webnovel

NIAR: Tahan Dulu Sakitnya!

NIAR: Tahan Dulu Sakitnya!

"Lancang kamu, Niar!" Tambah kak Nilam.

"Berani sekali kamu memeluk dokter Vian!" Ucap kak David yang seolah menegurku.

Lalu dihadapan para perawat senior ku ini. Seperti dimata mereka aku telah berbuat kesalahan yang besar. Bahkan mungkin juga sangat fatal. Mereka melihat ku bak hendak menerkam ku.

Ya, mungkin aku memang telah berbuat kesalahan. Dengan memeluk dokter Vian di IGD.

"Minta maaf!" Tambah kak David.

Sementara aku masih diam mematung seraya menahan perih di leher. Seolah sebagian dari diriku belum sadar bahwa aku telah membuat kesalahan. Lantas sekali aku melihat dokter Vian yang rupanya tengah berusaha meredam emosi semua perawat senior ku ini.

"Tidak... Tidak perlu minta maaf. Tidak apa" Kata dokter Vian.

"Harus minta maaf, Dokter! Niar sudah keterlaluan. Bisa-bisanya memeluk dokter Vian" Saut kak Nafis dengan ketusnya.

"Minta maaf, Niar! Ayo!" Tambah kak Nilam.

"Sudah ku bilang tidak perlu... Tidak apa" Ucap dokter Vian lagi. Sembari kedua tangannya berusaha meredam emosi keadaan.

"Tidak bisa, Dokter! Dia harus minta maaf! Niar sudah berbuat kesalahan"

"Tidak! Tidak! Niar tidak berbuat salah kok! Tidak apa!"

Lalu aku meraih lengan kiri dokter Vian. Ku lihat dirinya yang masih ingin meredakan emosi perawat di hadapan kami. Kemudian ku katakan pada suamiku ini.

"Maaf, dokter Vian. Maaf karena saya terlalu lancang memeluk dokter Vian. Maaf. Tidak akan saya ulangi lagi!" Kata ku sembari melepas genggaman tangan ini.

"Niar..." Panggilnya.

Aku berlalu. Ku tuju ruang istirahat dengan masih ku tahan perih. Sembari berusaha ku buang jauh emosi.

Salah ku memang. Salah ku karena lupa bahwa dimata perawat senior aku hanya perawat biasa. Sedang dokter Vian adalah seseorang yang amat mereka segani. Harusnya, tadi aku bisa lebih menahan diriku. Bukan malah dengan ringannya datang dan memeluk dokter Vian.

Masih ku rasa gemetar. Berdiri aku di hadapan sebuah kaca. Setelah ku ambil beberapa kapan dan sebuah alkohol. Hendak ku bersihkan sendiri luka menganga ini.

"Agh! Sakit!"

Namun ternyata aku tidak bisa melakukannya sendiri. Jadi... Ku biarkan luka ini terus ternganga dan darahnya mengering. Hingga jam jagaku berakhir.

Hemp!

Waktu berlalu setelah drama tadi. Telah kami pulang ke rumah. Namun masih juga terngiang setiap detail kejadian di IGD tadi. Sungguh, hal itu membuat ku banyak diam dan seolah hendak menutup diriku.

"Niar!" Panggil dokter Vian tiba-tiba.

"Ya?" Jawab ku perlahan.

Lantas dokter Vian mendekati dengan membawa sebuah kotak. Yang rupanya berisi sebuah salep dan plaster putih.

"Duuuu ini lukanya agak dalam. Perih ya" Tambahnya sembari mengambil beberapa kapas rias wajah ku.

"Tidak apa, Dokter. Hanya sakit sedikit" Jawab ku berbohong.

Namun ya tentu saja dokter Vian tidak percaya. Lupa aku bahwa suami ku ini adalah seorang dokter. Yang jauh lebih mengerti seberapa parah luka ku ini.

"Ku bersihkan dulu! Pakai alkohol. Tahan ya" Katanya yang telah siap dengan tumpukan kapas.

Aku mengangguk.

"Ssttt... Sakit" Rintih ku menggoda dokter Vian.

"Belum padahal" Jawabannya sembari tersenyum.

Perlahan-lahan mulai ku rasakan dingin dan perihnya air alkohol ini. Sembari mendesis aku membiarkan dokter Vian membersihkan sebagian darah yang telah mengering. Sembari lagi aku mencengkram kemejanya.

"Harusnya tadi kamu tidak perlu minta maaf. Kamu kan istri ku. Tidak salah kamu memeluk suami mu sendiri" Ucap dokter Vian tiba-tiba.

"Tapi... Dimata mereka saya hanya perawat biasa. Sedang dokter Vian sudah seperti atasan bagi kami. Jadi wajar jika perawat senior menegur saya" Jawab ku.

"Atasan apa sih... Kepala IGD kan Agam. Bukan aku" Jawab dokter Vian sembari mengambil sebuah salep kecil.

Iya sih! Tapi kan tetap tidak sopan kalau ada perawat yang tiba-tiba memeluk dokter di IGD. Ya walau pun aku istri dokter Vian. Haduh!

"Ini salep untuk bayi. Tidak apa ya. Fungsinya sama kok. Nanti biar ku belikan lagi lah"

"Iya..." Jawab ku lirih.

Dokter Vian lantas mengoleskan secuil salep itu di atas luka di leher ku ini. Sekali ia meniup luka ini hingga ku rasakan hembusan napasnya yang melewati tiap celah rambut dan kulit ku. Hingga berdiri bulu kuduk ku. Seketika canggung ku rasa. Terlebih setelah ku sadari wajahnya yang kini begitu dekat dengan ku.

"Besok... Sudah bisa di lepas kan, Dokter" Tanyaku.

"Kenapa? Baru juga di plaster sudah ingin di lepas"

"Besok sebelum berangkat kerja maksud saya" Jawab ku.

"Oh! Iya... Aku saja yang lepas!" Jawabnya sembari bangkit dan berlalu meninggalkan kamar ini.

Huft! Syukurlah. Ku pikir dokter Vian tidak akan mengizinkannya. Lalu bertanya lagi alasan ku ingin plaster ini lekas di buka esok sebelum berangkat kerja. Paham pula sepertinya suami ku ini. Mengapa aku ingin esok plaster putih ini di buka.

Dan benar saja! Keesokan harinya ketika kami tengah bersiap untuk berdinas. Tengah dokter Vian memanaskan mesin mobilnya. Sementara aku masih bersiap dan merapihkan diri. Ingin aku lekas melepas plaster putih ini. Namun aku teringat permintaan dokter Vian kemarin sore. Bahwa dia ingin dia sendiri yang melepas plaster ini dari leher ku.

"Niar, sudah belum? Sudah hampir jam tujuh ini" Tegur dokter Vian dari luar kamar ini.

"Iya sebentar" Jawab ku.

Lekas aku keluar kamar dan menghampiri dokter Vian. Lalu mengingatkannya bahwa plaster ku belum ia lepas.

"Dokter, leher saya!" Kataku.

"Oh iya... Bisa banyak yang salah paham jika tidak di lepas ya. Hemp..." Katanya yang kemudian menyuruh ku duduk di sofa.

Sementara dokter Vian ke dapur. Mengambil semangkuk air. Lalu lekas ia kembali.

"Hemp! Ini lukanya melebihi plesternya. Akan lebih sakit saat melepas plaster. Ditahan ya"

"Iya..." Jawab ku sembari menyingkap rambut ku. Lalu menyerahkan lagi leher ku ini pada suami ku.

Dalam penanganan maksudnya!

"Aduh sakit, Dokter! Pelan-pelan!" Pintaku sembari menahan tangannya.

"Ini sudah pelan... Sudah ku beri air padahal agar tidak terlalu sakit" Jawabnya.

"Tetap sakit! Tangan dokter Vian jangan menekan donk. Sakit lho!" Keluh ku lagi.

"Kalau tidak menekan bagaimana bisa? Pakai satu tangan! Makin kesakitan diri mu" Jawab dokter Vian sembari melanjutkan.

"Aduh! Aduh! Aduh! Sakit, Dokter!" Lagi aku mengeluh manja.

"Tahan dulu donk sakitnya! Hanya sebentar kok. Sedikit lagi ini"

Terus seperti itu hingga kami merasa kalimat-kalimat kami mengarah pada makna yang berbeda.

"Aw! Aduh! Agh! Agh! Aduh! Huuuu!" Rengek ku.

"Jangan begitu donk. Nanti aku bisa berfantasi ini. Kau pakai baju dinas perawat mu lagi"

"Tapi sungguh sakit, Dokter"

"Ya tahan! Namanya juga baru terluka mana ada yang enak. Tahan dulu lah"

"Pelan-pelan! Sakit!" Pinta dan rengek ku lagi.

"Iya pelan-pelan ini. Tahan dulu. Ya! Sedikit lagi kok! Sabar! Sedikit lagi! Tahan!"

"Pelan-pelan, Dokter!" Tambah ku lagi.

"Iya aku pelan-pelan! Tahan ya! Tahan! Yak! Agh!"

Siguiente capítulo