webnovel

Jarak

Andra menatap heran ke arah istrinya, "Aku rasa nyawa kamu belum terkumpul semua, jadi bicaranya aneh."

Andine mengusap wajah, kedua mata wanita itu kini terbuka sempurna. Ia menghela napas pendek, barulah menyadari kata-katanya barusan memang terdengar aneh dan terlalu kepedean.

"Ada apa, Mas?" tanya gadis itu seraya bersikap senormal mungkin.

Andra mendesah, "Turun ke bawah, waktunya makan malam," jawabnya, pemuda itu dengan wajah datarnya hendak melangkah pergi.

"Aku nggak mau." Suara Andine sontak membuat Andra menghentikan gerakan kakinya. Pria itu kembali menoleh ke tempat sang istri berdiri.

"Waktunya makan malam, Andine …!" ucap Andra sedikit tegas, ia menatap penuh ke wajah wanita berkulit bersih itu.

"Aku bilang aku nggak mau makan." Andine membalas tatapan suaminya, "Aku nggak laper," tambahnya.

Rahang Andra mengeras, ia ingin menumpahkan amarah tapi segera ditahannya. Entah kenapa sikap Andine saat ini sangat membuatnya kesal.

"Kamu kenapa sih? Dari siang ngurung diri di kamar terus, pas makan malam kamu malah nggak mau makan. Ada apa sama kamu, An?" Andra bertanya dengan suara tenang, meski dadanya berdebar menahan emosi.

Andine menghela napas, ia menatap sang suami dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kekesalan yang sama, atau justru kesedihan dengan luka yang berusaha ia tutupi dengan sempurna.

Wanita itu sebenarnya ingin mengomel dan meluapkan apa yang dirasakannya di muka Andra. Namun, Andine menyadari semua hanya akan berakhir dengan sia-sia. Pria berhati batu itu mana mau mempedulikan hati istrinya yang terluka karena dirinya.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Cuma mau sendiri aja," jawab Andine akhirnya. Tanpa basa-basi ia segera mundur dan menutup pintu kamarnya, memilih mengabaikan panggilan dan ketukan dari sang suami.

Andine mengunci pintu, kemudian berjalan menuju ranjang, gadis itu mengempaskan duduk di sana.

Untuk sesaat, Andine menatap pintu kamarnya yang masih tak henti diketuk, disusul panggilan namanya yang tak henti terdengar. Hingga satu menit berlalu, akhirnya Andra berhenti melakukannya.

"Oke, aku simpulkan bahwa mungkin aja kamu lagi badmood. Tapi jangan sampe merugikan diri sendiri, kalau lapar jangan ditahan. Cepetan ke dapur dan ambil makanan." Pria itu bicara demikian, sebelum akhirnya tak lagi terdengar suara apa-apa di luar sana.

Andine mendesah lega.

Batin gadis itu sebenarnya tengah bergejolak, menghindari sang suami dengan cara seperti ini sebenarnya hanya membuat ia dan Andra semakin berjarak. Padahal, sedari awal ia sudah berjanji akan mati-matian memperjuangkan misinya. Yaitu, meluluhkan hati dingin Andra serta mendapatkan balasan cinta untuk perasaannya.

Namun, kadangkala Andine juga ingin menyerah. Sikap dan ucapan suaminya seringkali membuat pertahanannya hampir pecah. Bagaimanapun juga, mencintai tanpa dicintai rasanya akan tetap menyakitkan.

***

Beberapa hari berlalu, hubungan Andra dan Andine tetap tak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hal ini membuat Andine merasa semakin kesal, permintaan maaf dari mulut suaminya tak pernah terucap sama sekali, karena memang Andra tak merasa bersalah.

Kadangkala hal ini membuat Andine berpikir, sampai kapan ia bisa bertahan menjalani pernikahan semacam ini dengan sang suami? Namun, ketika kata 'pisah' terlintas di dalam kepala, bayangan wajah orang tuanya pun muncul secara bersama-sama.

Andine tak mau mengecewakan papa dan mamanya, kedua orang tuanya sangat berharap pernikahan sang putri dengan pemuda yang mereka pilih akan berjalan baik-baik saja.

"Kayaknya aku bakal pulang telat." Andine yang sedang mengusap mulut setelah menghabiskan sarapan itu bersuara.

Andra yang bersiap hendak berangkat lebih dulu hanya menoleh sekilas, pria itu mengangguk singkat tanpa berniat membuka mulutnya.

Mereka sudah memiliki seorang supir sekarang, sehingga Andine tak perlu diantar lagi oleh Andra. Suaminya itu rela mencarikan seorang supir untuk mengantar jemput Andine.

Andine berdehem, sedangkan Andra sudah berdiri tegak. Gadis itu mendongak mengamati wajah rupawan suaminya, yang sebenarnya sangat tampan apabila ia tak memiliki sikap sedingin batu es.

"Oke. Aku duluan," pamit pria itu, bahkan tak berniat untuk menatap sang istri terlebih dahulu, lebih tepatnya tak terlalu peduli.

Andine menatap punggung suaminya yang berlalu semakin jauh, kemudian menghilang di balik pintu.

"Non!"

Andine lantas menoleh, Bi Lastri tiba-tiba menghampirinya seraya membawakan sebuah kotak bekal.

"Buat, Non! Tadi, bibi denger, Non mau lembur, ya?" Bi Lastri bertanya dengan wajah prihatin, sebab ia yang paling tahu dan sudah menjadi saksi selama ini tentang kehidupan sebenarnya kedua orang itu.

Andine tersenyum, ia menerima bekal tersebut. "Terima kasih, Bi."

Tak berselang lama, Andine pun pamit dan menghampiri Pak Joko, supir pribadinya sekarang. Mobil yang ia tumpangi akhirnya melesat pergi menuju kantor tempatnya bekerja.

Hari ini, Andine memang sudah memprediksi bahwa ia akan pulang terlambat. Bos-nya ada meeting dengan klien penting di luar, dan tamu mereka meminta agar pertemuan diadakan saat malam hari, dan mau tidak mau Pak Arya selaku bos Andine hanya bisa menurut saja.

Tepat pukul tujuh malam, Andine yang bekerja sebagai sekretaris duduk bersebelahan dengan Pak Arya selaku direktur utama di perusahaannya. Pria berwajah manis dengan lesung pipi di sebelah kanan itu tampak gagah dengan setelan jas berwarna abu-abu.

Sedangkan Andine, penampilannya masih tampak segar dengan blazer hitam dan rok span berwarna navy. Bos dan sekretaris itu tengah berada di salah satu restoran terkenal yang ada di sudut kota Jakarta, menunggu klien datang.

"Sudah jam tujuh, tapi mereka belum sampai," gumam Arya, sesekali ia melirik Andine yang duduk di sampingnya.

Gadis itu mengangguk tipis, "Mungkin sebentar lagi mereka sampai, Pak," sahut Andine dengan mata yang masih tertuju pada ipad di kedua tangannya.

Arya menghela napas pendek, diam-diam ia mengamati raut muka Andine yang entah mengapa tak seperti biasanya. Akhir-akhir ini ia memperhatikan gadis itu sering kali muram.

"Andine?" panggil Arya, setelah beberapa detik keduanya tak saling bicara.

"Ya, Pak?" sahut gadis itu seraya mendongak, sehingga tatapan keduanya pun bertemu.

Mata bulat Andine mengerjap, dan itu berhasil membuat Arya mematung sesaat sebelum akhirnya tersadar. Pemuda berhidung mancung itu berdehem sebentar untuk menetralkan rasa tak nyaman di hatinya.

"K-kamu kelihatan murung, ada masalah?" tanya Arya akhirnya.

Andine mengalihkan pandangan, ia merasa tak nyaman saat tiba-tiba bosnya bertanya demikian.

Gadis itu tentu saja tak mau bicara yang sebenarnya, apalagi pada lelaki yang selama ini sangat ia hormati. Meskipun Arya memang sosok pemimpin yang peduli, tapi tetap saja Andine merasa risih.

"Saya baik-baik aja kok, Pak." Andine menjawab disertai seulas senyum tipis yang tak sampai ke mata.

Arya tidak puas dengan jawaban itu, saat ia ingin bertanya lagi tiba-tiba klien yang ditunggu-tunggu sudah datang menghampiri.

Akhirnya pria berusia 28 tahun itu hanya bisa menyimpan rapat-rapat rasa ingin tahunya, pada gadis yang selama ini seringkali ia perhatikan secara sembunyi-sembunyi.

Bersambung.

Siguiente capítulo