webnovel

STEVI

Sementara itu. Di tempat terpisah. Stevi, pramugari yang sempat satu pesawat dengan Sky dan Leo sekarang kondisinya sudah membaik.

Stevi sedang duduk di tempat tidur rumah sakit yang ada di pusat kota New York.

"Halo. Bagaimana kabarmu?" Stella datang untuk menjengung.

Stella bukanlah orang terdekat dengan Stevi, tetap Stella adalah salah satu penumpang pesawat yang Stevi tumpangi.

Stella memang sering datang ke rumah sakit ini hanya untuk menjengung Stevi dan membawakannya beberapa menu makanan.

"Apa kau sudah diperbolehkan untuk pulang?" tanya Stella.

Stevi pun menjawab, "Ya. Aku sudah diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit ini."

"Oh, aku turut ikut senang. Semoga setelah ini kita tidak lagi menemukan hal-hal buruk yang menimpa diri kita," doanya.

Baik Stevi dan Stella sama-sama masih menyimpan trauma atas insiden yang terjadi di dalam pesawat beberapa hari yang lalu.

Penerbangan waktu itu sungguh membuat Stevi menjadi depresi. Bukan tidak mungkin dirinya harus menjadi saksi kunci dari kasus pembunuhan seorang pria yang terjadi di dalam pesawat.

Sedangkan Stella dalam hal ini hanya seorang yang harus terlibat dalam kasus yang tidak pernah dirinya lakukan.

"Jadi kasus pembunuhan itu sudah ditutup," kata Stevi ingin tahu.

"Menurut kabar yang kudengar memang seperti itu. Aku sendiri tidak bisa memastikan kenapa kasus ini ditutup, tetapi menurut kabar pria itu dibebaskan dengan jaminan yang besar," beber Stella.

Pembahasan kedua tentu mengarah kepada kasus Leo beberapa hari yang lalu.

Stevi dan Stella satu pesawat dengan Leo dan Sky. Stevi melihat Leo keluar dari dalam kamar kecil yang ada di pesawat. Dan saat itu juga penumpang yang ada di dalam kamar mandi ditemukan dengan kondisi meninggal.

"Hei, kau tahu tidak jika pria yang menjadi pelaku pembunuhan itu adalah Leo Sukma Atmaja," kata Stella menebak.

"Siapa dia, Leo Sukma Atmaja? Sebelumnya aku tidak pernah mengenal namanya itu?" ujar Stevi bertanya-tanya.

"Lihat ini! Baca artikel ini. Dia bahkan sangat terkenal di 100 negara."

Stella sangat antusias untuk menunjukan rupa menawan Leo kepada Stevi. Dia menyerahkan ponselnya kepada pramugari tersebut.

"Sungguh? Jadi dia pria yang sangat terkenal. Tapi mengapa aku tidak mengenal namanya itu?" ujar Stevi lugu.

"Kau lihat saja dulu artikelnya. Nanti kau juga akan tahu," desak Stella.

Stevi pun mengikuti kemauan Stella tersebut. Dibaca artikel itu dan ya, foto yang terpangpang di artikel itu pria yang sama, dengan pemuda yang ada di pesawat tempo hari.

"Ya, kau benar. Ini memang dia. Tapi, bagaimana kamu mengetahui jika pemuda itu adalah Leo Sukma Atmaja?" tanya Stevi semakin penasaran.

"Itu mudah saja." Stevi mengambil ponselnya kembali dan melanjutkan ceritanya.

"Aku pergi ke kantor polisi untuk melakukan pemeriksaan. Ketika berada di kantor polisi aku bertanya kepada salah satu petugasnya," kata Stevi menerangkan.

"Aku bertanya siapa pemuda itu. Lalu, petugasnya menjawab …."

"Dia adalah Leo Sukma Atmaja. Pria yang kau anggap sebagai pembunuh itu adalah seorang anggota mafia terkenal di 100 negara," kata Stella yang mengulang perkataan petugas polisi.

Stevi baru mengetahui jika pria yang dituduh sebagai pembunuh adalah seorang mafia terkenal. Bahkan namanya sampai terkenal di 100 negara.

"Oh, kepalaku. Katakan jika ini bukanlah sungguhan. Aku pasti sedang membual 'kan?"

"Aku tidak sedang membual, Stevi. Aku tidak mungkin berbohong. Pemuda itu memang seorang mafia. Aku bahkan melihat dia mengendarai mobil mewah setelah keluar dari kantor polisi," ujar Stella.

Stella menambahkan bahwa Leo bukanlah sembang orang. Mobil saat menjemputnya dari kantor polisi saja sangat mewah.

Jika dia bukan anggota organisasi, tidak mungkin orang biasa memiliki mobil mewah seperti itu? Jelas Stella.

Stevi semakin panas dingin, "Aku yakin setelah ini dia akan memburuku, Stella. Aku sangat takut. Pemuda itu pasti akan mencariku dan membunuhku," katanya cemas.

"Astaga, mengapa mengapa saat itu aku tidak mengetahui jika dia seorang anggota mafia? Jika seperti ini nyawaku dalam bahaya, Stella," sambungnya.

Stevi menekuk tubuhnya. Dia memeluk kedua kakinya seraya meracau, "Ini tidak mungkin. Jika dia tiba-tiba datang dan ingin balas dendam kepadaku bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Perlindungan apa bisa membuat diriku bebas darinya?"

Stella bingung, heran dan tidak tahu harus berkata apa. Logikanya, Leo mungkin akan balas dendam, tetapi apa itu mungkin?

"Stevi. Tenang, Stevi. Tenangkan dirimu, Stevi." Stella mendekatkan dirinya. 

Dia melihat dengan jelas ketakutan yang dirasakan oleh Stevi, "Tenangkan dirimu, Stevi," peluknya.

Stella mencoba menenangkan temannya tersebut. Semula mereka tidak saling mengenal, tetapi dari pertemuan di pesawat itu membuat keduanya semakin akrab.

Stella adalah mahasiswa di salah satu Univerisitas New York. Stella sudah hampir satu tahun lebih menetap di New York. Hanya setiap libur kuliah saja Stella pulamg ke Indonesia.

 Sedangkan Stevi. Dia hanya seorang pramugari dari salah satu maskapai yang ada di Indonesia. Dia sering mendatangi negara-negara sebab itu adalah pekerjaannya. Dan sekarang dirinya harus tertahan untuk beberapa hari di New York.

****

Hari berikutnya. Stevi pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Stella datang untuk menjemput teman barunya itu. Sebab di New York, Stevi tidak memiliki sanak saudar atau kenalan di sana. Hanya Stella yang dikenalnya saat ini.

"Ayo! Kau bisa tinggal sementara di tempatku, tetapi maaf jika tempatku itu tidak luas," kata Stevi.

"Itu tidaklah masalah untukku. Bagiku mau rumah tetaplah rumah. Biarpun kecil atau besar itu sama sekali tidak ada bedanya bagiku," balas Stevi ringan.

Dia yang sudah hidup jauh dari keluarga, dan sudah lama juga tidak pulang ke rumah membuat Stevi merasa nyaman-nyaman saja. 

Dirinya bukan tipe wanita yang banyak maunya. Selagi masih nyaman, maka itu sudah cukup bagi Stevi. Ungkap Stevi demikian kepada Stella.

****

Keduanya sudah sampai di rumah sederhana Stella. Ini bukanlah milik Stella, tetatpi dia menyewanya dalam satu tahun belakangan ini.

"Ayo, masuk! Maaf jika tempatnya tidak luas," kata Stella mempersilahkan.

Barang-barang berserakan di mana-mana. Ada banyak sampah yang tercecer pula di lantai. Rumah ini tidak seperti tempat tinggal, lebih pantas disebut sebagai tempat sampah.

Stella mencoba merapikan barang-barangnya. Dia hidup seorang diri, dan kesibukannya di kampus membuat dia jarang bersih-bersih rumah.

"Ayo, duduk! Maaf jika ini membuatmu tidak nyaman!" ajak Stella.

Stevi masih berdiri di posisinya itu. Enggam duduk. Dia juga merasa jijik, sebab banyak sampah berserakan di lantai.

Yang terlintas di benak Stevi adalah. Rumah ini pasti dipenuhi banyak kecowa atau hewan-hewan menjijikan lainnya.

Stella berusaha dengan keras untuk memberi kesan nyaman bagi Stevi. 

Gadis yang bekerja sebagai pramugari itu mencoba melupakan dahulu kesan mewah dan nyaman. Saat ini dirinya perlu membantu Stella merapikan rumah, jika memang dia ingin tempat ini menjadi nyaman.

"Mari aku bantu."

Stevi datang untuk mengulurlan tangannya. Membantu Stella merapikan rumahnya itu.

Stella melemparkan senyuman, "Terima kasih banyak," ujarnya dengan senang.

"Tidak masalah," balas Stevi. Gadis itu bisa saja egois dan masa bodo, tetapi Stevi bukanlah wanita yang seperti itu.

Hampir 40 menit mereka membersihkan rumah. Sekarang sudah tidak ada lagi sampah yang berserakan. Dan barang-barang seperti buku dan lainnya sidah diletakkan di tempatnya masing-masing.

"Ah, akhirnya selesai juga," kata Stevi menarik napas lega.

Lega sebab misi merapikan rumah telah selesai. Dan saatnya duduk bersandar merenggangkan otot-otot yang kejang.

"Silahkan dimimun," pinta Stella.

Meski hanya tinggal seorang diri, tetap masalah minuman dan makanan Stella selalu membuat sendiri. 

"Wah, terima kasih banyak," kata Stevi.

Dia mengambil salah satu gelas yang beisikan jus jeruk dingin.

Stevi meneguknya sampai habis dalam beberapa kali tegukan.

"Ah, rasanya ini sangat menyegarkan," sambungnya.

"Hei, mengapa kau diam saja? Kenapa kau tidak ikut minum?" tanya Stevi heran. 

"Kau saja dulu. Aku bisa nanti." Stella terlihat tidak lelah, tak seperti Stevi yang sangat capek.

Stella tampak tenang-tenang saja. Sementara itu dia menari remot tv untuk menyalakan televisi yang ada di depan mereka.

Ditekan tombol powernya, dan saat itu juga televisinya menyala. Baru saja dinyalakan keduanya sudah langsung disuguhkan sebuah berita mengejutkan.

Siguiente capítulo