webnovel

14) Dinding Kamar Mandi Transparan

"Akhirnya kau kembali!" teriak Yurisa yang mendapatkan pelototan dari Kayla.

"Hey, pelankan suaramu. Apa kau lupa bahwa para zombie-zombie itu peka terhadap suara?"

Yurisa tak menggubrisnya dan langsung menyambar tas belanja berisi pakaian yang dibawa oleh Kayla. "Tenang saja, bukannya Kevan sudah memblokade semua pintu masuk di lantai ini?"

"Tapi tetap saja kau tak boleh menurunkan kewaspadaanmu, mengerti?"

"Yeah ... Yeah ... Kau mulai terdengar seperti tetanggaku. Apa kau tahu? Namanya Karen. Dan kalian memiliki sifat cerewet yang sama persis. Aku curiga, apakah Karen adalah bibi dari sepupu keempatmu?"

Kayla memutar bola matanya dengan malas. Ia hanya pergi berjalan ke arah sofa, tak ingin berdebat lebih lama dengan Yurisa.

"Baiklah, karena kita sudah memiliki pakaian ganti, sebaiknya kita cepat membersihkan tubuh." Nadine berkata setelah meneguk air dingin dari gelas air minumnya. "Risa, kita akan mandi bersama untuk menghemat penggunaan air. Kayla, kau akan mandi dengan Rea."

Yurisa menoleh ke arah Kevan dan melihatnya dengan tatapan aneh. "Apa kau tak ingin bergabung dengan kami? Aku yakin kamar mandi di suite semewah ini mampu menampung tiga orang. Atau ... kau ingin mandi berdua denganku?"

Swuuunggg ... Duakkk!~ "Ouch! Ada apa denganmu?!"

Nadine baru saja melempar pembungkus makanan ringan yang terbuat dari plastik tebal tepat ke arah kepala Yurisa. Nadine juga mengalungkan satu tangannya di leher Yurisa dan menyeretnya ke kamar mandi. "Sepertinya kita memang harus mandi berdua, agar aku bisa membersihkan otakmu yang kotor itu."

"Hey, bisakah kau memperlakukanku lebih lembut? Hey!"

Bammm!~ ...

Nadine menutup pintu kamar mandi dengan keras saat ia dan Yurisa sudah berada di dalam. Dari luar, Kevan, Kayla dan Rea bisa melihat siluet bayangan tubuh Nadine dan Yurisa saat lampu kamar mandi itu menyala.

Kayla dan Rea terkejut melihatnya. Meski yang terlihat hanya bayangan hitam samar-samar, namun lekukan tubuh Nadine dan Yurisa benar-benar terlihat jelas.

Kevan juga melihatnya. Namun yang ia lakukan adalah mengambil sebungkus rokok lalu pergi ke teras yang berada di luar jendela suite yang terletak di lantai tiga puluh empat itu.

Ia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkusnya, mengapitnya di antara bibir atas dan bawahnya lalu mengeluarkan sebuah pemantik. Setelah membakar ujung batang rokok itu, Kevan mulai menghisap asap nikotin itu ke dalam paru-parunya, menahannya di dalam untuk beberapa saat sebelum mengembuskannya secara perlahan melalui saluran pernapasannya.

Dari teras, yang bisa ia lihat hanyalah kebakaran gedung-gedung pencakar langit yang ada di tengah kota.

"Huffftttt~ ... " Kevan mengembuskan asap rokok itu ke udara malam. "Lebih baik aku memandangi dunia hancur secara perlahan ketimbang berperang dengan nafsu birahiku sembari melihat gadis-gadis itu telanjang."

Sepertinya itu memang pilihan yang tepat. Karena biar bagaimapun, sekuat dan sekeras apapun mental dan pikirannya, Kevan juga hanyalah seorang pria biasa yang bisa dimakan oleh nafsu birahinya sendiri.

Sembari ia duduk di teras suite lantai tiga puluh empat itu, Kevan mengeluarkan tas kain kecil yang berisikan batu-batu permata berwarna hijau zamrud yang ia dapatkan dari dalam otak zombie-zombie yang ia bunuh tadi di toko pakaian.

"Apakah batu-batu ini memang bisa meningkatkan kekuatan fisik serta ketajaman indera manusia?" gumamnya sembari mengingat kembali novel dan komik tentang zombie yang pernah ia baca.

"Haruskah aku mempertaruhkan nyawaku untuk membuktikannya?"

Kevan terdiam sejenak. Setelah menatap batu-batu permata berwarna hijau zamrud itu selama beberapa saat, ia memilih mengikatnya kembali dan memasukkannya ke dalam kantung jaketnya.

Ia kembali mengembuskan asap rokok dari mulutnya, "Tidak. Di tenga-tengah kiamat seperti ini, aku tak bisa bertindak bodoh dan membahayakan nyawaku sendiri. Sampai aku menemukan kebenarannya, aku hanya akan menyimpannya."

Setelah mengatakan itu, Kevan mematikan bara rokok ke dalam asbak dan menutup matanya.

Mempertaruhkan hidupnya hanya dengan insting belaka. Tak peduli sehancur apa dunia ini, ia tetap harus berpikiran logis.

Tapi, jika insting konyolnya itu benar, Kevan akan memiliki kesempatan jika ia harus berhadapan lagi dengan zombie setinggi lebih dua meter yang ia hadapi di kampus sebelumnya.

Ia sadar bahwa ia tak bisa menang melawannya. Itulah sebabnya ia harus menjadi lebih kuat apapun yang terjadi.

Untuk dirinya sendiri.

Dan untuk orang-orang yang ingin ia lindungi.

***

"Kayla, Rea, giliran kalian." ucap Nadine yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tubuh yang hanya terbungkus oleh sebuah handuk berwarna putih.

Kayla menoleh ke arah Rea, "Ayo."

Rea menanggapinya dengan mengangguk, dan mereka berdua pun pergi ke kamar mandi.

Nadine bisa melihat bahwa Kevan sedang berada di teras. Hal itu membuatnya tersenyum. "Setidaknya dia masih memiliki tata krama."

Sebenarnya Nadine sudah tahu bahwa dinding kamar mandi mereka memang cukup transparan dari luar. Di satu sisi, ia ingin menguji apakah Kevan akan terus menikmati pemandangan saat para gadis sedang mandi, atau Kevan akan pergi ke luar untuk memberikan para gadis privasi yang mereka butuhkan.

Namun di sisi lain, Nadine sebenarnya juga ingin menunjukkan tubuhnya kepada Kevan.

Nadine pun melihat tas belanjaan yang dibawa oleh Kayla tadi. Di dalamnya terdapat beberapa pasang pakaian dalam wanita, beberapa pakaian dalam pria, beberapa pasang baju kaus, celana panjang dan pendek, serta lima buah jaket hoodie.

"Kayla memang yang paling bisa diandalkan dalam urusan belanja. Dia hanya mengambil seperlunya. Tak kurang, dan tak lebih."

Yurisa ikut berjongkok di samping Nadine. Ia mengambil satu set pakaian dalam wanita berwarna pink. "Aku ingin yang ini. Ukurannya juga cocok denganku."

Kedua mata Nadine terbuka lebar saat melihat Yurisa sekarang sedang tak mengenakan apapun. "Hey, kemana handukmu? Kenapa kau begitu ceroboh?"

"Ceroboh? Siapa yang ceroboh? Ini bukan pertama kalinya kau melihatku telanjang, bukan? Bahkan beberapa menit yang lalu kau membantuku menggosok badanku saat kita mandi bersama."

"Aku tahu itu. Tapi, bagaimana jika Kevan—"

"Aku malah akan senang jika Kevan melihatku." potong Yurisa.

Yurisa berdiri dan memandang ke arah Kevan yang ada di teras. Meski Kevan tak melihatnya dalam keadaan telanjang, karena ia duduk dalam posisi membelakangi Yurisa.

"Lelaki seperti dia mungkin hanya ada satu di dunia ini. Tentu kau ingat saat petugas tempat pengisian bensin itu menyandera Kayla dan ingin menculik kita? Dari semua lelaki yang memiliki kesempatan untuk berbuat jahat terhadap para gadis seperti kita, Kevan lah yang memiliki kesempatan terbesar."

Nadine hanya diam mendengar apa yang Yurisa katakan. Semua yang dikatakan gadis itu memanglah sebuah kebenaran.

"Terlebih, Kevan sangat kuat. Kita berempat mungkin tak akan menang jika melawannya. Bahkan saat Kevan sedang terluka parah, dia masih bisa membunuh zombie-zombie itu." lanjut Yurisa.

Nadine mengeluarkan satu set pakaian dalam dan menanggalkan handuk yang melingkar di dadanya. Kini ia dan Yurisa sama-sama dalam keadaan telanjang bulat. Dan mereka sama-sama memandang ke arah Kevan yang sepertinya sudah tertidur di kursi teras.

"Kau benar. Jika dia ingin berbuat jahat kepada kita semua, tentu kita tak memiliki kesempatan untuk melawan. Lelaki seperti dia, mungkin hanya ada satu di dunia ini. Terlebih di dunia yang sudah kacau seperti ini."

Yurisa pun mengembuskan napas panjang dan memamerkan ekspresi kelelahan. "Huh, sepertinya sainganku cukup banyak. Kau, Kayla, dan Rea."

Nadine mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"

"Sudahlah, tak perlu ditutupi lagi. Kita semua menyukai lelaki yang sama."

"A-aku ... Baiklah, kuakui bahwa aku memang jatuh cinta kepadanya. Kayla juga terlihat jelas meski dia malu-malu. Tapi, kenapa kau memasukkan Rea ke dalam daftar anehmu itu?"

Yurisa memberikan tatapan kesal pada Nadine, "Ayolah, sebagai sesama wanita, sikap Rea terlihat sangat jelas. Mungkin Rea memang adiknya. Tapi, jika aku yang ada di posisi Rea, aku juga akan jatuh cinta pada Kevan, tak peduli apapun."

"Sepertinya aku belum cukup membersihkan otak kotormu di kamar mandi tadi." balas Nadine yang kini mulai memakai set pakaian dalam yang ia ambil tadi. Ia juga memilih celana jeans panjang berwarna biru muda, dan sebuah kaus polos berwarna putih.

Yurisa berdecak kesal, "Lihat saja nanti. Cepat atau lambat, kita akan tahu apakah perkataanku itu benar atau tidak."

Yurisa juga mulai memakai pakaiannya. Pilihannya jatuh pada celana pendek berwarna putih dan sebuah jaket hoodie berwarna pink. Entah karena celananya yang terlalu pendek, atau hoodienya yang terlalu besar. Celana pendeknya itu tenggelam di dalam jaket hoodienya, membuat Yurisa seakan memamerkan kulit kakinya.

Sedangkan Nadine, kaus dan celana jeans yang ia kenakan terlihat cukup ketat dan memamerkan lekuk tubuhnya yang indah.

"Aku akan menarik kembali ucapanku. Kayla tak begitu bisa diandalkan dalam urusan memilih pakaian." ucap Nadine yang mendapatkan anggukkan setuju dari Yurisa. "Baiklah. Mari kita lihat apa yang bisa kita buat untuk makan malam."

"Hey, lihat apa yang kutemukan di mesin pendingin kecil yang ada di sebelah TV!" teriak Yurisa yang membuat Nadine menoleh.

Dan dari sana, Nadine bisa melihat kedua tangan Yurisa penuh dengan botol alkohol mahal di masing-masing tangannya. Yurisa pun tersenyum lebar, "Sepertinya kita bisa bersenang-senang malam ini!"

Siguiente capítulo