webnovel

Tanpa Kabar

Sudah dua hari lamanya Ruri tak pernah menemui mereka. Lenyap seakan ditelan bumi, meski Sesilia telah berusaha mencarinya ke beberapa tempat yang sering mereka kunjungi. Bingung, gelisah dan takut kalau Ruri berbuat nekad. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Hanya terus mencari hingga tak bisa fokus dengan persiapan yang harusnya ia kerjakan.

"Ke mana perginya si bodoh itu! Apa yang bisa ia lakukan selain menyusahkan orang lain, hah? Sialan! Hatiku enggak akan bisa tenang sebelum bertemu dengannya, memastikan kalau dia baik-baik saja. Belum lagi wajah bodohnya itu, huh! Entah mengapa wajah itu terus hadir dalam ingatanku. Wajah bodoh sialan!" gerutu Sesilia. Matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Meski terkesan marah dan kesal, namun kedua pipinya memerah dengan senyum tipis yang berusaha ia sembunyikan.

"Jangan bilang kalau dia sudah tertangkap? Dan sekarang lagi disekap? Argh ...! Andai aja kemarin aku tanya apa yang akan dia perbuat? Huh! Kalau sudah begini, apa yang harus aku lakukan? Apa aku perlu mengikuti si Dokter Leo itu? Bukannya dia sosok yang paling patut dicurigai? Tapi tunggu dulu, aku ingat dia pernah bercerita tentang pemuda yang juga ditemukan tak sadarkan diri, tetapi masih memiliki ingatannya. Sialan! Cowok bodoh! Selama ini aku enggak pernah mendapat kabar seperti ini. Aku yakin pemuda itu hanyalah pancingan. Yah, hanya Ruri yang kembali pulang dengan data diri yang lengkap. Aduh ... kenapa aku bisa menyukai cowok sebodoh dia?"

Tak henti-hentinya Sesilia menggerutu. Hatinya masih merasa tak tenang sekali saat ini. Bahkan ia terlihat enggan untuk pulang. Entah sudah berapa kali ia mengunjungi rumah sakit, klinik suster Lita dan rumah si pria tua. Namun, Ruri tak kunjung ia temukan. Tak ada lagi tempat yang diduga akan dikunjungi Ruri.

Jauh di tempat lain Ruri terlihat terduduk lemas sembari menyandarkan tubuhnya. Kedua matanya terpejam dengan kepala menghadap ke langit. Sepertinya ia tengah kebingungan dan kalud.

"Huh! Apa yang harus aku lakukan? Pemuda itu sudah pergi karena dijemput keluarganya. Perawat Tomi juga sedang cuti, hanya dia yang bisa aku tanyai. Aku enggak boleh bertindak bodoh dengan nekad bertanya alamat pemuda itu kepada perawat di sana. Bisa-bisa mereka komplotan dan aku menjadi incaran. Hah! Disaat begini kenapa aku mendadak rindu dia yah? Andai saja dia enggak seketus itu, mungkin aku berani mengunjungi mereka. Andai aja aku bisa bertemu dengannya malam ini, aku pasti akan memeluknya."

Sepertinya malaikat telah mendengar ucapannya. Di tengah taman yang sepi ini, Ruri memutuskan untuk berkunjung ke rumah pria tua. Besar harapan ia bisa mendapatkan informasi kembali dari sana.

Jalanan tampak ramai, meskipun hati Ruri tengah kesepian. Melangkah pendek dan sesekali menendang batu yang ada di hadapannya, Ruri seperti pria tak punya kerjaan.

"Hei, cowok bodoh!"

Suara teriakan dari suara Sesilia pun terdengar. Namun, ia tak dapat menemukan asal suara. Berulang kali ia memutar arah pandangnya, berharap melihat sosok gadis yang ia rindukan.

"Ah, apa rindu semenyiksa ini. Sampai-sampai aku berhalusinasi mendengar panggilannya?" gumam Ruri. Ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Keributan terdengar dari arah persimpangan. Sepertinya ada seseorang yang tengah berlari akibat dikejar seseorang. Tak perduli, Ruri pun lantas pergi begitu saja mengabaikannya. Namun, suara langkah itu kian kuat diikuti bayang hitam yang mendekat ke arahnya. Terdiam sesaat berniat melihat ke arah belakang akan siapa sosok yang berlari. Belum sempat terjadi sosok itu segera menggenggam tangan Ruri dan memaksanya ikut berlari.

"Hei!" ucap Ruri bingung. Namun, langkahnya berubah menjadi turut berlari setelah ia sadar akan siapa orang yang tengah menggenggam tangannya.

"Kau kenapa?" tanyanya disela napas yang menyesakkan.

"Diam kau!" teriak Sesilia. Gadis itu masih saja kasar dan jutek. Meskipun begitu Ruri masih berpikiran positif dan menyangka ia tengah lelah dan ini bukan waktunya menjawab pertanyaannya.

Terus berlari tanpa henti, setelah sadar sebuah motor mengikuti keduanya. Kini mereka bisa sedikit bernapas lega setelah memasuki lorong sempit.

"Mundurkan badanmu!" pinta Sesilia. Ia berupaya agar persembunyian mereka dibalik kardus kecil itu tak ketahuan.

Gemeteran, Ruri tak henti-hentinya memandangi wajah Sesilia dari arah samping. Dengan tangan yang masih saling menggenggam, membuat jantung Ruri berdegup tak karuan. Malam itu di bawah sinar bulan purnama, mereka kembali bertemu. Saling bersentuh berhasil membuyarkan rindu. Tak mengerti dengan pasti apa arti perasaan ini, namun Ruri yakin dia merasa bahagia bisa kembali bertemu dengan Sesilia. Meskipun dengan cara seperti ini.

"Apa maksudmu melihatku begitu!" tegur Sesilia. Ternyata aksi Ruri ketahuan dan ini cukup membuat hati Sesilia semakin kesal. "Lepas! Emang mau nyebrang?" ucap Sesilia ketus. Seakan jijik, Sesilia segera menyapukan telapak tangannya pada jaket yang ia kenakan. Berkali-kali ia lakukan guna memastikan tak ada apapun yang tertinggal dari tangan Ruri.

"Tunggu apa lagi, ayo pergi!" seru Sesilia kembali. Ia memilih melewati lorong kecil agar tak kembali bertemu dengan dua pemuda yang sempat mengejarnya.

"Siapa mereka? Kenapa mereka mengejarmu, Sil?" tanya Ruri. Sedikit rasa sakit pun hadir di hatinya, namun ia membantah akalnya keras. "Aku yakin dia hanya gengsi. Dia enggak benar-benar membenciku. Aku yakin itu."

"Bukan urusanmu. Kerjakan saja yang menjadi tugasmu. Kalau kau ingin segera mengembalikan ingatanmu!" ucap Sesilia acuh. Ia berjalan di depan dengan kedua tangan bersembunyi pada saku jaket.

"Aku enggak bisa ikut pulang ke rumahmu!"

Sontak saja langkah Sesilia terhenti, membalikkan tubuhnya dan menatap kesal pada pria berwajah lugu itu.

"Lantas, kau mau ke mana? Mau ngilang lagi! Mau menghindar dari tanggung jawab? Okelah, sedari awal aku juga sadar kau tak akan berguna dalam misi ini. Bye!" ucapnya. Gadis itu kembali melanjutkan jalan dan melambaikan tangan tanpa melihat ke arah Ruri.

"Argh! Kenapa gengsimu setinggi langit sih!" gerutu Ruri. Bukannya berbalik arah, justru kini Ruri kembali mengikuti langkah Sesilia. Keadaan ini menguntungkan Sesilia, ia tersenyum senang seraya berbisik, "Yes."

Tak disangka Ruri tetap disambut hangat meski belum melaksanakan tugasnya. Ibu, Ayah dan Dino bersikap santai kepadanya dan ini cukup melegakan bagi Ruri. Namun, target yang begitu dekat membuat mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ibu kembali ke dapur, Dino kembali ke kamar dan Ayah duduk di halaman samping dengan laptop berada di pangkuannya.

"Hei, apa aku mengganggu?" tanya Ruri. Ia begitu segan untuk ikut ke kamar Sesilia. Terlebih ada hal yang ingin ia tanyakan pada Dino.

"Enggak juga. Apa ada yang ingin kau bahas? Jika ya, silakan saja. Tapi maaf, mataku tak bisa mengarah padamu," jelas Dino. Di depannya ada beragam alat berukuran kecil dan kini matanya meneropong jauh melalui kaca pembesar.

"Enggak apa. Begini, tadi aku bertemu dengan Sesilia di jalan. Sepertinya ia sedang dikejar dua orang pemuda. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi tegap dengan banyak tato di tangan kirinya. Apa kau tau ada urusan apa Sesilia dengan mereka? Kenapa mereka mengejar Sesilia?" tanya Ruri. Besar harapan ia bisa mendapatkan jawaban dari mulut pria kecil berakal jenius ini.

Siguiente capítulo