webnovel

LEDAKAN BESAR

Sophia terus memikirkan mengenai mimpinya semalam. Dia merasa begitu terobsesi pada sosok Alexander yang telah membuatnya merasakan kenyamanan memiliki seorang ayah. Seandainya semua itu memang benar maka seluruh dunia akan memusuhi dirinya yang terlahir dari persatuan dua makhluk abadi.

"Apakah makanannya tidak enak?" tanya Bianca karena melihat Sophia hanya mengaduk makanan di piringnya. Sophia terperanjat ketika mendengar panggilan dari sahabatnya. Dia memang sedang tidak berselera untuk makan.

Sophia hanya menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan kecemasan kedua sahabatnya yang merasa heran dengan tingkahnya yang melamun sepanjang waktu. Sophia berusaha tersenyum meskipun matanya tidak menyiratkan kebahagiaan.

"Kamu ada masalah? Ceritakanlah supaya kami bisa membantumu," tawar Bianca dengan lembut. Gadis itu memang sangat baik hati dan pengertian.

Sophia memperhatikan wajah kedua sahabatnya dengan sembari tersenyum. Rupanya dia telah membuat Bianca dan Rosie merasa cemas pada kondisinya. Sophia pun merasa bersalah karena telah melibatkan kedua sahabatnya dalam masalah pribadinya.

"Tidak ada yang perlu kalian cemaskan. Aku hanya kurang tidur semalam sehingga sekarang masih mengantuk," dusta Sophia untuk meyakinan kedua temannya.

Sophia menatap sekeliling untuk menyingkirkan kecurigaan di pikiran kedua sahabatnya. Sosok Andrew Davidson telah menyita perhatian dari Sophia. Pemuda berwajah tampan yang menjadi sumber kemarahan Helen itu sedang bersenda gurau bersama rekan-rekannya.

"Astaga, bukankah itu Andrew? Kupikir dia sedang ijin pulang karena ada masalah di rumahnya dan pagi ini dia sudah berada disini. Apakah masalah di dalam rumahnya sudah beres?" tanya Sophia untuk mengalihkan pikiran dari teman-temannya. Dia tidak mau masalah pribadi mengusik pertemanan diantara ketiganya.

Bianca hanya mengangguk karena merasa Sophia telah menyembunyikan sebuah rahasia darinya. Dia tidak mau memaksa sahabatnya untuk berbicara karena Sophia memiliki hak pribadi yang tidak bisa diabaikannya.

Tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi di luar asrama. Seluruh siswa kaget dan segera bergegas mencari sumber ledakan. Kepulan asap mulai memenuhi ruang makan dan seluruh siswa kebingungan mencari tempat persembunyian.

"Astaga! Asap apa ini? Mengapa pekat sekali?" keluh Sophia yang mulai terbatuk-batuk. Bianca dan Rosie juga tidak kalah menderita. Ketiganya terbatuk dan saling bersahutan.

"Kita harus keluar dari sini!" ajak Sophia kepada kedua temannya yang sama-sama menderita di dalam kepulan asap putih yang membuat semua terbatuk. Ketiga gadis itu berjalan bersama sambil berpegangan tangan. Persahabatan mereka begitu dekat dan akrab satu sama lainnya.

Sophia mengajak kedua temannya masuk ke dalam ruang perpustakaan dan mengunci ruangan dari dalam. Dia tidak mau kepulan asap terus mengejar ketiganya yang sedang bersembunyi di dalam perpustakaan.

"Sepertinya kita aman disini," tukas Rosie yang masih berwajah kemerahan karena menahan batuk yang terus menyerangnya. Gadis itu tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Rosie dan Sophia langsung merebahkan diri di bangku perpustakaan karena menderita sesak napas.

"Sophia, mengapa kamu tidak mengatakan apapun. Biasanya kamu sudah mendengar bila ada seseorang yang mempunyai niatan buruk di sekolah," tanya Bianca sembari mengatur napasnya yang terdengar sesak. Sophia yang tengah menatap sekeliling perpustakaan untuk mengecek adakah jalan masuk asap ke dalamnya.

"Aku minta maaf tetapi aku memang tidak mendengar apapun," ucap Sophia yang masih merasa aneh dengan keadaan yang menyerang sekolahnya secara tiba-tiba. Sebuah ledakan yang datang hampir bersamaan dengan kabut telah membuatnya berpikir dengan keras.

"Bagaimana keadaan teman-teman di luar sana ya," sahut Rosie cemas.

Sophia dan Bianca hanya menggelengkan kepala karena tidak mengetahui apa yang telah terjadi di sekolah mereka. Di luar suasana terdengar hening dan tidak ada aktivitas yang berarti. Sepertinya semua masih terganggu dengan asap yang menyerang secara tiba-tiba.

Sophia mengajak kedua temannya menuju jendela di lantai dua Perpustakaan. Disana pasti ada jawaban yang diinginkannya. Sophia membantu Rosie berjalan karena gadis itu nampak lemah dibandingkan yang lainnya. Perlahan ketiganya menaiki tangga menuju lantai dua. Suasana begitu sepi karena perpustakaan memang belum dibuka ketika pagi hari. Bianca berjalan mendahului kedua temannya dan menatap ke arah jendela besar di sudut ruangan.

"ASTAGA!" pekik Bianca yang membuat kedua sahabatnya panik. Sophia menatap Bianca dengan heran. Dia menjadi cemas setelah melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Bianca.

Sophia dan Rosie langsung menutupi mulutnya karena kaget melihat sesuatu yang ada di halaman sekolah. Sebuah benda menyerupai mobil besar tengah terbakar di halaman. Di sekitarnya sudah nampak beberapa lelaki dan perempuan yang berkulit putih. Wajah mereka pucat dan mereka mengenali sosok vampir yang telah menyusup ke dalam sekolah.

"Mereka adalah vampir? Benarkah vampir berani datang kemari?" tanya Rosie penasaran. Ketiganya mulai ketakutan dan cemas melihat sosok asing yang berdiri di halaman sekolah mereka.

"Untuk apa mereka datang kemari? Kemana semua guru dan kepala sekolah?" celetuk Bianca dengan gelisah.

"Lebih baik kita mencari tempat persembunyian sebelum semua terlambat. Mereka pasti mempunyai alasan sehingga datang ke sekolah ini," usul Rosie.

"Kalau tujuan mereka hanya berkunjung bagaimana?" bantah Sophia.

"Mana ada vampir yang berkunjung ke sekolah werewolf. Selama ratusan tahun mereka adalah musuh kita. Kalau mereka berani kemari pastilah tujuannya tidak baik," seru Rosie. Gadis itu mulai berjalan menjauhi jendela. Sepertinya dia hendak mencari tempat persembunyian.

"Kamu mau kemana?" tanya Bianca.

"Aku tidak mau mati disini. Aku akan pergi meninggalkan sekolah dan bersembunyi di hutan larangan," ungkap Rosie. Gadis itu terlihat yakin dan tanpa menunggu waktu lama segera bergegas meninggalkan perpustakaan.

Sophia menatap Bianca. Mereka memutuskan untuk mengikuti Rosie.

Ketiga gadis itu mulai mengambil masker yang ada di kotak obat untuk menutupi hidungnya. Mereka bersiap untuk menghadapi situasi yang terburuk yang mungkin akan dihadapi.

Ketika pintu perpustakaan dibuka, asap langsung mengepul dan membuat jarak pandang menjadi terbatas. Mereka bertiga berjalan sembari berpegangan tangan. Bianca memimpin berjalan di depan untuk membimbing kedua temannya.

Mereka berpapasan dengan beberapa rekannya yang berjalan sempoyongan. Nampaknya asap telah membuat rekan-rekan mereka lemas.

Sophia dan kedua temanya langsung membantu teman mereka yang berjalan terseok-seok. Mereka mengajak rekan lainnya menuju hutan terlarang untuk menghindari asap pekat yang menyelimuti sekolah.

"Kita mau kemana?" tanya Andrew kepada Sophia. Gadis itu membantu Andrew berjalan supaya tidak terjatuh.

"Kita akan menghindari asap untuk sementara waktu dengan bersembunyi di hutan terlarang," jelas Sophia.

"Bukankah kita dilarang kesana?" tanya Andrew.

Sophia menoleh ke arah Andrew dan menggelengkan kepalanya perlahan. Dia memang mengetahui larangan tersebut namun untuk saat ini memang bersembunyi disana adalah yang terbaik untuk semuanya.

"Setelah kabut asap menghilang, kita akan kembali ke sekolah," ujar Sophia.

Mereka segera bergegas menuju hutan terlarang. Sophia dan kedua temannya tidak mengatakan apapun mengenai kedatangan vampir ke sekolah mereka. Untuk keamanan sebaiknya hal tersebut memang dirahasiakan terlebih dulu.

"Asap ini membuatku kesulitan bernapas," keluh Helen yang berada diantara mereka. Gadis itu mengeluh dan bersikap angkuh seperti biasanya.

"Kita harus mengahadapinya. Setelah kabut menghilang, kita akan mencari tahu penyebab semua kekacauan ini," jelas Erick kesal. Pemuda yang menjadi ketua asrama itu merasa kesal karena melihat Sophia membantu Andrew berjalan. Dia menduga bahwa Andrew hanya beralasan untuk berdekatan dengan Sophia.

Andrew melirik ke arah Erick yang berusaha menyembunyikan kekesalannya namun tidak bisa. Wajah Erick sudah menampakkan kekesalan dengan jelas. Apalagi nada biacaranya yang biasanya lembut mendadak menjadi lebih keras.

"Aku akan mendapatkan perhatian Sophia bagaimanapunn caranya," batin Andrew sembari melirik ke arah Erick yang juga melihat ke arahnya. Mereka saling bersaing dalam merebut perhatian dari Sophia.

Siguiente capítulo