webnovel

VIAN: Bulan Depan!

VIAN: Bulan Depan!

Setelah teguran Niar waktu itu. Yang di telinga ku terdengar seperti protes darinya. Bahwa aku telah lalai terhadap kewajiban ku padanya.

"Lalu... Kapan giliran saya yang akan Anda sentuh?" (PP. Bab 16. NIAR: Ingin Disentuh!)

Entah kenapa kalimat itu bermakna dua sekaligus. Tentang aku yang terlalu berlebihan dalam bekerja. Hingga lupa memberinya perhatian. Juga tentang nafkah batinnya yang belum aku penuhi hingga detik ini.

"Aku bisa menyentuh mu kapan mu" Jawab ku waktu itu.

Namun jawaban Niar sungguh membuat ku tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Tapi tidak juga Anda melakukannya! Bukan maksud saya Anda harus menyentuh saya detik ini juga. Tapi jujur saya mulai sangat khawatir sekali melihat dokter Vian begitu berambisi pada tanggung jawab baru Anda. Selalu Anda mementingkan semua data pasien itu, yang sebenarnya bisa Anda letakkan barang sebentar. Tapi sedetik pun Anda tidak mau beranjak. Bahkan setelah saya ingatkan, saya tegur, saya memohon, bahkan pula setelah saya menggoda Anda. Tetap saja Anda memilih lembaran itu. Saya tahu tanggung jawab menjadi kepala IGD memang berat. Tapi saya pikir, tanggung jawab Anda sebagai kepala rumah tangga ini, jauh lebih berat"

Dia berkata benar! Untuk itu hari ini. Aku berniat untuk menyenangkannya. Walaupun sebenarnya, aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dan entah berhasil atau tidak membuat ku istri ku ini senang.

Tepat setelah ku selesaikan semua laporan data pasien yang ku bawa pulang. Ku lihat jam masih menunjukkan pukul delapan belas malam. Ku rasa masih ada cukup waktu.

Namun saat ku hampiri Niar, dia justru berbaring di atas ranjang dan menekan perutnya. Buku yang sedari tadi tengah ia baca pun telah terjatuh dan ia tidak menyadarinya. Lalu saat aku menghampirinya. Untuk memastikan keadaannya. Jawabannya adalah.

"Mual, Dokter. Perut saya sakit"

"Lho! Kenapa sudah mual saja? Belum juga ku apa-apakan. Sudah mual"

"Dokter Vian! Igh! Saya sedang tidak bercanda. Saya memang mual dan perut saya sakit sekali. Seperti di remas dan di kikir oleh pisau" Jawabnya dengan lemas seraya menahan sakit.

"Kenapa bisa begitu?" Tanyaku dengan bodohnya.

"Hem! Bulan, Dokter. Bulan saya datang"

Oh! Hormon dalam tubuhnya rupanya. Bulannya baru datang dan itu memang bisa menyebabkan nyeri.

"Biasanya kamu beri apa agar sakitnya hilang? Biar aku carikan?" Tawar ku.

"Tidak saya beri apa-apa. Saya tahu sakitnya hanya sebentar. Tapi kali ini, sakit sekali. Tidak seperti biasanya sampai saya ingin muntah" Jawabnya.

"Emp! Apa tidak lebih baik di obati saja jika memang sakit sekali"

"Tidak apa. Biar saya tahan. Sebentar juga mungkin sudah hilang. Saya memang baru menyadari satu jam yang lalu. Jadi sakitnya pun baru saya rasakan" Jawabnya menolak tawaran ku.

Ya aku pun juga tahu sih. Hormon pada wanita yang sedang kedatangan bulannya memang terkadang membuat perut mereka kram. Memang lebih baik tidak perlu di obati atau mengonsumsi banyak obat-obatan. Karena itu hanya akan mengganggu kondisi rahim mereka.

"Sssss.... Huuuu... Huuu.... Sssss.... Hah! Em! Ssss"

Namun jika ku lihat istri ku yang terus menggeliat dan mendesis menahan sakitnya sepanjang malam. Ku rasa ada baiknya untuk mengonsumsi obat saja. Tapi seperti yang ia katakan tadi. Ia pasti takkan mau jika ku tawarkan lagi.

"Aku jadi khawatir padamu" Kata ku menunjukkan simpati.

"Hem? Dokter Vian tidak bisa tidur ya gara-gara saya gelisah?"

"Bukan! Aku lebih mengkhawatirkan mu ketimbang diri ku sendiri" Jawabku.

"Saya tidak apa. Jangan khawatir!"

Tetap saja aku khawatir. Mana mungkin aku tidak khawatir sedang istriku sedang kesakitan. Bahkan aku menjadi makin khawatir ketika ia berkali-kali ke kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya yang ternyata hanya liur dan air.

"Apa mau ku belikan makanan, Niar?" Tawar ku lagi.

"Sudah malam, Dokter. Tidak perlu. Saya mau tidur saja! Mungkin esok sudah membaik" Jawabnya lagi menolak tawaran ku.

Ku hela napas panjang. Ku coba untuk mengerti walau sebagian dari diri ku makin mengkhawatirkannya.

Jadilah aku memilih untuk tetap terjaga. Apalah lagi jika bukan karena pasien tersayang ku kali ini. Ya anggap saja aku sedang berjaga malam pertama ya.

"Dokter Vian kenapa belum tidur?"

"Jaga malam pertama" Jawabku menggodanya.

"Hemp? Astaga! Pasiennya VVIP ya"

Sejenak kami tertawa bersama. Lalu ku coba untuk meriah perut Niar.

"Perut mu sudah tidak sakit?" Tanya ku.

"Masih... Masih sakit" Jawabnya. "Dokter Vian khawatir ya?"

Aku mengangguk.

Lantas Niar bangkit dari rebahannya. Diambilnya napas panjang lalu membuangnya dengan cepat.

"Kalau begitu, tolong carikan saya sesuatu yang hangat untuk meredakan sakit ini. Saya pikir dokter Vian bisa berhenti khawatir jika saya sudah lebih baik" Tambahnya membuat ku lega.

"Iya... Akan aku carikan. Eee tapi apa?" Balik aku bertanya.

"Air hangat" Jawabnya.

"Baiklah! Tunggu sebentar ya!" Jawabku sembari mencium keningnya.

Ku tuju dapur. Ku ambil sebuah panci kecil lalu memenuhinya dengan air. Lalu memanaskannya dengan api besar. Lagi ku ambil sebuah wadah bersih. Juga sebuah handuk kecil.

Siap sudah air hangat ini. Lekas aku kembali ke kamar dan ku temui istriku yang telah kembali berbaring. Sadar ia bahwa aku telah kembali. Lagi ia mencoba bangkit lalu hendak mengambil wadah bersisi air hangat ini.

"Lho! Kenapa mau di ambil?" Tanya ku.

"Biar saya kompres sendiri, Dokter"

"Memang kamu bisa? Perutmu kan sedang sakit. Akan kesulitan pasti. Sudah biar aku saja"

"Eee tapi..."

"Sstt! Berbaring!" Tambah ku seraya membaringkannya lagi.

Aku tahu dia malu. Apalagi, aku bukan hanya akan membuka sebagian bajunya. Namun aku juga mengompres perut bagian bawahnya. Tempat yang jaraknya yang begitu jauh dengan bagian yang belum pernah ku jangkau itu.

"Tidak perlu malu! Aku suami mu. Pada akhirnya juga akan aku buka semua" Kataku menggodanya.

Telah aku membuka sebagian baju Niar. Hingga terlihat sudah bagian perutnya yang ia rasa sakit. Siap aku untuk mengompresnya detik itu juga. Ku peras handuk kecil tadi setelah membasahinya dengan air hangat. Meletakkan handuk itu tepat di atas perut Niar. Lalu sedikit menekannya.

"Hangat?" Tanya ku.

"Hangat" Jawabnya.

"Merasa lebih baik?"

Niar mengangguk.

Aku lega.

Huft! Syukur lah.

"Setiap bulan kamu selalu merasakan sakit seperti ini, Niar?"

"Tidak! Kan tadi saya sudah bilang, baru kali ini sakit sekali"

Agh! Iya ya! Kenapa aku masih bertanya sih! Aku kan sudah tahu juga. Astaga!

"Emp! Bulan depan! Ku buat agar tidak sakit lagi ya! Mau kan?"

Niar mengangguk.

"Katakan padaku jika bulan mu ini sudah pergi" Pintaku.

Niar kembali mengangguk.

Siguiente capítulo