webnovel

10. Malam Yang Tegang Bagi Avery

Darian mengantar Ariadne sampai di depan kamar tidur gadis itu. Ariadne menoleh pada Darian yang masih setia berdiri di belakangnya. Setidaknya ia ingin berkata sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kamar.

Darian membungkuk dengan sopan. "Tidurlah, puteri. Selamat malam.." Ucapnya.

"Tunggu." Ariadne mencegah Darian untuk pergi.

Darian bertanya. "Ada apa?"

"Untuk selanjutnya, aku tidak mau kau melarangku tentang banyak hal. Apalagi tentang siapa yang harus kucintai. Jika memang hidupku ditakdirkan hidup di kerajaan dan aku sebagai seorang puteri, maka urusan percintaan hanya aku yang berhak. Tidak ada yang berhak melarangku mengenai hal itu." Ucap Ariadne dengan tegas memperingatkan Darian.

Darian tersenyum tipis. "Baiklah, puteri. Setelah ini aku tidak akan mencampuri urusanmu. Kau akan mengetahui dengan sendirinya nanti, perihal topeng yang Avery kenakan."

"Topeng?"

Darian tidak menjawab pertanyaan Ariadne. Lelaki itu membungkuk lagi. "Selamat malam.. puteri harus tidur lebih awal." Ucap Darian, kemudian pergi meninggalkan Ariadne yang masih berdiri di depan pintu kamar.

Ariadne tidak mengerti maksud dari perkataan Darian tadi. Topeng? Mengapa Avery harus memakai topeng?

Hari semakin malam dan angin dingin rasanya cukup menusuk kulit. Ariadne sulit untuk memejamkan matanya. Padahal baju tidurnya yang ia kenakan sekarang kainnya tebal. Selimutnya juga tebal. Ariadne melamun dalam temaram cahaya kamar yang redup.

Apa yang telah dikatakan Avery sore tadi cukup membuat Ariadne berpikir keras. Avery benar-benar hanya membahas perihal pernikahan. Dan berulang kali Avery menyatakan cintanya pada Ariadne ketika mereka sedang berada di dekat air terjun.

Pikiran Ariadne masih tidak bisa tenang. Seolah-olah Avery ingin segera menggabungkan kerajaannya dengan kerajaan Ariadne. Ada apa sebenarnya?

***

PLAK!!!

Pipi kiri Avery ditampar dengan keras oleh Raja Eden. Mereka berdua sedang berada di sebuah ruangan kosong yang jauh dari pengawasan para pelayan dan pengawal.

Ratu Berenice hanya bisa membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri. Ia tidak kuat melihat putranya dipukul oleh ayahnya sendiri.

"Apa kau sangat bodoh? Tidak bisakah kau merayu Ariadne untuk segera menikahimu? Renggut saja keperawanannya segera!! Untuk apa mempunyai wajah tampan namun kau gagal merayu Ariadne?? Bodoh!!" Ucap Raja Eden dengan sangat kasar dan mengumpat.

Kedua mata Avery memanas. Air matanya sudah berada di pelupuk mata. Kedua pipi lelaki itu sangat merah karena bekas tamparan yang berkali-kali.

"Maafkan aku, Ayah. Ariadne tidak berencana menikah terlalu cepat. Ia sangat menjaga kehormatannya." Ucap Avery menjawab dengan suara yang sopan.

"Kau yang salah!! Sudah kubilang renggut saja kehormatannya. Itu akan membuat Ariadne tidak punya pilihan selain menikahimu. Apa kau tuli??"

Avery hendak menjawab lagi, namun Raja Eden berbicara lebih cepat.

"Kau memang tidak pernah memikirkan kondisi kerajaan ini, Avery!! Ekonomi kita menurun drastis! Rakyat berdemo tentang bahan makanan yang menipis. Mutiara sulit diperoleh. Jalan satu-satunya adalah menggabungkan kerajaan kita dengan Kerajaan Berlian! Tambang berlian mereka sangat banyak dan dijaga sangat ketat. Rakyat mereka tidak pernah kekurangan makanan. Sementara kita?? Kita hampir miskin!!"

Ratu Berenice hanya bisa menangis dengan suara kecil. Tidak berani membela putranya di hadapan suaminya. Kondisi kerajaan memang sedang memburuk dan tidak tahu harus bagaimana. Ekonomi Kerajaan Mutiara terus menurun sejak beberapa tahun lalu.

Dan hal itu membuat Raja Eden tidak bisa lagi memanjakan istri dan anaknya. Itulah alasan mengapa Avery harus turun tangan untuk menikahi Ariadne. Menggabungkan kerajaannya dengan Kerajaan Berlian.

Sebenarnya Avery tidak mencintai Ariadne sama sekali. Lelaki itu mencintai gadis lain. Avery mencintai seorang gadis desa biasa yang tinggal sebagai rakyat kerajaan Berlian. Gadis biasa itu bernama Diona. Gadis cantik yang sangat pintar memasak dan hobi menanam tumbuhan. Diona juga pandai berkuda.

Diona tidak tahu kalai ia disukai Avery. Mereka hanya bertemu satu kali dalam satu minggu. Itupun dikarenakan Avery yang memang sedang berkuda di sekitar wilayah rumah Diona.

Raja Eden dan Ratu Berenice tidak tahu kalau Avery menyukai gadis lain. Avery menyembunyikan perasaannya dengan sangat baik. Karena jika ayah tahu, sudah pasti ia akan babak belur.

"Awh! Sakit sekali, Bu.." ucap Avery dengan meringis kecil menahan lukanya.

Berenice hanya bisa menatap sedih putranya. Perempuan itu mengusap kedua pipi Avery dengan kain lembut yang sudah dibasahi air hangat.

"Ibu khawatir, Avery. Setiap kali kau gagal, pasti kau akan kena amarah ayahmu. Hati ibu teriris melihatmu dipukuli." Ucap Berenice sambil menangis.

Avery memegang kedua bahu Berenice dengan pelan. "Ibu, aku tidak apa-apa. Aku akan berusaha mengabulkan permintaan ayah."

"Itu sulit nak.. Kerajaan Berlian mempunyai pengawasan dan penjagaan yang sangat ketat. Puteri Ariadne dijaga dengan sangat baik di sana. Apa kamu tetap berusaha untuk menikahinya?"

Avery mengangguk. "Tidak ada pilihan, bu.. aku tidak ingin dipukuli lagi seperti ini."

Berenice menatap Avery dengan gelisah. Ia juga tidak rela melihat putranya terluka hampir setiap hari. "Haruskah ibu mengajakmu untuk meninggalkan istana ini?"

"Lalu bagaimana dengan ayah?"

"Ibu sudah tidak mencintainya. Tinggal di istana ini Ibu merasa seperti hewan peliharaan. Ibu hanya disuruh dan disuruh menjadi seorang ratu yang harus tersenyum setiap hari. Hatiku sakit.."

Avery mengepalkan kedua tangannya. Ia juga merasa kesal kalau ayahnya memperlakukan ibunya dengan tidak baik. "Pergi dari sini bukan jalan keluar, bu.."

"Kenapa? Avery, kita bisa hidup sederhana di luar sana. Biarkan saja Ayahmu menikahi wanita salah satu dari para selir."

Avery menggelengkan kepalanya. "Tidak. Meskipun kita bebas dari istana ini, namun kita tetap akan diburu di luar sana. Dan jika prajurit menemukan keberadaan kita, kita berdua akan habis di tangan ayah. Kita berdua akan mati, bu.."

Air mata Berenice semakin bercucuran. Ia bingung harus bagaimana lagi menghadapi Raja Eden yang kasar dan keras kepala. Hidup seperti ini setiap hari membuat Berenice dan Avery menahan derita.

"Kamu benar nak.. tapi ibu tidak kuat melihatmu terluka hampir setiap hari.."

Avery menggenggam kedua tangan ibunya. "Aku akan mencari jalan keluar." Ucapnya dengan yakin.

Suhu dingin malam hari semakin membuat luka memar di kedua pipi Avery perih. Raja Eden sudah berlalu pergi sejak selesai mengumpat tadi. Kini Avery dan Berenice masih berdiam diri di ruangan kosong tersebut.

Berenice sudah biasa tidak tidur malam hanya untuk mengompres luka putranya agak esok hari sembuh dengan cepat.

Pintu ruangan kosong itu dibuka oleh seorang gadis muda. Usianya tujuh belas tahun, sama seperti Ariadne. Gadis itu bernama Alice. Dan Alice adalah anak dari salah satu pelayan kerajaan. Berenice menunjuk Alice sebagai tangan kanannya.

"Maafkan aku, Ratu.. aku terlambat datang." Ujar Alice dan membungkuk sopan.

Berenice tersenyum melihat Alice. "Tidak apa-apa, kemarilah."

Alice mengangguk sopan. Gadis itu berjalan pelan dengan kaki telanjang dan ia masih mengenakan gaun tidurnya yang panjang.

"Aku harus segera menyusul Raja ke kamar. Seperti biasa Raja akan memintaku memijat lengannya sebelum tidur. Bisa kompreskan ini pada luka di pipi putraku?" Ucap Berenice dengan memohon.

Tentu saja Alice hanya bisa patuh dan menganggukkan kepalanya. "Baik, Ratu." Jawabnya sambil menerima kain basah dari tangan Berenice.

***

Siguiente capítulo