"Dara, kau nanti ke hotel tempat Gadis menginap dan antarkan ini kepada Gadis. Katakan ini dari ayah sebagai kado untuk kado pernikahannya nanti," kata Hans.
"Biar aku saja yang mengantarkan ke hotel, sekalian aku meminta maaf," kata Melinda.
Hans memicingkan matanya, ia sebenarnya sudah mulai tidak mempercayai istri keduanya ini. Tapi, apa salahnya jika memberikan Melinda kesempatan.
"Kau yakin akan ke sana untuk mengantarkan kado ini?"
"Tentu saja, Mas. Aku akan pergi ke sana dan mengantarkan kado pemberian darimu ini."
"Ya sudah, kalau begitu aku ke kantor dulu."
"Jangan lupa, Mas nanti malam kita ada tamu."
Hans mengerutkan dahinya, "Tamu?"
"Apa kau lupa bahwa malam ini aku sudah mengundang keluarga Nak Jerry untuk makan malam bersama?"
"Jerry, ah ya aku baru ingat. Aku tidak akan pulang terlalu sore kalau begitu. Kau ingatkan saja aku jika aku belum pulang jam 5 sore nanti."
"Baiklah, Mas."
**
Gadis menautkan alisnya saat dia melihat siapa yang datang.
"Anda mau apa datang kemari?" tanyanya sinis.
"Oh, jadi begini yang diajarkan oleh ibumu? Aneh sekali Xabiru bisa tertarik gadis barbar sepertimu dibandingkan dengan anakku Dara."
"Jika anda kemari hanya ingin membuat keributan lebih baik anda pulang saja. Aku dan ibu tidak mau membuang tenaga untuk bertengkar denganmu."
Mendengar ada keributan, Kirana yang sedang berbaring di ranjang sambil menonton televisi bergegas menghampiri.
"Ada apa ini? Oh, kau rupanya Melinda. Ada apa? Ayo masuk," kata Kirana.
"Enak ya, yang sebentar lagi memiliki menantu kaya raya. Tapi, tunggu saja Dara sebentar lagi pun akan aku jodohkan dengan pengusaha yang kaya raya juga tidak kalah dengan Xabiru. Hah, sudahlah, tidak penting juga aku di sini lama-lama. Aku hanya ingin menyerahkan ini," kata Melinda sambil melemparkan kotak berisi perhiasan itu kepada Gadis.
"Apa anda bisa sopan? Anda mengatakan bahwa anda adalah orang terhormat, lalu apakah begini cara orang terhormat memberi barang? Keterlaluan sekali!"
"Karena kalian pantas menerima dengan cara seperti itu!" seru Melinda sambil melangkah pergi.
Emosi Gadis tersulut seketika. Dengan cepat ia memungut kotak yang dilemparkan oleh Melinda tadi. Dan memasukkan kembali isinya.
"Apa maksudnya ini? Kalau mau memberi ya berikan, kalau tidak ya tidak. Aku akan mengembalikan ini pada Ayah."
"Jangan mencari keributan, Gadis," kata Kirana.
"Siapa yang mecari keributan? Dan mengapa pintu terbuka? Apa Tante Melinda dari sini dan membuat keributan?"
Gadis dan Kirana menoleh dan mendapati Xabiru sedang berdiri sambi mengerutkan dahinya.
"Mas bertemu dengannya? Maksudku Tante Melinda?" tanya Gadis.
"Tadi aku berpapasan dengannya, tapi dia membuang muka dan langsung pergi begitu saja. Ada apa?"
"Tante Melinda datang dan memberikan ini kepadaku. Tapi, aku tidak bisa menerimanya jika dia memberikan dengan cara dilemparkan seperti tadi. Aku akan mengembalikan ini kepada ayah, sekarang."
"Tidak bisakah jika nanti, sayang?" tanya Xabiru.
"Tidak, Mas. Lebih cepat akan lebih baik. Aku tidak mau menerima pemberian yang diberikan dengan cara yang menghina."
Xabiru menghela napas panjang, perlahan ia mengelus rambut Gadis.
"Baiklah, jika kau bersikeras aku akan mengantarkanmu ke kantor ayahmu."
"Aku ganti pakaian dulu kalau begitu," kata Gadis.
Kirana menatap punggung anak gadisnya yang berjalan ke kamar mandi.
"Tolong jaga Gadis, Nak Biru. Dia dan ayahnya tidak pernah akur. Mereka sama-sama keras kepala. Ibu takut Hans akan kembali khilaf lalu memukul Gadia."
"Ibu tenang saja, saya akan menjaganya dengan baik. Tadinya saya akan mengajak Gadis untuk fitting baju pengantin, tapi tidak apa saya akan mengantarkannya ke kantor Pak Hans dulu. Supaya hatinya lebih tenang."
"Terima kasih, Nak."
Tak berapa lama Gadis pun siap dan mereka pun langsung berangkat.
"Sayang, setelah ini kita akan fiiting baju pengantinmu, ya. Kau mau kan?"
"Iya, Mas."
Saat melihat kedatangan Xabiru, sekretaris Hans segera mengetuk ruangan Hans dan langsung mempersilahkan mereka masuk. Hans rupanya sedang mengerjakan bebrapa laporan. Dan saat melihat kedatangan anak dan calon menantunya itu, dia langsung tersenyum ramah.
"Gadis, Nak Biru. Kalian dari mana?" sapanya.
"Aku mau mengembalikan ini, ayah," kata Gadis tanpa basa basi meletakkan kotak perhiasan di atas meja kerja Hans.
Seketika dahi Hans berkerut saat melihat kotak perhiasan yang tadi pagi ia serahkan kepada Melinda.
"Ini apa?"
"Bukankah ayah yang menyuruh Tante Melinda untuk menghina aku dan ibu dengan cara melempar perhiasan ini kepada kami? Belum cukupkah ayah membuat kami menderita? Masih juga ingin menghina kami?"
"Apa maksudmu?! Aku memang sengaja membelikan perhiasan ini sebagai hadiah. Aku berharap kau memakainya di pesta pernikahanmu lusa nanti."
"Tidak perlu ayah, jika ayah memang tidak ikhlas."
"Semakin lama mulutmu ini semakin kurang ajar! Kemari kau, biar aku pukul sekalian!" seru Hans.
"Tempo hari, ayah menyiksaku karena meminta uang, sekarang kau mau memukuliku karena aku mengembalikan barang yang dibeli dari uangmu? Maumu sebenarnya apa?! Kalau mau memberi ya memberi, tidak perlu memukul atau melemparkan barang ke mukaku!"
Tangan Hans hampir saja melayang mengenai pipi Gadis. Namun, dengan sigap Xabiru langsung menahannya.
"Maaf, Pak. Gadis memang putri anda. Tapi, dia adalah tunangan saya dan calon istri saya. Saya tidak akan membiarkan Gadis disakitai."
Hans menatap tajam pada Xabiru yang juga menatapnya dengan tajam. Perlahan ia pun menurunkan tangannya dan menarik napasnya dengan berat.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya.
"Tante Melinda datang dan menghinaku kemudian dia melemparkan ini ke arahku. Katanya kau yang meminta. Jadi maaf jika aku harus mengembalikan ini padamu, ayah. Mungkin, hadiah ini tidak pantas untukku. Hanya saja tolong katakan padanya, bahwa aku tidak pernah mengemis padamu. Ayo, Mas kita pergi."
Gadis menatap Xabiru meminta untuk segera membawanya pergi dari ruangan Hans. Xabiru pun menurut dan merangkul Gadis keluar dari ruangan kerja Xabiru. Air mata Gadis sudah menetes deras. Ia benar-benar terluka.
"Sejak dulu, ayah selalu lebih perhatian kepada putri dan anaknya yang lain. Mereka selalu mendapatkan tempat istimewa di hati Ayah. Yang terbaik selalu untuk mereka. Sementara aku?" keluh Gadis saat mereka sudah berada di mobil Xabiru.
Xabiru menatap calon istrinya itu kemudian mengusap air mata Gadis perlahan.
"Aku yang akan memberi segala yang terbaik untukmu. Aku janji tidak akan pernah membiarkan dirimu menangis lagi."
"Sungguh?"
"Sungguh. Sekarang, tolong tersenyum dan hapus air matamu ya. Kita akan fitting baju pengantin untukmu. Jadi, tidak lucu jika calon pengantin terlihat muram apa lagi sambil meneteskan air mata," kata Xabiru sambil mencubit hidung mancung Gadis dengan lembut.