Karina menatap Gadis, ia tau bahwa Gadis pasti akan menanyakan tentang alasan mengapa Faizal berhenti bekerja untuk Hans. Padahal posisi Faizal sebagai tangan kanan Hans sudah sangat baik.
"Apa ada hubungannya dengan kehamilan Sevia? Jangan katakan bahwa justru ayah yang menghamili Sevia."
"Jangan bicara sembarangan, Gadis. Tidak baik, ayahmu tidak bersalah dalam masalah ini. Meskipun ayahmu memiliki dua istri, dia bukan lelaki hidung belang. Bukan dia pelakunya. Jika memang kau ingin membantu keluarga om Faizal. Kau boleh membantunya, tapi ingat jangan beritahu hal ini pada ayahmu. Om Faizal selama ini sudah menghindar karena tidak mau berurusan dengan ibu tirimu."
"Baiklah, bu. Aku tadi memberi mereka uang. Semoga saja bisa cukup dan bisa membantu biaya pengobatan Sevia. Kasian dia, Bu. Dia hanya terpaut dua tahun denganku. Dan, aku ingat kami dulu sering bermain bersama."
"Iya, kalian dulu sering bermain bersama. Jadi, apa rencanamu?"
Gadis menghela napas panjang, melihat keadaan Sevia tadi benar-benar membuatnya sedih.
"Bu, bagaimana jika kita membawanya ke psikiater? Akan lebih baik jika dia diperiksa oleh ahli kejiwaan. Dia tidak gila, Bu. Karena, menurut tante Sarina terkadang Sevia tetap bicara dan ngobrol seperti biasa. Tapi, terkadang jika kumat, ia sering membenturkan kepalanya ke dinding."
"Usulmu bagus juga, tapi biaya untuk membayar seorang psikiater itu tidaklah murah, Nak. Bagaimana untuk biayanya?" tanya Karina.
"Bu, Mas Biru memberi aku uang belanja yang tidak sedikit. Bahkan sangat banyak jumlahnya. Aku rasa bisa untuk membantu keluarga Om Faizal. Nanti, aku akan bicara juga dengan mas Biru."
"Betul, Nak. Kau harus meminta izin pada suamimu. Sekecil apapun kau harus jujur kepadanya. Jadi, kau tidak boleh menutup-nutupi soal apapun. Termasuk soal keuangan. Suamimu berhak tau kau memakai uangnya untuk apa saja."
Gadis mendengarkan nasihat ibunya sambil tersenyum.
"Baik, Bu. Aku mendengarkan nasihat Ibu. Aku akan selalu jujur dan terbuka kepada Mas Biru."
"Ya sudah, kau beristirahatlah sana. Masih ada waktu sebelum kau mandi sore dan menyambut suamimu pulang. Ingat, kau harus tampil cantik supaya dia merasa senang saat kau menyambutnya pulang."
"Iya, Bu."
Gadis pun segera beranjak ke kamarnya. Ia mencubit pipinya perlahan, terasa sakit. Rasanya seperti mimpi bisa memiliki suami yang baik dan tampan seperti Xabiru. Tapi, yang paling membuatnya puas adalah ia bisa melihat kekecewaan di mata Melinda.
"Ini baru pembalasan yang pertama. Masih ada yang lain lagi kelak. Tunggu saja, kau akan membayar setiap tetesan air mata ibuku," gumam Gadis perlahan.
**
Mayleen menatap pemuda di hadapannya dengan rasa geli. Bagaimana tidak, entah dari mana Mahendra bisa mengetahui di mana kampusnya. Bahkan yang lebih lucu, pemuda itu memberinya selembar kertas yang berisi bio datanya dengan lengkap.
"Kau bisa tau dari mana?" tanya Mayleen.
"Dari seseorang dengan bantuan sedikit uang."
"Ah, jadi kau memanfaatkan uangmu."
"Kau tidak pernah bilang tidak boleh. Jadi, ya aku lakukan saja. Maaf, kalau itu membuatmu kecewa. Tapi, sungguh aku sangat ingin menjadi kekasihmu," kata Mahendra dengan tatapan mata penuh permohonan.
Entah mengapa melihat pemuda itu memohon, hati Mayleen menjadi sedikit iba. Sebenarnya, sejak awal ia sudah tertarik pada Mahendra. Hanya saja mengetahui apa yang terjadi kepada sahabatnya itu membuatnya sedikit tidak respek pada keluarga pemuda itu. Tapi, melihatnya kini memohon, hati Mayleen menjadi tidak tega
"Sudahlah, tidak usah menatapku begitu. Kalau kau memang ingin menjadi kekasihku, buktikan saja kesungguhanmu padaku."
"Aku akan datang melamarmu sebagai bukti bahwa aku benar-benar mencintaimu."
"Berani?"
"Tentu saja, aku siap untuk datang ke rumahmu dan melamarmu."
"Tunggu sampai aku menyelesaikan kuliahku. Baru kau datang untuk melamar diriku."
"Hah! Maksudmu, kau mau menerima aku sebagai kekasihmu?" tanya Mahendra. Mayleen tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan.
"Iya, aku mau menjadi kekasihmu. Tapi, dengan satu syarat kau harus bersikap adil pada adik-adikmu. Jangan berat sebelah dan jangan pilih kasih. Bukankah Gadis itu juga adalah adikmu."
"Iya, aku akan berusaha untuk adil mulai sekarang."
Mayleen tersenyum bahagia. Walau bagaimana, Gadis adalah sahabatnya yang terbaik. Ia tidak mau melihat sahabat dan kekasihnya bertengkar. Ia tau Mahendra tidak jahat. Hanya saja, nuraninya perlu sedikit diasah agar bisa lebih peka.
"Aku ingin mengajakmu untuk berkenalan dengan Ibuku,kau mau?" tanya Mahendra.
"Sekarang?"
"Tentu saja sekarang."
Mayleen berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang, ya."
Sesampai di rumah, Melinda tampak sedang duduk di ruang keluarga sambil menikmati teh dan beberapa kue-kue. Ia langsung menautkan alis matanya saat melihat kedatangan Mahendra bersama seorang gadis.
"Hen, kau sudah pulang? Biasanya kau baru sampai di rumah malam hari."
"Hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan di kantor. Oya, Bu, kenalkan ini Mayleen," kata Mahendra.
Melinda bangkit berdiri, ia tidak langsung menerima uluran tangan dari Mayleen. Tapi, menatap dan mencoba untuk menilai seberapa pantas gadis yang sedang berdiri di hadapannya sekarang untuk putrinya.
"Masih kuliah?" tanya Melinda pada akhirnya sambil menyambut uluran tangan Mayleen.
"Sedang skripsi, Tante."
"Ayo silakan duduk."
Mayleen tersenyum dan duduk di sofa dengan sopan. Ia tau bahwa saat ini Melinda tentu sedang menilai penampilannya dan sebentar lagi pasti bertanya seputar keluarganya.
"Di mana papamu bekerja?" tanya Melinda.
"Papa seorang dokter gigi dan membuka praktek di rumah, Tante. Mama saya hanya seorang guru sekolah dasar."
"Kamu sendiri, kuliah mengambil jurusan apa?"
"Saya mengambil psikologi, Tante."
"Jadi, kalian berhubungan untuk serius, atau hanya sekadar main-main?" tanya Melinda.
"Serius lah, Bu. Ibu ini aneh sekali pertanyaannya," kata Mahendra.
Melinda mengendikkan bahunya.
Saat mereka sedang berbincang-bincang, Tania masuk bersama beberapa orang teman wanitanya.
"Bu, aku ke atas bersama teman-temanku, ya. Nanti kami akan ke rumah Meike untuk belajar bersama," kata Tania.
"Kenapa tidak di sini saja? Ayahmu sejak kemarin sudah marah-marah karena kau pulang malam terus," kata Melinda.
"Ah, teman-temanku segan pada Ayah. Di rumah Meike saja. Eh, ada tamu ini pasti pacarnya Mas Hendra."
Tania langsung menghampiri Mayleen dan langsung mengulurkan tangannya.
"Hai, aku Tania. Aku adiknya Mas Hendra."
"Namaku Mayleen," ujar Mayleen sambil menyambut uluran tangan Tania.
"Hati-hati ya, kakakku itu tidak pernah tahan lama dengan satu wanita. Tapi, semoga saja kau bisa menjadi wanita terakhir untuknya," cicit Tania.
"Hei, bicara apa kau ini? Sudah sana, jangan mengganggu," kata Mahendra dengan kesal.
Tania hanya tertawa dan langsung berlalu ke kamarnya.
Mayleen hanya tersenyum, namun ucapan Tania tentang Mahendra tadi sedikit mengganggu pikirannya.