Namanya Hendrik Kasturi seorang pemuda biasa dari kalangan biasa dan teramat begitu sederhana. Sehari-hari bekerjanya sebagai kuli atau pekerja bebas dari siapa yang membutuhkan tenaganya pasti ia menyanggupi untuk bekerja.
Terkadang ia bekerja sebagai kuli angkut tanah dari persawahan belakang desa yang ia cangkul lalu ia kumpulkan pada sebuah gerobak dorong untuk di bawa pada si juragan sebagai bahan baku pembuatan genteng rumah.
Sudah beberapa tahun iya tinggal dalam perantauan di desa Sentullio. Sebuah desa pinggiran kota serang demi memperbaiki kualitas hidup ke arah yang lebih baik.
Terkadang ia ikut bekerja menggiling tanah liat yang telah di campur pasir dengan takaran sedemikian rupa. Pada mesin penggiling tanah bersama beberapa orang teman sebayanya yang juga sama-sama perantau dati Jawa Timur.
Dengan upah yang tak terlalu besar hanya cukup untuk membeli rokok dan nasi bungkus tiga biji sebagai pengganjal perut dikala pagi, siang dan sore. Namun cita-citanya besar teramat besar sebesar gunung Himalaya. Namun cita-citanya tinggi setinggi langit di atas angkasa.
Pagi bersua Mas Kasturi pemuda yang masih berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Segelas kopi hitam di warung depan rumah Mas Sumadi pejabat RT setempat selalu menjadi rutinitas wajib dikala hendak pergi bekerja. Sebatang rokok yang ia beli mengecer telah terselip di mulut tepatnya di permukaan bibir. Sudah tersulut jua si rokok diujung batang.
Terlihat dari kepulan asab rokok bersua dengan kepulan asap kopi panas yang ia letakkan di sampingnya ia duduk bersantai sejenak menikmati pagi dan lalu-lalang para pekerja yang mondar-mandir di jalan depan ia duduk di bawah teras warung Mbok Jasmi.
Seteguk kembali membasahi kerongkongan Mas Kasturi. Hilangkan dahaga sesaat dari kerasnya pertarungan hidup yang tak mudah ia lalui. Kaos oblong tanpa lengan selalu melekat di badannya menjadi ciri khas. Selalu menemani setiap hendak bekerja ataupun saat melakukan satu pekerjaan.
Tubuhnya yang kekar dan berotot serta pundaknya yang semakin legam menghitam akibat terbakar teriknya panas matahari. Sebab itulah para juragan genting selalu mempercayai sebuah pekerjaan kepadanya dan ia tak pernah sepi dari dimintai bantuan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan setaraf kuli oleh para juragan di sekitar ia tinggal.
Iya tinggal di sebuah gubuk kecil yang iya bangun dengan beberapa temannya sesama perantau dari Jawa Timur, khususnya perantau dari daerah Jombang. Sebuah gubuk sederhana dua kali tiga meter berdinding papan pemberian beberapa juragan dan beratap dari daun rumbia.
"Ri, Ri, itu kembang desa yang jadi buah bibir anak-anak. Cantik ya Ri," ucap Paiman salah satu teman seperantuan yang berasal dari kota yang sama dengan Kasturi yakni kota Jombang dan ikut menempati gubuk yang di tinggali Kasturi.
"Mana sih Man, Mana?" celetuk Kasturi menoleh kesana-kemari mencari sosok bunga desa yang dimaksudkan oleh Paiman.
"Itu loh, Maysa Allah Ri, Kasturi teduh wajahnya, ayu parasnya. Membuat aku serasa ingin menjadi Imam Shalat di depannya dengan hanya makmum dia seorang," ucap Paiman sambil menelan ludah melihat keelokan sang bunga desa.
"Halah-halah mulai sang pujangga desa sedang bersair merangkai kata-kata.
Embellah Man, Paiman, dekati sana ajak kenalan kalau berani," ucap Kasturi memberi tantangan pada Paiman.
"Aku enggak berani Ri, kakak iparnya itu loh. Si Mas RT Sumadi galaknya minta ampun," jawab Paiman merasa ciut nyali.
"Halah Man, Paiman, sampai kapan pun walau sejuta guratan syair kau ucapkan atau kau tulis berbuku-buku kalau Dek Ayu si bunga desa itu tidak mengenalmu dan tak pernah tau siapa dirimu apa lagi dia tidak pernah mendengar rayuan pulau kelapa syair-syairmu itu. Ya sampai kiamat juga kamu hanya mampu memandang, melihat dari jauh. Dari sini dari warungnya Mbok Jasmi sedangkan dia si bunga desa lewat begitu saja ke dalam rumah Mas RT Sumadi," tutur Kasturi menyinggung Paiman yang hanya berani sebatas melihat.
"Haduh janggutnya itu loh Ri Lancip kayak orang Londo," ucap Paiman kembali menelurkan rasa kekagumannya dengan sebuah perkataan.
"Haduh, haduh, kawanku satu ini sudah jadi bucin alias budak cinta, pusing aduh gusti pangeran," ucap Kasturi sambil geleng-geleng kepala.
"Lah memang kamu berani apa Ri, menghadapi Mas Sumadi itu kakak iparnya Dek Amanah si bunga desa yang sering jadi bahan pembicaraan anak-anak itu?" tanya Paiman sambil terus menatap Amanah yang bolak-balik menenteng bak pengangkut air di tangan kanan dan kirinya keluar masuk ke arah dapur rumah Mas RT Sumadi.
"Aku bukannya enggak berani Man, tapi aku sadar diri. Gadis secantik dan se ayu dek Amanah kasihan kalau bersanding denganku seorang pemuda miskin tak punya rumah dan harta. Apalagi aku yang hitam dan dekil begini mana mau dia," tutur Kasturi mencoba berargumentasi tentang keadaannya.
"Halah bilang saja tidak berani, begitu saja dari tadi pidato panjang ditambah lebar dikali tinggi. Bicara banyak ke utara sampai selatan ujung-ujungnya sama enggak berani juga," ucap Paiman membalas sindiran pada Kasturi.
"Loh memang kenyataannya begitu loh Man, Dek Amanah kulitnya bersih putih sedangkan aku kulitnya hitam mengkilat kayak arang. Mana cocok, bisa-bisa kalau bersanding jadi kaya kopi susu iya toh," kembali Kasturi mengeluarkan argumentasi-argumentasinya tentang keadaan dirinya merasa tak pantas.
Namun dalam hati kecilnya jauh di dalam sanubari terdalam sebenarnya ia selalu mengagumi sosok dewi cinta sang primadona, si bunga desa, Dek Amanah. Tetapi apa daya iya lelaki tak memiliki apa pun jangankan untuk menghidupi anak gadis orang untuk makan saja ia harus bekerja keras banting-tulang.
"Sudah ayo berangkat Man, kamu hari ini bekerja di tempat juragan yang mana Man?" tanya Kasturi mengambil satu lagi rokok eceran yang tersedia di atas meja warung Mbok Jasmi, "Mbok catat dulu ya," pertanda Kasturi hendak mengutang untuk membayar setiap hari minggu saat gajian.
"Minggu ini aku kerja di tempat Pak Juragan Nano Kas, di Lio paling ujung sendiri noh. (LIO = rumah semi permanen tak memiliki dinding dan berbentuk segitiga. Dimana di dalamnya dibuat untuk memproduksi genting dari tanah liat.
Biasanya di huni satu keluarga yang menyewanya dari juragan tanah di desa sebagai tempat usaha. Di dalamnya terdapat juga dua ruangan dimana satu ruangan berfungsi sebagai kamar. Satu ruangan lagi berfungsi sebagai dapur)
"Kalau kamu Kas, minggu ini kerja di juragan yang mana?" tanya balik oleh Paiman pada Kasturi.
"Kalau aku ya Mas Juragan RT Sumadi dong siapa lagi," sahut Kasturi sambil berlalu meninggalkan Paiman menyeberang jalan hendak menuju rumah Mas RT Sumadi untuk menemui Mas RT dan memulai bekerja.
"Woi Kas, lah kok bisa, Kas tukar ayo sama aku. Kamu yang kerja di Juragan Nano ya. Aku yang di Juragan Mas RT," teriak Nano kaget saat Kasturi bilang kalau iya bekerja di rumah kakak ipar dari Sang Dewi pujaannya Dek Amanah.
"Enggak enak saja ini saja aku susah payah carinya baru dapat sekarang. Emang kamu saja yang naksir Dek Amanah," teriak Kasturi terus berlalu menunggalkan Paiman.
Pagi itu berlalu antara obrolan dua sahabat di warung kopi Mbok Jasmi.
Membahas tentang si bunga desa Dek Amanah. Yang kerap di jadikan bahan obrolan para pemuda sesaat sebelum memulai pekerjaan saat berkumpul di warung pojok desa Sentullio.