbang. Sukanta kalah jumlah akhirnya tumbang jua dan satu belati pas menembus dadanya sebelah kiri agak bawah, pas di uluh hati sehingga berpulanglah Sukanta hembuskan nafas terakhirnya di bawah langit malam dan di bawah atap pasar kue subuh sebelah pojok utara.
Malam ini Mbak Moza sengaja mengajakku ke dalam kamarnya mengajakku berdiskusi tentang segelas kopi pahit dan tentang Ikhwal meminta maaf akan perbuatan sang mantan suami.
"Maafkan atas yang dilakukan mantan suamiku Dek Pen sehingga menghilangkan nyawa sahabatmu Sukanta," ucap Mbak Moza memandangku dengan mata berkaca-kaca dengan penyesalan.
"Mbak tek perlu meminta maaf semua sudah terjadi dan yang bersalah bukan Mbak Moza melainkan sang mantan suami Mbak Moza. Lagian dia sudah dipenjara Mbak dengan ganjaran sepuluh tahun tentu tidak setimpal dengan rasa sakit atas kepergian Sukanta tapi polisi tentu telah menimbang baik dan buruknya," ucapku sambil menghisap rokok di tangan.
Tiba-tiba Mbak Moza memelukku dengan erat sambil menangis. Lekas ku tutup pintu kosan yang semula tak tertutup sempurna agar orang tak mendengar tangisan Mbak Moza.
Dan kisah aku dan Mbak Moza terjadi. Sebuah kisah kembali penyakit bejatnya hati bersahut syahwat bejat dan otak gila akan melihat kemolekan Mbak Moza malam itu kami. Aku dan Mbak Moza saling memadu kasih di temaram lampu hias dalam sepetak kosan kamar Mbak Moza.
Bagai kupu-kupu menari Mbak Moza sanggatlah ahli dalam permainan di atas gelap menyeruak dan hanya sekilas-sekilas cahaya redup lampu hias menyorot lekuk. Kami begitu berkeringat walau hari tengah dingin-dinginnya.