webnovel

Cerita Siji (II)

"Bukan seperti itu, Papa. Ketika papa menanyakan tentang kejadian malam itu, tiba-tiba terlintas begitu saja suara jeritan-jeritan kami saat berada di tempat aneh yang sangat gelap dan pengap. Bahkan, di bawah kami adalah genangan air."

"Ada apa memangnya kok sampai kalian berteriak? Kalian mau paduan suara gitu, biar menjadi artis drama musikal, begitu?"

Ucapan Tuan Yudha kali ini setengah menggoda Siji, yang sepertinya mulai terobsesi menjadi artis. Sama halnya dengan putra kedua Tuan Yudha.

Tuan Yudha bahkan masih menertawakan anaknya yang belum berhenti menangis. Meski tak bersuara, tapi air mata Siji terus menetes sejak tadi. Membuat hidung Siji memerah dan matanya sedikit sembap.

"Kami menjerit ketakutan karena tidak bisa keluar dari sana, Papa. Tempat itu aneh dan ada beberapa mekanisme rumit. Kami rasanya mau mati saking putus asanya saat itu.."

"Jangan bertele-tele kalau bercerita, Abang! Langsung ke intinya saja."

"Mungkin ini memang garis takdir kami yang memang harus berada di tempat itu, Pa. Kami tidak tahu sebau, tapi seolah ada yang menuntun kami untuk meng-eksplor tempat kuno itu untuk mencari sesuatu. Jadi, Abang sangat menyesal karena Yuji sampai terluka parah karena Abang tidak bisa melindungi Adek sendiri."

Siji kembali tertunduk sedih. Ia seperti merasa tidak sanggup melanjutkan ceritanya.

"Apa yang sebenarnya ingin kau ceritakan, Abang? Kok dari tadi mengucapkan kalimat aneh!"

"Jadi ... begini ceritanya, Pa!"

[ Flashback_ on ]

Siji terlihat tidur telungkup di lantai. Entah apa yang dilakukan saudaranya itu, Yuji tidak tahu.

Siji hanya menatap Yuji yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya. Ia tak berani berkata, ia takut Yuji akan menertawakannya.

"Kenapa dengan elo huh? Kenapa elo tengkurap di situ? Cepetan bangun, Ogeb!" bentak Yuji, seperti biasanya.

Siji perlahan mengangkat tubuhnya, tanpa dapat menyembunyikan sesuatu lagi dari Yuji.

Yuji yang melihat posisi Siji dengan tangan kanan yang masuk seluruhnya ke dalam lantai, langsung tertawa kejam.

"Wahaha ... apa yang terjadi, hah? Kenapa tangan elo bisa masuk ke dalam lantai situ, Sithok?"

"Berhenti ketawa, Ogeb! Sekarang bantuin gua menarik tangan gua yang tersangkut ini!" pinta Siji, memelas.

Sebelumnya, Siji berhasil membuat celah menjadi lebih besar. Namun, karena kecerobohannya, ia malah menjatuhkan ponselnya ke celah. Siji refleks memasukkan tangannya ke celah saat ponselnya jatuh, tapi naas lengannya malah tersangkut karena celah yang ia gali itu tak cukup besar.

Yuji masih tertawa kejam melihat posisi Siji yang tengkurap dengan lengan kanan yang masuk ke lantai seluruhnya.

"Gue beri saran gratis buat elo ya, Sithok. Sebaiknya, elo segera menarik tangan elo itu sebelum lengan lo dimakan serangga di bawah sana dan meninggalkan lubang yang banyak banget," ucap Yuji, santai. Jangan lupakan seraingaian seksi dari bibirnya yang sempit tapi agak tebal, yang terkesan sensual itu.

Yuji seperti sangat senang sekali jika melihat kakak kembarnya itu menderita. Penderitan Siji adalah kebahagiaan tersendiri bagi Yuji. Entah kenapa bisa seperti itu.

"Sialan! Mana ada serangga seperti itu, hah? Elu kira kita sedang di film-film horror. Jangan nakut-nakutin deh, Yu! Mending elu bantuin gua narik lengan gue ini!" sungut Siji. Bibirnya sudah mencebik, tapi tidak seksi. Soalnya yang seksi itu tetap hanya Yuji, Reiji dan Om Yudha bagi sebagian banyak orang.

"Tentu aja ada serangga semacam itu, Sithok! Elo aja yang maennya kurang jauh! Misalnya linta, serangga pemakan daging, kumbang mayat atau sejenisnya. Gua ada nih cerita yang sama dengan keadaan elo sekarang, Sithok.

"Jadi, temennya sepupu adik ipar pamannya teman klub breakdance gue itu dulunya pernah terjebak di rawa, dan saat mereka menariknya keluar rawa, kakinya berlubang karena digigit serangga tahu, Sithok." Yuji bercerita untuk membuat Siji semakin ketakutan.

"Kalau elu bercerita kayak gitu untuk membuat gua takut, selamat elu telah berhasil, Yuyu Kangkang! Tapi ... sekarang cepet bantu gua menariknya, Yuyu!!"

"Mapuluh ribu dulu!" ucap Yuji sambil mengacungkan kelima jarinya.

"Ya Gusti, pamrih-an amat sih elu, Yu! 'Kan elu juga tahu kalau gua lagi melarat. Gua nggak dijatah jajan bulan ini sama papa. Gua aja masih punya utang sama elu. Kok tega sih meres orang yang udah jelas-jelas kere kek gua ini?" Siji berucap sambil meratapi nasibnya yang malang sejak dia debut.

Siguiente capítulo