***
Membutuhkan waktu lebih dari dua belas jam untuk sampai di Ibukota. Selama perjalanan, kereta yang ditumpangi Aletha tidak mendapat ancaman apa pun, keduanya terlihat bersantai menikmati perjalanan mereka.
"Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi tempat ini lagi," jelas Aletha, memandang gerbang ibukota yang berdiri kokoh menyambut kedatangan mereka.
Berbeda dengan Erol, dirinya memiliki kenangan buruk tentang gerbang ibukota, napasnya hampir berhenti jika ia telat keluar dari dalam kota. Namun, ia tidak perlu khawatir, Jophiel tak lagi berada di dalam tubuhnya.
"Aku pun begitu," ucap Erol, termenung.
Kereta itu berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua, di depannya terlihat dua penjaga berjalan mendekati pintu dan membukanya. Aletha dan Erol keluar setelah dua belas jam perjalanan, seorang pria paruh baya bertubuh kurus datang menyambut kehadiran Aletha.
"Selamat datang di Ibukota Kerajaan Liviel, cukup sumpek tapi aku harap kau tidak membencinya," balas pria tersebut, menundukan kepala dan menjulurkan tangan memersilakan Aletha masuk.
"Ah, sama sekali tidak. Justru aku ingin datang kemarin karena rindu akan kenangan masa kecilku," jelas Aletha, rendah hati.
Erol masih terdiam di depan gerbang, memerhatikan jalan raya yang terhubung dengan istana Raja Alexandre. Terlihat orang-orang banyak lalu lalang di tempat tersebut dan kebanyakan dari mereka mengenakan jubah berwarna hijau tua dengan lambang satu lingkaran diikuti lima lingkaran kecil mengelilinginya.
"Ada apa, Erol?" tanya Aletha, kembali menghampiri pemuda tersebut.
"Ah, tidak ada. Mungkin kita akan berpisah di sini," jelas Erol, tersenyum.
Wajah manis Aletha yang sedari tadi tersenyum lebar tiba-tiba merunduk layu seperti bunga yang tak pernah disiram. Ia sedih karena akan ditinggal oleh Erol, sebenarnya Aletha ingin lebih berlama-lama dengan Erol, tetapi ia pikir urusan Erol lebih penting dari pertemuannya.
"Yah, baiklah kalau begitu. Jangan sungkan untuk mengunjungiku, yah? Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu," pinta Aletha.
Kedua tangan wanita itu memegang erat tangan Erol, matanya memandang sendu ke arah pemuda tersebut, terbesit pantulan cahaya dari manik mata Aletha yang tak ingin Erol pergi.
"Aku akan pergi berkunjung." Erol melepaskan genggaman tangannya, pergi ke lautan manusia seraya melambaikan salam perpisahan pada Aletha.
Bulir air mata akhirnya jatuh ketika mendapati Erol tak lagi berada di depannya. Namun, sebagai pewaris Endeavour, ia tidak boleh menunjukan kelemahannya di muka umum. Ia berjalan masuk seraya menyeka air matanya dengan sapu tangan miliknya.
Erol berjalan mengendap-endap melewati gang kecil dan lembab untuk menghindari jalan umum. Ia melihat banyak pasukan istana yang melakukan patroli di tempat tersebut.
Di tempat lain, ia melihat ada dua jubah yang berbeda, jubah berwarna merah dan biru. Lambang di jubah merah adalah tanda plus, sedangkan lambang di jubah biru berbentuk pedang dan perisai.
"Pasukan apa itu?" gumam Erol, bertanya-tanya.
Seorang datang dengan jubah biru disertai bulu putih di bagian kerah jubah, seseorang yang memiliki tubuh jauh lebih pendek dari pasukan lainnya. Erol duga kalau dia adalah pemimpin pasukan aneh tersebut.
Ketika penglihatannya terbebas dari halangan orang-orang, terkejutnya Erol mendapati kalau pemimpin pasukan aneh itu adalah Ponrak. Wanita itu sudah menghilang berbulan-bulan dan Erol tidak pernah menduga kalau ia akan bergabung dengan kubu kerajaan.
"Hubungi Pasukan Cleric, buat persiapan untuk pemberangkatak ke medan perang," jelas Ponrak.
Meski bertubuh pendek dan kecil, tetapi wanita itu tak segan untuk memerintah pasukannya yang berbadan jauh lebih besar darinya. Setelah memberi perintah, terlihat wanita itu berjalan seorang diri menuju arah istana.
Banyak pertanyaan yang tertampung di benak Erol untuk ditanyakan padanya. Dengan menggunakan sihir penguatan di kakinya, ia berlari kencang dan menangkap Ponrak dengan kuat.
Ponrak tersentak kaget dan segera memandang pria yang menculiknya dengan pandangan penuh kemarahan. Erol membawa wanita itu pergi hingga ke sudut ibukota dekat dengan tembok besar yang mengelilinginya.
"Siapa kau?! Berani-beraninya menculik dan membawaku pergi, apa kau tidak tahu siapa aku?!" bentak Ponrak, wanita itu tidak bisa melihat wajah Erol karena tertutup tudung pakaian yang panjang.
Erol segera mengeluarkan pedang besi miliknya, berjalan dengan langkah ringan mendekati Ponrak. Wanita itu tak kalah berani, ia ikut mengeluarkan pedang dan bersiap bertarung dengan Erol.
Benar saja. Ayunan pedang menghiasi pertemuan pertama mereka setelah sekian lama, Erol masih mengingat teknik berpedang milik Ponrak sehingga ia bisa menangkisnya dengan mudah, meskipun wanita itu mempelajari teknik lain.
"Sialan! Siapa kau sebenarnya?" Ponrak masih mengayunkan pedang dengan keras dan terarah untuk melumpuhkan Erol, tetapi pemuda itu masih terlalu kuat baginya.
Ponrak melompat jauh dan menjaga jarak dengan pemuda tersebut. Pedang panjang miliknya dialihkan ke tangan kiri seraya tangan kanannya terangkat ke langit sambil mulutnya merapal mantra tertentu.
"Ferrum Ilussio!"
Tiba-tiba sekumpulan angin mulai terbentuk mengacaukan pandangan Erol, angin itu terus berputar di tangan kanan Ponrak hingga muncul pedang dari telapak tangan wanita tersebut.
"Ferrum Ilussio: Caelium!"
Angin-angin itu kembali muncul tetapi tidak di tangan kanan Ponrak, melainkan di langit-langit yang berada di belakang wanita tersebut. Terhitung lebih dari sepuluh pedang muncul dari dalam pusaran angin dengan bentuk yang berbeda-beda.
"Menyerahlah, maka nyawamu akan kuampuni!" jelas Ponrak, begitu percaya diri.
Erol tak mau melangkah mundur, ia segera membentangkan pedang besi miliknya di depan dadanya, "Amplifi Elementum!"
Bilah pedang Erol berubah warna menjadi biru tua, hal itu mengejutkan Ponrak tapi sama sekali tidak menggoyahkan semangat bertarung wanita tersebut.
"Terserah padamu saja!"
Ponrak melangkah maju mendekati Erol dan mulai mengayunkan pedang pertamanya, tetapi hal mengejutkan terjadi. Pedang Ponrak patah menjadi dua setelah berbenturan dengan pedang Erol, hal itu membuat emosi wanita tersebut menggebu-gebu.
"Jangan besar kepala kau!" erang Ponrak emosi.
Pedang-pedang yang melayang mulai melesat cepat mengarah ke tubuh Erol. Mendapat dua serangan sekaligus membuat fokus Erol terpecah, akibatnya ia terkena tusukan pedang di sebelah kanan paha pemuda tersebut.
"ARGH!"
"Mati kau!" hardik Ponrak.
Ketika posisi Erol benar-benar terjebak, ia meletakkan tangan kanannya di tanah seraya merapal mantra elemen tanah yang ia ketahui.
"Terra pila!" lirih Erol.
Tanah yang dipijak oleh Ponrak bergerak dan mulai melahap wanita itu untuk terjebak di dalamnya. Pedang-pedang yang melayang juga ikut terjatuh karena kekurangan mana sihir dari pemanggilnya.
"Keluarkan aku dari sini!"
Dengan jalan tertatih, Erol menghampiri bola tersebut dan meletakan kedua tangannya di atasnya.
"Kemampuanmu sudah bertambah, Ponrak."
"SIAPA KAU SEBENARNYA?!" teriak Ponrak kesal.
Erol memejamkan kedua matanya, mencoba memilih mantra apa yang cocok untuk melumpuhkan Ponrak. Tak membutuhkan waktu lama, ia sudah menemukan sihir yang dimaksud.
"Symphony of God!"
Elemen suara yang jarang dimiliki manusia, kini digunakan Erol untuk melumpuhkan Ponrak. Terdengar teriakan wanita tersebut meminta pertolongan akibat suara tersebut, ia juga memohon ampun dan bersedia mendengarkan alasan Erol menculiknya.
Tetapi itu terlambat, terlambat ketika paha kanan Erol terpaksa berlubang akibat pertarungan tersebut. Tubuhnya begitu lemas dan pucat, ia perlu kembali ke kediaman Aletha, setidaknya wanita itu akan menolongnya dengan sihir penyembuh.
"Aku akan ... kembali lagi," ucap Erol, terbata-bata.
Ia melangkah terseok dengan luka di kaki kanannya yang semakin parah meskipun sudah tertutup kain yang ia sobek dari bajunya. Jaraknya cukup jauh dari posisinya berada dan membutuhkan kekuatan lebih untuk sampai di sana.
Tapi malang menimpa Erol, ia terjatuh di tengah jalan dengan wajah yang begitu pucat. Untung baginya, pasukan merah datang menolongnya dan membawa pemuda itu ke markas mereka.
"Tenanglah, kau akan kami obati," ucap seorang wanita dengan lemah lembut.
Mereka membawa Erol dengan menumpang pada kereta milik bangsawan. Selama diperjalanan, Erol masih tak sadarkan diri akibat darah yang banyak mengalir akibat pertarungan dengan Ponrak.
"Eh, tunggu! Sepertinya aku mengenal orang ini."
Pasukan merah heboh, mereka menduga kalau pemuda yang terluka tersebut adalah Evan, si Utusan Jophiel. Pemimpin pasukan merah datang untuk menenangkan anggotanya.
Wanita itu melihat dengan seksama wajah Erol. Hatinya berkata kalau dia benar utusan Jophiel, tetapi mulutnya berkata tidak.
"Dia bukanlah Evan, jangan menyebarkan isu bohong atau lidah kalian kupotong!"
Mereka segera patuh tanpa membantah. Kini, di ruangan tersebut tersisa tiga pasukan yang mengobati luka di paha kanan Erol, dan seorang pemimpin pasukan Merah, Evelyn.
"Ini luka akibat tusukan pedang yang keras."
"Ia sangat kuat bisa menahan luka sedalam ini."
Evelyn berjalan keluar dari dalam markas dengan informasi penting yang ia dapatkan. Ia ingin pemuda itu dimasukan ke ruang khusus dengan pengawasan ekstra darinya.
"Siapkan ruangan khusus untuknya. Aku akan berbicara dengan pimpinan tiga fraksi tentang ini."
Sudah berjalan dua puluh bab, bagaimana kisah keseluruhannya? Jika kalian menyukainya jangan lupa vote dan comment yah, biar author lebih semangat bikin cerita ke depannya.
Terima kasih dan selamat membaca :)