Malam pelataran rumah Pakde Sumadi duduk di atas kursi panjang dari kayu buah tangan beliau setahun yang lalu. Segelas kopi pahit menemani dan masih mengebul sebab panasnya air yang baru saja mendidih. Sebungkus rokok ku letakkan di sampingnya.
Di bawah langit yang masih tampak cerah di hiasi ribuan rasi bintang dan rembulan berkedip malu-malu seolah dia anak perawan desa yang baru beranjak remaja kala di pinang lelaki yang ia senangi dan ia cintai sepenuh hati.
Di temani suara deru mesin-mesin pabrik yang kini sampai terdengar hingga ujung desa tak seperti 12 tahun yang lalu saat aku di pelataran rumah Pakde Sumadi bermain riang bersama beberapa teman kecil anak tetangga di sirami cahaya gemerlap bintang dan rembulan. Ada kalanya kunang-kunang malam mengitari kami sekarang semua itu sirna dan hanya jadi cerita tergerus jaman dan pembangunan yang semakin kencang berubah.
Seperti biasa kegiatan yang biasa dan selalu diulang biasanya. Meneguk segelas menyulut sebatang lalu mengebulkan asap rokok di awang-awang sambil mengandai-andai seandainya aku di atas gedung mewah salah satu gedung pencakar langit Jakarta.
Dan aku hanya duduk manis menyuruh anak buah ini itu dengan gadis manis nan seksi di sampingku. Ah khayalanku ngelantur ke mana-mana, yang jelas sekarang aku menjadi seperti mereka yang bersamaku turun dari kereta sehari yang lalu menjadi pejuang receh dan seorang pemimpi.
"Ehem,ehem," dehem Mas Dwi memecah lamunan dan awang-awang tentang seandainya di sana.
Dengan secangkir kopi dan rokok yang telah terbakar di ujungnya dan telah menempel mesra di bibirnya. Iya mulai duduk di sampingku memandangi wajahku lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil memukul pundak belakang samping kanan milikku.
"Hahaha, Dek Pen, Dek Pen, kangennya Masmu ini," kelakar Mas Dwi teramat senang atas kedatanganku sebab telah lama kami tak duduk berdua menikmati malam sejak belasan tahun yang lalu.
Terakhir kami memandangi malam di pelataran rumah Pakde Sumadi belum ada kami meneguk kopi atau acara menyulut rokok. Saat itu kami terlalu kecil untuk menikmati dua hal yang selalu membuatku tenang dan sebagai teman dikala sepi dan sendiri rokok dan kopi.
"Bagaimana-bagaimana jagoan pemegang area kecamatan Mojoagung dan pemilik basis terminal. Apa tidak amburadul tuh terminal kamu tinggal Dek Pen heh?" ejekan ringan kakak pada adik seperti biasa canda tawa antara kami meluncur dari mulut Mas Dwi seorang Jawara karate pada jamannya saat dulu masa bangku sekolah SMA dan iya menguasai basis pasar Ciruas.
"Loh kok Mas tahu aku seperti itu. Darimana Mas Dwi tahu aku pemegang basis terminal dan jalur kecamatan Mojoagung," ku tatap wajah Mas Dwi dengan muka menampakkan raut kebingungan. Lagi-lagi iya hanya memandang wajahku dan kembali tertawa terbahak-bahak tak lupa iya memukul kembali pundakku kali ini lebih keras dari pukulan yang pertama.
"hahaha, Masmu ini dulu juga pernah sepertimu jangan lupa pasti ada lah info-info untuk adik keponakanku paling konyol ini," dan terus terkekeh sambil menghisab rokok di tangannya Mas Dwi tiba-tiba mengubah wajahnya menjadi serius.
"Lah kenapa Mas kok serius begitu?" ku baca raut wajahnya dengan kekhawatiran yang akan iya katakan.
"Dek Pen, kabar kau datang sudah santer terdengar dari seminggu yang lalu. Kau tahu tetangga desa sebelah selatan jembatan itu mereka menunggumu dan sangat menanti kedatanganmu untuk mengajakmu tarung sarung," jelas Mas Dwi semakin serius.
Aku paham akan kekhawatiran Mas Dwi tarung sarung sudah lama tak terdengar dan terakhir dilakukan oleh jawara terakhir desa Sentullio bernama Pak Ember dan beliau adalah salah satu Pakde kami.
Tarung sarung adalah sebuah kebiasaan adat istiadat lama antara para jawara guna menentukan siapa pemegang wilayah atau ketua yang paling di segani. Tarung sarung di awasi oleh pemuka agama dan para jawara tua sebelumnya dengan membuat lingkaran pembatas.
Dimana untuk dua orang jawara yang hendak bertarung berada di tengah dan masuk ke dalam satu sarung tanpa membawa senjata apa pun di saksikan oleh puluhan warga sekitar. Dan sudah dapat di pastikan bahwa salah satu jawara yang ikut pasti ada yang akan meninggal.
Dulu saat aku kecil pernah aku saksikan pertarungan hidup mati antara dua jawara tersebut dan peserta dari acara tersebut salah satunya adalah Pakde kami Pakde Sumber. Walau pada akhirnya Pakde Sumber yang keluar menjadi juaranya dan yang menjadi lawannya seketika meninggal di tempat.
Begitulah kengerian tentang tarung Sarung dan aku tahu kengerian itu dan aku tak mau itu terulang lagi sebab aku tahu kematian bukan sebagai tontonan dan kematian hanya milik Allah semata. Walau menang tentu sudah dipastikan ia adalah pembunuh bagi yang kalah.
"Ah dimana mereka tahu aku datang dan apa kabar tentang aku yang menguasai satu daerah di Jombang sesanter itu kabarnya hingga para jawara di sini berebut untuk menantangku tarung sarung Mas?" tanya ku pada Mas Dwi yang hanya mangut-mangut menatapku menahan tawanya seakan ketika memandangku ia seperti memandang seorang badut sirkus atau badut ulang tahun.
"Kalau begitu mumpung belum lama dan uang saku yang dikasih bapak juga belum habis bagaimana kalau besok aku balik lagi ke Jombang Mas dari pada ricuh nantinya," kini giliranku menatap wajah Mas Dwi dengan tatapan lebih serius dari tatapannya barusan sehingga ia pun kaget melihat wajah keseriusanku.
"Allahuakbar, Astaghfirullahhaladzim, wajahmu ilo Dek kayak hantu yang lagi di tagih hutang oleh rentenir, huwahahaha," kembali tawa Mas Dwi yang sedari dulu memang suka bercanda mengejekku mungkin iya kangen masa-masa kecil dahulu kala bercanda bersamaku.
"Alah Mas Dwi ini emang aku setan," celetuk ku agak memanyunkan bibir.
"Hihihi, maaf tidak usah dihiraukan kita ini adalah para pemuda dan dari golongan leluhur para jawara di daerah kita masing-masing. Mereka jual kita beli kita berdua sudah cukup untuk mengatasi satu kampung bahkan dua kampung ini. Aku pernah dengar satu kisah di belakang terminal anak STM melawan puluhan orang dewasa dan dia menang. Tapi aku tidak tahu namanya lupa siapa ya. Yang aku dengar dari Jombang," ucap Mas Dwi sambil bergaya sok berpikir meledekku sambil melirik ke arahku.
"Ah jangan meledek terus Mas sudah habiskan kopimu itu. Iya-iya itu aku saat itu aku sedang khilaf dan kesetanan lagi," timpal ku menambahkan keterangan tentang pemuda yang dimaksudkan oleh Mas Dwi.
"Mas kita ini hanya manusia kalau aku melayani mereka dengan menyanggupi tarung sarung berarti aku memiliki rasa kesombongan sedangkan aku tahu bahayanya kesombongan sangat di benci oleh Allah SWT," cetusku kembali menerangkan.
"Ah kau Dek Pen yang perjakanya hilang oleh gadis bertato di dada dan iya tidak perawan saja kau mau. Bicara sok agamis lagi enggak cocok Dek Pen, Dek Pen, hahaha," kembali Mas Dwi melontarkan ejekan untuk meledekku dengan terbahak-bahak.
"Heluh itu pun kau tahu Mas, sebenarnya siapa sih yang memberi tahukanmu semua hal tentang Adek kecilmu ini sampai sedetail itu loh jadi penasaran," aku berdiri agak melotot menatap Mas Dwi agak penasaran.
"Siapa lagi Dek yang dari dahulu sejak kecil selalu memujamu, kalau bukan Dek Surti gadis kecil yang dahulu sering kau selipkan kembang melati di telinganya," jawab Mas Dwi sambil menghabiskan tegukan terakhir kopi.
"Apa Surti yang dulu gendut itu?" mataku melotot seakan tak percaya karena Surti kecil dahulu adalah anak gadis kecil dengan badan gendut dan cabi.
"Ets, jangan salah Surti yang sekarang cantik loh seksi loh bahenol lagi namun yang tak berubah adalah dia tetap suka padamu. Kau tahu saat Si Surti ini mendapat kabar kalau kamu tengah menikmati malam dengan kekasihmu dia sangat patah hati sampek enggak mau makan loh," jelas Mas Dwi.
"Ah yang benar Mas entar bohong dilebih-lebihkan ceritamu lagi," celetukku kembali duduk mendengarkan cerita tentang Surti.
"Kalau tak percaya besok tanya saja orangnya kalau pagi pasti kemari mencari Mbakmu Atri," jawab Mas Dwi.
Dan Malam itu ocehan-ocehan antara adik dan kakak sepupu mengalun melawati malam menyalurkan hasrat kangen akan kebersamaan yang sekian lama berbelas tahun sudah tak bertemu. Di bawah langit cerah desa Sentullio kota Serang kota para jawara dan di bawah rembulan yang berkedip lambat seakan mengerti rasa hati kami setelah sekian lama tak bertemu dan tak jua putus bercanda kala itu.