webnovel

31. Lian dan Ayu

"Kamu baik-baik saja? Astaga. Kepalamu berdarah, Lang. Aku ambilkan obat dan pakaian. Tunggu sebentar!" Shanum panik saat melihat Elang pulang dengan kondisi berantakan. Kepalanya berdarah, bajunya koyak, wajahnya lebam dan banyak luka lecet.

"Biyu? Are you oke?" Ellea mendekat, ikut cemas karena melihat keadaan Elang yang cukup kacau. Gadis itu menatap Abimanyu lekat-lekat. Tapi tidak menemukan hal yang sama seperti apa yang dicemaskan Shanum.

"Aku baik-baik saja. Ell, kamu bawa Lian ke kamar, dan berikan dia pakaian, juga tolong rawat lukanya," pinta Abimanyu, menoleh ke gadis yang masih berdiri di ujung pintu dengan ragu. Tubuhnya hampir sama seperti Elang dan Adi.

Ellea menatap Abi dan Lian bergantian. Tatapannya menyelidik. "Dia sekretaris Elang," kata Abimanyu seolah paham apa yang ada dipikiran Ellea. Ia berlalu, naik ke kamarnya. Walau kondisinya lebih baik dari Elang, tapi ia juga kelelahan karena sejak tadi menyetir mobil bersama Gio.

"Hai, kenalkan, namaku Ellea, kamu?" Ellea menjulurkan tangannya ke Lian.

"Lian," sahutnya tanpa semangat.

"Ya sudah ayo kita ke kamar."

_____

Shanum sudah membawa baskom dengan handuk kecil dan air hangat. Netranya liar mencari Elang.

"Elang di kamarnya," kata Gio yang sedang menonton TV bersama Vin.

Tanpa menyahut apa pun, gadis itu segera naik ke kamar Elang.

Pintu diketuk pelan. Sahutan Elang yang mengijinkannya masuk, membuat Shanum sedikit kesusahan membuka pintu karena membawa baskom air. Saat pintu sudah terbuka,  ia melihat Elang sudah bertelanjang dada. Hanya memakai celana panjang yang tadi ia pakai. Elang melirik sekilas. "Taruh saja di meja, biar kubersihkan sendiri," kata Elang membelakangi Shanum. Ia melepas jam tangan bermerknya yang sedikit pecah di bagian kacanya. Ia menarik sudut bibirnya. Tiba-tiba matanya membulat sempurna, saat sebuah tangan melingkar di pinggangnya.

Shanum menangis dibalik punggung Elang. Sementara tubuh Elang mendadak kaku. "Kau ... Kenapa?"

Isak tangis Shanum sedikit reda. Ia mencoba menetralkan perasaan gundah yang sejak tadi dirasakan karena tau nyawa Elang dalam bahaya. "Aku takut... Aku takut terjadi hal buruk padamu."

Entah mengapa, jantung Elang berdesir. Ia bahkan berusaha menekan bagian tengah, di atas perut tubuhnya. Agar rasa ini memudar. Rasa yang jarang ia miliki. Dan merasa hanya ada dalam bayangannya saja. Kekasih Elang sebelumnya saja tidak mampu membuat hatinya bergelora. Itulah mengapa Elang tidak berniat melanjutkan hubungan itu lagi.

Tapi Shanum berbeda. Sekuat apa pun Elang menolak, Shanum justru makin mendekat. Hal-hal sepele yang orang anggap tidak penting, malah membuat Elang merasa penting. Elang merasa dimiliki oleh seseorang. Kini ada seseorang yang menunggunya. Ada seseorang yang begitu mencemaskannya. Bahkan ia selalu menyembuhkan tiap luka yang ada ditubuh Elang.

Sekalipun teman-temannya menyebut Elang batu karang, tapi justru kini ia telah menemukan ombak yang terus memecah kerasnya batu karang itu. Membuat riak ombak yang membuat hidup Elang lebih ramai. Tidak kosong seperti selama ini yang ia rasakan.

Elang melepaskan tangan Shanum kasar. Hal itu membuat gadis bermata cokelat ini sedikit terkejut. Ia menunduk karena takut sikapnya barusan telah memancing emosi Elang. Tapi di luar dugaan, justru Elang tiba-tiba mendaratkan bibirnya ke bibir Shanum. Melumatnya pelan dengan kedua mata mereka yang terpejam. Tangan Elang menarik pinggang Shanum mendekat ke tubuhnya. Sementara tangan Shanum seolah otomatis melingkar di leher Elang.

"Lang, aku pinjam mobilmu du...," Adi yang tiba-tiba masuk ke kamar Elang, lantas tertegun pada adegan di depannya. Elang menatapnya tajam, tanpa melepas pagutan bibirnya dengan Shanum. Sebuah isyarat pengusiran yang jitu. Karena Adi benar-benar segera keluar dari kamar Elang. Dan menutup pintu kamar itu, perlahan.

____

"Sshh!" Elang mendesis. Wajahnya terlihat meringis karena menahan sakit. Shanum segera meniup pelipis Elang yang baru saja ia bersihkan dengan handuk basah. "Maaf, apakah aku terlalu kencang menekannya?"

"Tidak. Kau justru terlalu lembut memperlakukanku," cetus Elang, tanpa melepaskan pandangannya pada Shanum.

Pipi Shanum merona. Ia segera membereskan peralatan yang ia bawa tadi, dan meninggalkan Elang seorang diri. Elang tersenyum, merasa geli karena melihat tingkah malu dari Shanum karena reaksi dari dirinya yang sebenarnya wajar. Atau Elang memang tidak peka?

Ah, dasar batu karang!

____

Tok. Tok.

"Masuk!" sahut Ellea yang sedang membantu Lian membalut perban ke telapak tangan gadis itu. Tali panjang tadi telah membuat luka di sana. Dan Lian terlalu kuat untuk menahannya. Walau akhirnya ia merasa sakit juga.

Abimanyu muncul. Ia menatap Ellea dan Lian bergantian. "Lekas turun. Kita makan bersama," ajak Abimanyu pada dua gadis itu.

Meja makan milik John, berganti. Awalnya hanya sebuah meja makan berbentuk bulat saja. Kini meja itu menjadi meja makan panjang di ruang makannya. Rumahnya kini menjadi ramai. Dan John termasuk tuan rumah yang baik. Ia terus memperlakukan tamu-tamunya bak raja.

Gawai Gio berdering nyaring. Ia mengerutkan kening karena melihat nama yang tertera pada layar pipih itu.

"Wisnu?"

"Hai, Gi. Bagaimana kabarmu?"

"Sehat. Kupikir kau sudah mati, Nu."

"Ouh, maaf kau harus kecewa karena kabarku baik-baik saja di sini. Florida sedang cerah. Cuacanya stabil. Ayu juga sedang mengandung lagi."

"Kau gila, Nu? Mau berapa anak lagi yang kau produksi, hah?"

"Sekarang saja sudah 5. Ditambah yang kini ada dikandungan Ayu. Semua 6. Ah, iya. Kau sedang bersama Elang, bukan?"

Gio melirik Elang yang fokus menyantap makanan di depannya. Merasa diperhatian oleh Gio, Elang lantas meliriknya tajam. "Apa?"

"Dasar gila!" umpat Gio pada Elang. Terkadang reaksi Elang sering berlebihan memang. Sehingga candaan yang Gio buat seakan tidak pernah berhasil padanya.

"Iya, Nu. Kami sedang berkumpul di sini. Kau mencari Elang atau aku? Kalau mencari Elang sebaiknya kau hubungi saja ponselnya. Membuang waktuku saja!" omel Gio.

"Aku mencarimu, Gi."

Gio bahkan menatap benda pipih, ditelinganya. Seolah tidak percaya. "Benar, kah?" 

"Tolong sampaikan ke Lian, gadis yang sedang bersama kalian saat ini, agar dia menyalakan ponselnya. Ayu sejak tadi tidak bisa menghubunginya."

Netra Gio berpindah ke Lian yang sedang meneguk susu hingga tandas.

"Bagaimana kalian mengenal dia?" bisik Gio.

"Lian adalah adik Ayu."

"Apa kau bilang?!" seru Gio langsung beranjak dari duduknya. Reaksinya kini memancing perhatian semua orang yang sedang makan.

"Lian adalah adik kandung Ayu, bodoh! Harus berapa kali aku mengatakannya? Jadi katakan padanya untuk menyalakan ponselnya."

"Astaga, Nu," seru Gio, melongo. panggilan beralih ke video call. Kini mereka bisa saling menatap wajah masing-masing.

"Ah, kau ini. Terlalu lama. Arah kan ponselmu pada Lian, Gi. Cepat!"

Gio menurut. Membalik ponselnya dan mengarahkan ke Lian, ia tingkatkan volume panggilan agar Lian mendengar suaranya.

"Lian?! Kau membuat kakakmu murka. Hadapi dia sendiri." Wisnu menyingkir dan kini berganti wajah Ayu dengan tatapan membunuh.

Siguiente capítulo