webnovel

NIAR: Mas Vian

NIAR: Mas Vian

"Permisi! Paket!"

"Ya!" Jawab dokter Vian sembari berjalan keluar. Menemui kurir pengantar paket itu.

Entah apa yang kurir itu bawa. Aku tidak merasa membeli suatu barang secara daring. Dan ku rasa dokter Vian juga tidak membeli apa pun di toko daring.

Ku lolongkan kepala ku di antara celah jendela dan horden rumah ini. Sedang hanya pula ku perhatikan kurir itu sedang berieteraksi dengan suami ku. Tepat di depan gerbang rumah kami.

"Dengan kediaman Abima?"

"Ya... Saya sendiri" Jawab suamiku.

"Ini paketnya... Tolong tanda tangan di sebelah sini" Pinta kurir itu. "Terima kasih" Tambahnya.

"Iya...."

Pergi sudah kurir itu dari rumah ini. Telah suami ku masuk kembali dengan membawa paket tadi. Sungguh kecil dan tipis sekali paket itu. Bahkan hanya di bungkus dengan sebuah map berwarna coklat. Dan setelah kami baca baik-baik alamat yang tertera. Barulah kami tahu siapa pengirimnya.

"Kantor kedutaan!" Jawab dokter Vian memberitahu ku.

Ough! Ternyata dari kantor kedutaan. Yang artinya, isi dari paket itu adalah.

"Pasport dan visa ku. Sudah jadi" Tambah dokter Vian.

Dokter Vian menghela napas panjang. Demikian pula diriku. Ketika diri kami menyadari bahwa perpisahan kami semakin di depan mata.

"Kamu simpan dulu saja! Atau letakkan di meja ku!" Pintanya.

Aku menurut.

Seperti yang telah ku katakan bahwa perpisahan kami semakin di depan mata. Dengan datangnya pasport dan visa ini. Jujur saja, hatiku semakin berdebar kencang. Oleh karena sebagian dari diriku merasa lega. Namun sebagian lainnya juga merasa sangat sedih. Seolah aku tidak ingin hari perpisahan itu datang. Bahkan pasport dan visa ini, rasanya ingin aku buang.

Kendati dua hal bertentangan itu yang ku rasakan. Tapi tentu saja aku harus menyudahi sedih dan drama ini. Lalu menggantinya dengan keikhlasan.

"Dokter Vian punya koper besar kan?"

"Punya... Ada di atas almari sepertinya. Biar aku ambil" Jawabnya sembari mengambil sebuah kursi lalu meraih kopernya.

Dan hatiku semakin bergetar saat aku mulai membantu dokter Vian mengemasi semua barangnya. Bahkan air mataku tanpa ku sadari jatuh satu persatu ketika ku keluarkan semua baju dokter Vian dari almari. Lalu memindahkannya ke dalam koper juga menata semuanya agar tetap rapih.

"Kenapa, Niar? Hemp? Terkena debu ya?"

"Hem? Iya... Banyak sekali debunya yang masuk ke mata saya. Sampai menangis. Hehehe" Jawab ku berbohong sembari menghapus air mata ini.

"Oh... Aku lihat sini!" Kata meraih kepalaku. Melepas kedua tanganku. Lalu ia meniup lembut kedua bola mata ku secara bergantian.

"Pelan-pelan..." Pintaku.

"Iya... Huuuu" Tambahnya. Lalu membelai kedua kelopak mata ini. "Masih sakit?"

"Tidak.... Lebih baik"

Jadilah aku memilih untuk banyak berdalih ketika ia menyadari air mata ku. Entah dokter Vian sadar atau tidak. Tapi mungkin dokter Vian pun sebenarnya tahu apa yang aku rasakan. Namun ia memilih untuk mempercayai alasan ke bohongan ku.

"Apa lagi ya yang belum?" Katanya.

"Buku-buku, dokter Vian mau di bawa?"

"Hemp? Emp... Iya sepertinya. Tapi hanya satu dua saja. Nanti biar aku beli buku baru lagi di sana" Jawabnya.

Aku mengangguk.

"Apa dokter Vian butuh koper satu lagi? Kalau memang iya nanti bisa pakai punya saya" Tawarku.

"Tidaklah. Cukup! Ini saja dulu. Yang benar-benar aku butuhkan. Emp... Apa lagi ya yang belum? Emp?" Ucap dokter Vian seraya berpikir.

Lalu, tanpa sadar. Aku berkata.

"Saya! Saya mau Anda letakkan di sebelah mana?"

Dokter Vian terkejut. Dihembuskannya napas panjang lalu berjalan ke arah ku. Memeluk ku seraya membelai rambut ini. Kemudian ia melihat ku dan mengatakan dimana aku akan ia letakkan.

"Di sini... Kamu akan selalu ada di sini. Juga, ada di sini" Jawabnya sembari menunjuk dada dan kepalanya.

Membuat ku tersipu malu. Namun juga senang.

"Cukupkah, Dokter?" Tanya ku dengan begitu lugu.

"Empp... Sebenarnya tidak cukup sih karena sekarang kamu sudah agak menggemuk jadi...."

"Iiiiiiii...." Ucap ku memotong perkataannya. Lalu ku cubit perutnya oleh karena gemas.

"Ahahaha.... Aduh! Aduh! Aduh! Hahaha"

Aku tahu dia berusaha menghiburku. Dengan menggoda ku seperti itu. Berhasil ia membuat ku tertawa lagi setelah tadi banyak mengeluarkan air mata.

Walau sebenarnya aku makin menahan emosi. Oleh karena tak akan lama, aku tidak bisa mendengar godaan itu lagi. Mungkin bisa, namun akan berjarak dan tidak akan semenyenangkan saat dekat dengannya. Saat aku bisa mencubit perut atau hidungnya. Lalu melihatnya tawa puasnya usai berhasil menggoda ku.

"Lelah, Niar. Istirahat dulu ayo!" Ajaknya.

Aku menurut. Ku ikuti dokter Vian yang kemudian berbaring di atas ranjang. Menggeliatkan seluruh tubuhnya. Kemudian ia menguap sekuat tenaga.

"Huaaaaay..."

"Sudah mengantuk? Egh... Sudah hampir jam sepuluh malam" Ujar ku yang baru sadar.

"Iya... Besok masuk siang pertama kan. Kita lanjutkan besok saja lah. Ya"

"Iya, Dokter!"

Saat itu lah dokter Vian lantas meminta ku untuk mendekatinya. Duduk tepat di dekatnya untuk mendengarkannya. Hemp! Jika sudah seperti ini, biasanya akan ada hal yang ingin dokter Vian sampaikan. Atau mungkin ada hal ingin dia minta.

Dan benar saja. Dokter Vian lantas merangkul sebagian tubuhku. Lalu ia mulai mengatakan permintaannya.

"Emp... Sebentar lagi kan aku sudah benar-benar meninggalkan IGD. Nanti saat aku kembali, aku juga sudah tidak di IGD kan?" Katanya.

Aku mengangguk.

"Kalau begitu... Cobalah berhenti untuk memanggil ku dokter mulai sekarang. Jujur saja, aku mulai risih istri ku sendiri memanggil dokter setiap hari"

"Kan saya perawat! Anda dokter! Kan memang seharusnya saya memanggil Anda dokter" Jawabku mengelak.

"Iya tapi kan kamu istri ku. Lagi pula kita sedang di rumah. Bukan di IGD. Cobalah untuk membiaskan diri memanggil ku Mas. Ya" Pintanya.

Sejenak aku terdiam. Menyiapkan diri untuk menuruti keinginan suami ku ini. Ku lihat dirinya yang nampaknya benar-benar ingin aku segera memanggilnya mas. Seperti yang dia minta.

"Baiklah" Jawabku selayaknya kami di rumah sakit.

"Haduh! Tidak perlu pakai baiklah.... Seperti di IGD saja! Kan sudah ku bilang kita sedang di rumah. Jangan begitu menjawab ku!

"Iya..."

"Nah... Begitu donk. Coba! Coba! Coba panggil aku Mas!"

"Mas!"

"Mas Vian. Begitu!" Tambahnya

"Mas Vian" Jawab ku mengulang.

"Mas Vian sayang" Pintanya lagi.

"Mas Vian sayang" Jawab ku.

"Hehehe... Lagi donk!"

"Mas Vian!"

"Pakai sayang!"

"Mas Vian sayang!"

Memerah sudah wajah kami. Seketika lagi-lagi merasa malu dan canggung. Namun malu dsn canggung itu kami lampiaskan dengan cara yang berbeda.

Tersenyumlah dokter Vian dengan nakalnya. Sampai lagi bibir mas Vian itu pada ku. Dihisapnya bibirku ini seraya ia tersenyum dan menahan tawa. Sementara aku hanya berusaha mengikuti gerakkannya. Lalu membiarkan ia menindih tubuh ku dan juga membiarkannya menyentuh bagian apapun dari diri ku yang dia mau.

Siguiente capítulo