webnovel

Bukan Malam Pertama

"Kamu yang membuat kekacauan 'kan, Joo? Menikahlah dengan Jelita. Mama nggak mau buang-buang uang hanya demi hal yang nggak berguna, toh denganmu atau Hendri sama saja yang terpenting maharnya saham, 'kan?"

Mama! Ingin aku berteriak tapi lidahku kelu. Sudah aku katakan untuk tak berharap namun setidaknya sebagai anak masih besar bahwa dia akan meminta Joo menikah denganku atas dasar rasa suka, atau paling tidak mama akan menampar laki-laki ini karena merusak anaknya. Namun apa yang tadi kudengar? Saham, ya?

Berjalan begitu saja. Seolah tak ada apa-apa yang tadi terjadi, keluarga telah memilih kesepakatan lainnya. Dan ….

"Sah!"

Teriakan komando itu menandakan kalau aku benar-benar resmi menjadi istri Joo. Tapi mengapa rasanya begini? Tak ada sesuatu yang meletup-letup, bahkan rasanya aku ingin meloncat dari lantai dua di balkon kamarku. Hendri pergi dengan senyuman seolah-olah dia memang sudah tahu bahwa sedang dipermainkan.

Padahal aku berharap bahwa setidaknya dia akan menampar atau membentakku, namun dia memang terlalu baik sejak awal hingga hal demikian tak sanggup Hendri lakukan. Aku yang bersalah, mungkin di kemudian hari menemuinya saja tak akan sanggup diriku. Terlalu banyak dosa yang kuperbuat padanya.

Acara yang berlangsung jauh lebih cepat dari rencana awal karena pengantinnya berganti. Beberapa teman SMA kami menatapku dan Joo tak percaya, ada yang berbisik merendahkan diriku. Mencela terang-terangan atau bahkan ada yang berniat melemparkan vodka padaku. Serendah itu ya aku sekarang?

Tapi aku tak peduli. Itu urusan mereka. Jika membenciku saat ini maka kelak mereka sendiri yang akan kesusahan di kemudian hari. Kedepannya mereka pasti akan membutuhkanku karena sejauh ini pun seperti itu.

Malam tiba, di kamar yang sama. Selama dua puluh enam tahun ini Joo memang keluar masuk ke dalam kamarku, lantas rasa macam apa ini?

Malam pertama? Aku menertawakan diriku sendiri. Kami sudah pernah melakukannya tak peduli itu hanya kesalahan semata atau apa, karena memang inilah salahku yang tak dapat dielakkan lagi. Harusnya aku bisa melawan, namun dengan bodohnya malah membuka lebar-lebar memberikan celah padanya.

Juga, katanya malam pertama itu terasa menggebu-gebu membuat semua insan ingin mengulanginya. Bahkan beberapa ada yang melakukannya sampai pagi hari. Namun sepertinya hal itu tak berlaku pada kami, tak akan pernah terjadi. Jangan berharap, Jelita, hatimu akan sakit dibuatnya nanti.

Kami ini … apa, ya? Benarkah aku istrinya. Rasanya menatap wajah Joo saat ini aku benar-benar ragu apakah dia yang merengek di pagi hari tadi?

"Berapa bulan usianya?"

Kami bahkan malah membahas janin ini. Malam pertama yang mengesankan sekali, haha. Saking mengesankannya mungkin aku tak akan melupakannya sepanjang hidup. Membekas dalam benakku, atau mungkin bisa dikatakan aku benar-benar … sudahlah jangan berharap lebih.

"Lima minggu, bisa saja lebih tapi aku lupa," balasku sembari berjalan menuju cermin guna membuka bruklat, rasanya juga menyesakkan meski hanya memakai ini saja.

"Mau ku bantu?" tanya Joo saat aku kesulitan membuka resleting bruklat acara resepsi.

Katakan saja kalau para MUA tadi tak merasa jijik padaku hingga melepaskan bruklat modern ini saja mereka tak mau pasti tak perlu ada skinship seperti ini. Memang Joo suamiku. Namun itu tak berarti saat ini. Bagiku dia tak lebih dari sumber masalah, ah di lubuk hati bisa-bisanya aku memeluknya dan menumpahkan segala keluh kesah.

Tunggu, mengapa kini aku merinding menyebut dia sebagai suamiku?

"Boleh?" Aku balik bertanya karena tak yakin dia akan membantu dengan sukarela.

Dia tertawa, selalu begitu. Dengan tawanya yang terdengar merdu itu Joo berhasil meluluhkan hatiku. Boleh aku mengantongi tawanya saja agar jika ingin mendengarkan tak perlu menatap wajah sialan tersebut? Ha-ha, bercanda aku tahu itu tak akan bisa terjadi karena sekalipun perekam suara tak akan sejernih aslinya.

Dan keadaan ini … meski aneh, tak ada penolakan sama sekali dari pihak Joo. Seolah-olah ini hanya sebuah drama, dimana sejak awal aku memang ditakdirkan untuk menikah dengannya dan ending yang bahagia telah ditetapkan sang pencipta.

"Maaf karena baru tahu kalau kamu hamil," ujarnya yang kini menaruh dagu di bahuku.

Kami saling bertatapan lewat pantulan kaca. Matanya memerah, itu karena dia tak bisa melakukan malam pertama denganku atau menyesal karena menikahiku? Aku rasa opsi kedualah yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami saat ini. Karena ….

… Di dalam hatinya hanya ada Astrid, gadis manis dari jurusan teknik informatika yang kebetulan sekelas dengannya dari masih SMP dulu. Tumben sekali malam ini dia tak membahas gadis itu lagi.

Bahkan sampai dua hari lalu dia masih membawa-bawa nama gadis itu. Joo akan membahasnya hingga dia terlelap, tanpa Astrid dunianya tak lengkap. Selalu ada nama gadis itu saat kami sedang membahas sesuatu dan sekali pun aku membawa topik baru, Joo akan sadar lantas mengembalikannya pada titik semula.

Meski menurutku wajar jika Joo menyukai Astrid. Dia cantik, tak membosankan dan nggak malu-maluin saat diajak kondangan. Kulitnya yang putih dengan rambut bergelombang, bibir semerah delima, aku saja iri dengan fisiknya yang begitu sempurna. Ah pantas saja jika Joo benar-benar sudah jatuh padanya, kalau aku kan hanya sebatas sampah baginya.

"Kalau Astrid tiba-tiba datang?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Mungkin hanya aku satu-satunya wanita yang tak pernah merespon berlebihan, seperti menangis kencang karena tahu hamil diluar nikah. Hidupku bukan milikku, sejak awal semuanya milik mama. Baru kali ini aku salah jalan, dan berakhir mengenaskan. Papa kadang peduli, terkadang juga hanya melirik sekilas lantas pergi.

"Aku minta maaf, tapi dia bukan siapa-siapa lagi sekarang," ujarnya lirih seolah dia adalah pihak yang paling tersakiti saat ini.

Joo ini ... gila ya? tanyaku dalam hati karena tak percaya padanya. Omong kosong macam apa lagi yang hendak dia katakan saat ini? Sekali lagi sepertinya aku harus menegaskan pada diriku sendiri bahwa jangan terlena dengan ucapannya-!

"Dia juga menikah hari ini. Dengan kekasihnya," imbuh Joo.

Tanpa menunggu lama aku berdiri lantas menatap Joo cukup lama. Ah, jadi begitu ya? Pantas saja tadi Joo mengatakan kalau Astrid bukan lagi siapa-siapa. Dan jika alasannya karena gadis itu sudah menikah, bukankah akan ada kesempatan mereka kembali bersama? Kukira dia mengajakku menikah karena merasa kasihan pada anaknya yang belum lahir ini.

Tapi ternyata aku hanya ... pelampiasan. Dia membutuhkan sosok yang dapat dijadikan sandaran sementara saat cabang tutup ahaha.

Lagi-lagi aku merasa kalau lebih baik sejak awal tak dilahirkan.

"Joo, bisa kamu tidur rumah kamu sendiri malam ini?" pintaku sungguh-sungguh.

-Bersambung ....

Siguiente capítulo