Perkenalan kita diawali malam gelap gulita saat dawai senar beradu dengan not nada bersahut dengan gementing jari terus memetik sepi dengan menahan tangis rindu dan kerinduan akan kampung halaman.
Tatap mata kita beradu pada awal malam minggu di sudut ruang gelap jalanan buntu di otakku. Saat hujan gerimis semakin senang menyapaku berteman petang dan rintik hujan serta irama alam.
Perkenalan kita di awali kau melihatku tenggelam dengan dawai gitar dan kesendirian di atas lantai dua samping rumahmu. Lalu berlalu sekian hari begitu saja hanya melihat tanpa menyapa dan hanya memandang tanpa berkata sepatah pun tiada bergetar walau hanya mengecap saja.
Kita tahu namun tak tahu, aku tahu kau dan kau tahu aku padahal tak saling mengetahui. Terakhir kali kau melihatku masih di sudut yang sama terlalu beku dan tatapan beku dan hati yang beku di sudut atas lantai dua dengan waktu yang sama.
Hujan yang sama kehancuran akan kerinduan kampung halaman yang sama.
Lalu kau melambai jari jemari mencoba memanggilku tanpa tahu nama tanpa tahu siapa. Dan aku masih berputar dengan gelayut rayutan dan semak belukar kebekuan.
Ria gadis temaram petang saat bulan pun enggan melihat. Ria gadis Juwita bumi Ampera yang melambai tiap malam walau tak ku sahut entah senyuman atau perkataan hanya diam bisu dan tatapan mata mati dari kesepian ini.
Tapi kau bersahut hati menungguku di emperan ibu satpam yang ternyata ibumu dan berkata. Berbisik lembut di telinga saat aku melewatimu dah hanya melewati saja tanpa sadar kau ada.
"Mas kenapa?"
Dan kemarin kau mampir ke lantai dua bersua sepi denganku dan masih di sini bersamamu dan mulai bercanda tawa melelahkan sepi membentak malam petang dan gelayut rayutan rindu tentang kenangan.
Selanjutnya kau dan aku semakin akrab bagai dua sahabat berlanjut dari pagi hingga petang kau dan aku semakin bercakap-cakap menantang langit di sudut yang sama pojok lantai dua.
Kemarin rembulan tak lagi malu menatap ku dan kau Ria si gadis desa tempatku bekerja anak ibu satpam ibu Renata. Dengan gitar yang sama dan pembeda kau dengan gaun merah muda pita merah jambu dan senyum merah hati.
Dawai melengking membius bintang terbang menuju awang-awang dengan nada tak lagi sepi, dengan nada tak lagi rengkuh dengan khayalan masa depan dan buram kenyataan.
Ria ku sebut namamu peranakan campuran melayu Jawa menambah lengking di dagumu lancip bak putri raja kaum cina. Bola mata sipit bak gadis mandarin berkebaya Jawa berlogat melayu. Dari ibu kampung melayu dan bapak kampung Jawa lalu aku siapamu.
Suatu malam kau sebut jawaban dengan sahutan kecupan di kening dan bibir dan pipi ini berkali-kali berulang kali.
"Kau Mas Pen Cintaku."
Aku tak bosan lagi aku tak sepi lagi aku tak rindu lagi. Sebab kerinduanku terobati berteman sang dewi melayu Ria Arianti di setiap lagu hanya nama Ria di setiap nafas hanya nama Ria dan kini aku membuka mata ada kau di sampingku membawa semangkuk sarapan dan menyuguhkan susu.
Sambil mengedipkan mata mengembangkan senyuman cinta dan berkata mesra seperti pagi kemarin, pagi kemarinnya lagi dan pagi yang kemarinnya lalu.
"Pagi Cinta."
Hari itu tiba sebab perkenalan kita dari kisah sedih dan faedah perkenalan aku dan kamu. Aku dan sembilan temanku yang bersama satu tujuan tak sepaham lagi aku ingin tetap tinggal ku ras belum usai perjuangan dan mereka berkata, merengek bahkan menangis ini sudah selesai kami harus pulang.
Saat itu kau tak berani mendekat hanya memandang di balik pintu gerbang dan aku melepas sebuah persahabatan sembilan kawan di sebuah perempatan yang dibawa lari sebuah bus bernama antar lintas Sumatera bercat biru penuh muka-muka kalah atau menang dari sang pejalan hura-hura saja.
Lalu aku berteriak pada langit yang selalu menurunkan gerimis seperti suasana hati ku yang selalu kalut. Lalu aku berteriak pada rembulan yang selalu bersembunyi kala hati ku menangisi setiap hari yang luka.
Aku coba duduk di sebuah bangku perempatan dalam hujan meresapi apakah aku harus kembali dengan kekalahan atau tetap di sini terus berjuang. Lalu kau membawa payung di sampingku sambil menatapku iba saat itu rambutmu berkepang dua ku rasa.
Tapi aku dengan kekalutan yang begitu kalut menampik uluran payung lalu berjalan kembali menunu pabrik dan lantai dua kau terbengong menatapku dengan iba dan sangat iba seakan rasa kasihan itu sampai terasa pada langit yang memuntahkan gerimis semakin deras.
Malam perempatan itu malam sebulan yang lalu, dan lalu malam sebulan kemudian kepalamu telah kau sandarkan di bahuku di pojok lantai dua yang sering di sebut sebagai mes rumah para pekerja.
Kau terus menatapku dengan mata sayumu dan pada akhirnya setan yang menari di otak seakan tertawa bahagia dengan kemenangan saat ku lumat merekah ranum bibirmu.
"Ria apakah kau kecewa."
Dan kau hanya tersenyum seakan menikmati dan kecupanku semakin menjadi candu saat kau meminta lagi dan lagi sampai aku sepertinya bisan menikmati hanya melayani dan menjawab permintaan sang kekasih agar kau tak terluka saja.
Dan pada akhirnya dari hari ke hari aku yang sendiri tak berkawan dengan teman satu desa semakin resah ketika mereka para pekerja setempat terus menghiburku berkata tidak apa tetaplah tinggal. Kami disini ada sebagai keluarga walau kita bukan lah satu suku atau bahas tapi kita Indonesia negeri yang berbineka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Lalu aku teguhkan hati mencoba tetap berdiri walau tetap tertatih memahami kondisi yang tak lagi waras seakan otak terus bernyanyi ayo pulang dan terus menari dengan nada ayo pulang.
Tapi lagi-lagi kau datang dengan gaun transparan dan mengajakku menuju pojok sudut lantai dua melantai disana dengan musik dansa dan aroma bunga surga kau menari bersama ku dan rintik hujan masih datang tapi bukan kesedihan yang ditimbulkan tapi aroma cinta surgawi di suguhkan dipampang jelas penuh nafsu.
Izinkanlah ku menari sebebas-bebasnya Ria karena aku lelah berjalan dari tanah ujung timur Jawa hingga pulau Sumatera.
Izinkanlah aku menemanimu dan katakanlah seperti biasanya di telinga dengan mesra bahwa akulah lelaki terakhirmu.
Tapi akhirnya sang pejuang tertembak peluru senapan. Tapi akhirnya yang mencinta harus kehilangan. Dan pada akhirnya aku merasa kalah jua ingin segera kembali karena teramat sepi tiada kawan lagi.
"Mereka pulang Ria, mereka pulang dan aku tetap sendiri."
Ku rebahkan kepala di atas kakimu yang kau selonjorkan di atas lantai malam petang saat itu. Dan kau mengecup kening dan kau mengecup bibir dan kau mengecup leherku dan setan durjana kembali menari bahagia merasa menang saat kita bercanda dengan nafsu saling berpaut dan saling menari di atas ranjang kamar tidurmu saat bapak dan ibumu pergi.
Walau kau suguhkan keindahan tubuh tapi pada akhirnya aku kalah seminggu kemudian kau menatapku dengan mata melelehkan air mata.
"Mas jangan pergi akan ku berikan semua yang kau minta cinta, kasih bahkan tubuh ini," Tapi tangisanmu dan permintaanmu tak mampu menghentikan langkahku. Pagi ini di perempatan setahun yang lalu tempat yang sama hanya waktu yang berbeda tapi kenapa rintik hujan selalu ada membasahi bayang-bayang tubuhku yang menghilang di bawa lari sebuah bus bernama antar lintas Sumatera.
Dan pada akhirnya nyatanya aku tak kembali terdampar di pelabuhan Bakauheni karena satu dan dua dan lain hal dari perseteruanku dan hampir kematian merenggut bersua preman pelabuhan andai dia gadis itu tak menyelamatkan.