webnovel

Bab 2. Keluarga Ridho Datang.

Tepat habis Isya, keluarga Ridho datang. Orang tua Ridho juga dua orang lagi entah siapa mungkin saudara Orang tua Ridho. Mendengar gelak tawa mereka aku ke kamar, termenung di depan cermin. Sesak hati ku tapi aku harus tegar, andai Laki- laki yang datang adalah Roger. Alangkah bahagia hati ini. Ibu memanggil ku agar ikut bergabung.

Ayah menyambut hangat orang tua Ridho, sahabat yang lama tak bertemu.

"Selamat malam calon besan," sapa Ayah. Ku lihat raut bahagia terlihat dari wajah Ayah. Juga Ibu ku, cipika- cipiki saat Ibunya Ridho datang. Tinggal aku sendiri yang merasa orang paling sedih di dunia ini.

Aku menatap laki-laki itu, wajahnya datar tak ada senyum di bibirnya. Apa dia seperti aku yang merasakan bahagia dengan perjodohan ini? Jelas lah perasaannya sama seperti ku. Kami adalah korban dari pertemanan orang tua.

Aku duduk di samping Ibuku, Melirik sekilas lelaki yang akan menjadi calon imam ku. Tapi dia hanya melirik ku sekilas lalu memperhatikan Ayah dan Ibu saling berbincang. Semua perbincangan tak ada yang menarik di hatiku. Pikiranku hanya pada Roger. Kekasih ku yang sudah ku pacari selama Lima tahun ini.

"Jadi bulan depan akad nikahnya? Tanya Ibu ku antusias.

"Iya," Kata Ibu Ridho semangat.

Deg.

Aku terhenyak mendengar perbincangan mereka. Bulan depan menikah, woow aku tak Terima ini? Ingin rasanya menangis di pojokan. Sebentar lagi aku menjadi Nyonya Ridho?

Di Bandara.

Aku menunggu kedatangan Rania. Tapi hingga pesawat hendak berangkat tak ada tanda-tanda Rania datang. Luruh hati ku, sesak rasanya dada ini ketika tak menjadi pilihan hati wanita yang ku cintai. Mencoba menghubungi Rania tapi tak di angkat. Sedih, terasa Kekasihnya tak mau ikut, terpaksa harus ke Paris sendiri. Tanpa ada Rania belahan jiwaku.

"Sudahlah mungkin Rania mau di jodohkan! semoga dia bahagia," Batin ku. Aku beranjak untuk chek in, ikut mengantri sambil menarik koper, langkah demi langkah berharap Rania memanggil nama ku. tanpa Rania di sisiku berat aku melangkah, tapi aku sudah kontrak dengan pemotretan model di Paris selama lima tahun. Aku masuk ke Pesawat, duduk sesuai nomer tiket.

Aku menghela napas pelan, pandangi lalu lalang orang duduk di kursinya. Berharap Rania datang tersenyum kemudian memelukku sambil bergelayut manja di lengan, tapi semua itu hanya mimpi di siang bolong.

Pramugari memperagakan alat keselamatan. Serasa nyanyian pes- pes an kosong bagiku. Hampa, sepi sunyi tak ada tawa Rania di sisi.

Perlahan pesawat mengudara di langit. Aku memandangi Bandara yang mulai terlihat mengecil. Kenangan bersama Rania, akan terus hidup dalam ingatan ku.

Pesawat transit sebentar di hongkong, lalu melanjutkan ke Paris. Tak lama kemudian pesawat mendarat mulus di Bandara. Orang-orang turun, mereka ke tujuannya masing-masing. aku juga turun dari pesawat. Tak semangat menjejakan kaki di Bandara.

Orang dari agen pemotretan melambaikan tangan, ia sudah menunggu di Bandara.

"Halo mister, sudah lama menunggu?"

"Ya lumayan tuan Roger, silakan ikut saya,"

Aku bersama Agen melaju ke Hotel tempat penginapan kami. Hari ini Aku tidur di hotel, tapi pikiran ku terus saja memikirkan Rania. Ku pejamkan mata agar wajah Rania bisa hilang dari kepalaku. Besok adalah proyek pemotretan pertama ku. Aku di kontrak agen majalah model, aku harus memotret para model yang mengadakan show di atas panggung.

****

Di Rumah Rania.

Seusai menentukan tanggal Akad nikah Aku dan Ridho di suruh jalan- jalan keluar rumah untuk pengenalan. Merasa canggung duduk di samping orang yang belum kenal. Sekilas melirik wajahnya, tampan sih. Tapi dingin. Membuatku tak nyaman di sisinya. Kenapa aku harus memperhatikan dia ya?

"Kita mau kemana Rania? tanya Ridho.

"Terserah, aku ngikut aja," Jawab ku entheng. Karena aku tak mau berdebat. Malas rasanya. Ridho langsung menghentikan mobilnya. Shiitt! Kepalaku hampir kejedot dasbor mobil.

Dia melirik ku tajam. Aku membuang muka, tak suka dengan ekspresi wajahnya. Dingin juga menyebalkan.

"Bisa nggak? Yang jelas gitu kita mau kemana? Aku nyetir capek tau!"

Bagai tersengat lebah, aku langsung terdiam mendengar suara keras Ridho.

Menahan jantung ku. Mata terpejam, Ayah ini kah yang ingin kau jadi kan suami ku? Belum apa- apa dia sudah membentak ku! Jerit suara hati ku.

"Maaf," Ucap Ridho singkat.

Aku tak menjawab. Ingatan tentang Roger melintas di kepala. Dia yang selalu lembut dan perhatian.

"Rania, maafkan aku. Kita mau makan di mana? Aku laper."

"Restoran padang aja." Jawab ku sayang singkat. Aku masih sebal dengan bentakannya tadi.

"Baiklah," Ridho kemudian melakukan mobilnya mencari Restoran padang. Ada Restoran padang yang tempat parkirannya penuh. Ia membelokan mobilnya.

"Kita makan di sini ya?"

Aku mengangguk. Kami berdua turun. Lalu memesan makanan. Emosi sedikit reda. Tapi ku lihat dia memegang ponsel sambil senyum- senyum. Aku ingin menanyakannya.

"Mas Ridho? Panggil ku.

"Ada apa?" Tanya Ridho lembut.

"Mas Ridho punya pacar?"

Lelaki di depan ku terdiam, lalu beberapa detik kemudian menganguk.

"Iya, namanya Arini. Dia masih kuliah semester akhir. Sejak pertama aku tak boleh pacaran dengan siapa pun karena akan di jodohkan dengan diri mu, tapi aku mencintainya."

"Apa kamu juga punya pacar?" tanya Ridho balik.

"Iya, dia seorang fotografer. Tapi Ayah dan Ibu tak setuju," Ucap ku menundukkan kepala, sedih saat tak bisa memiliki orang yang kita cintai.

Kami diam dalam pikiran masing-masing. Pernikahan apa yang harus kita jalani tanpa ada cinta di antara kami?

Pesanan kami datang, tapi tak bisa menikmati hidangan di depannya. semakin tak selera makan walau lauknya enak- enak. Pikiran ku menerawang nasib pernikahan kami nanti? Kami adalah korban takdir dan persahabatan orang tua.

Selesai makan, kami pulang

Di mobil kami menyelami pikiran sendiri- sendiri. Tak terasa sudah di depan rumah ku. Ridho tak mau turun ia hanya mengucapkan salam untuk kedua orang tua ku.

Aku masuk ke dalam. Ibu menyambut ku hangat. Sangat kentara gurat kebahagiaan di wajahnya.

"Gimana jalan- jalannya sama Nak Ridho? Senang kan? Ridho itu laki- laki yang baik. Kamu pasti bahagia hidup sama dia,"

"Semoga aja Bu, aku ke kamar dulu," Pamit ku pada Ibu.

Aku segera melangkah dan naik atas. Ke kamar, Mengunci kamar dari dalam.

Merebahkan diri, ingatan tentang Roger kembali melintas di pikiran ku. Aku ingin menyusul laki- laki yang ku cintai. Tapi tak tega menghancurkan persahabatan Ayah. Membayangkan tanpa cinta dalam pernikahan, tak terasa air mata ku menetes. Aku mau menjalani pernikahan ini demi Ayah.

Bersambung.

Siguiente capítulo