webnovel

Curhat Silang Pendapat

Manty berlarian menuju pintu depan begitu mendengar bel asrama berbunyi. Adzan Ashar baru saja berkumandang, kebanyakan mereka mungkin masih melaksanakan ibadah Shalat, dan sebagian lagi menghabiskan hari terakhir untuk tidur sepanjang hari.

"Eh? Bunda, Ayah?" sapa Manty, segera bersalaman dengan kedua orang tua angkat mereka yang datang tanpa mengabari.

"Mana yang lain? Sepi banget Man?" tanya Adri, menelisik pemandangan sekitarnya.

"Pada di Mushalla sama di kamar kayaknya Bun, Yah."

Ketiganya lantas masuk, dan seperti biasa Haikal dan Adri memilih ruang tengah sebagai tempat singgah. Selain paling nyaman, ruang tengah itu benar-benar berada di tengah, memungkinkan semua orang dapat mengetahui keberadaan mereka dari sudut pandang manapun.

"Bundaaaa!" seseorang memanggil melengking penuh antusias, Adri dan Haikal mencari sumber suara. Kalau Manty, sudah tau siapa itu. Siapa lagi kalau bukan si heboh Leon?

"Apakabar Bund?" Leon dan Adri bercipika cipiki akrab bak teman arisan, mendapat kekehan geli dari Haikal dan Manty. "Ibu-ibu heboh amat ya?" ledek Haikal.

"Ayaaah! Kok nambah ganteng sih Yah?" puji Leon kecentilan. Adri hanya geleng geleng kepala, sudah biasa melihat keakraban anak angkat dengan suaminya sendiri. "Masa sih? Makasih aja sih sama Bunda, telaten ngurusin Ayah tiap malem," ujar Haikal, melirik romantis Adri disampingnya.

"Bucin terooos!"

Jerry melintas dengan sarkasme andalannya menyindir Haikal yang menurutnya suka tidak tahu tempat. "Apakabar Bunda? Kenyang ya makan cintanya Ayah?"

PLAK! Adri memukulnya kesal, "Iri aja jomblo. Baik bunda mah. Kamu kumaha? Lancar proyek sama IPB teh?" tanyanya tiba tiba mengeluarkan bahasa Sunda.

Jerry hanya cengengesan, langsung duduk disamping Adri tanpa menyalami Haikal. Oh, tidak usah heran, dua orang itu selalu punya love-hate relationship. "Lancar Bun. Nginep gak? Mau konsultasi nih, sekalian sama Dhaiva juga, dia udah selesai manggung kayaknya," tanyanya seraya melirik jam tangan.

"Sama Dhaiva?" Haikal terdengar tak percaya meski sudah diangguki Jerry, "Serius Dhaiva? Multitalent banget ya dia," pujinya.

"Ayah gak memahami talent anak nih, parah sih Bund, marahin coba." Jerry mengompori, diikuti Leon dan Manty yang geleng-geleng kepala dramatis.

"Assalamualaikum ya ukhti ... ya akhi ... ya ahli kubur ..."

Semua orang melirik tajam ke depan, melihat siapa gerangan manusia random yang memberi salam seperti itu.

"Nah kan panjang umur. Gitu lah Bund, Yah, kelakuannya dibalik image polosnya," cibir Jerry, membuat si pemberi salam itu mematung seraya membulatkan mata dan menutup mulut.

"Siapa yang ahli kubur Va? Jerry doang kan?" Haikal mempermainkan situasi. "Iya Yah, suer Prof. Jerry doang, sama Manty sama Ci Leon. Ayah Bunda mah ahli surga ..."

"Halaaa dasar penjilat Kao!" Manty kali ini, Leon dan Adri sampai tertawa.

"Dari mana ini Kamu? Penyanyi kebanggaan SP? Kapan kapan Kita harus collab nih Bun," ujar Haikal, tentu saja tak melupakan bakat istrinya bermain biola dan piano, pun dirinya yang bisa memainkan gitar.

Dhaiva menurunkan gitarnya, duduk bergabung kemudian, "Ayo banget lah Bund, Yah. Aku menantikan kolaborasi dengan yang senior."

"Adriana sunbaenim ..." Leon sok menunduk, sontak ditertawai yang lain.

Adri hanya geleng geleng kepala, "Panggil yang lain dong, ini banyak makanan nih, gak akan abis kalau sama Leon doang," candanya, mengeluarkan hampir delapan paper bag berisi makanan untuk anak-anak angkat tercinta.

"Oke Bund, tenang aja, asrama ini penggilingan makanan." Manty mengetikkan beberapa pesan di grup asrama. "Dalam hitungan menit ... kawanan manusia akan segera berkumpul."

"Saheera mana ya? Ada?" Adri bertanya spesifik.

"Ada kok Bund. Di kamar paling, biasanya keluar abis Maghrib buat makan malam."

Adri mengangguk, "Oke, Bunda ke kamar Saheera dulu ya," pamitnya kemudian berjalan cepat menaiki tangga ke lantai dua.

Hening kemudian, mereka paham kenapa Adri mencari Saheera ketimbang yang lain. Terlebih Jerry dan Dhaiva yang menyaksikan gadis itu menangis di meja makan. "Nalesha mana? Iqbaal juga? Keluar?" Haikal membuka pembicaraan kembali.

"Masih shalat kali ya? Tapi katanya mereka berdua mau sepedaan gitu sore ini."

"Oh gitu? Kalian gak suka olahraga emang?"

"Mager Yah, mending olahraga pake mikir aja. Diem dan membakar kalori."

****

Adri mengetuk pintu kamar Saheera sekali, langsung mendapatkan respon dari si penghuni. Gadis itu keluar dengan masih menggunakan mukena, nampaknya memang baru selesai shalat.

"Bunda? Kok Aku gatau kalau mau dateng?" Saheera menyalami Adri segera, balas dipeluk oleh Bundanya itu, "Iya, sekalian hari ini abis jalan-jalan sama Ayah. Kamu baik baik aja?"

Saheera menghela nafasnya sejenak, mempersilakan Adri masuk ke kamarnya yang selalu rapi itu, "Baik kok Bund. Cuma masih kesel aja sih, hehe."

"Hmm gitu," angguk Adri. "Wajar kok kalau kecewa. Bunda yakin Kamu pasti akan ikhlas lama kelamaan."

"Ya gitu deh Bund. Aku gak maksain perasaanku giman gimana sih, malah mikir terlalu mendramatisir hanya karena masalah begitu."

Adri menepuk-nepuk bahu Saheera pelan, "Gak ada yang bisa dibilang 'hanya', relatif ke Kamu, mungkin itu memang berat. Jadi sekarang, ini fasenya Kamu untuk menerima."

"Gitu ya Bund?"

Adri mengangguk, "Hm. Gitu. Sepengalaman Bunda ya, manusia itu ... mengalami tiga fase dalam beberapa tahap sulit hidupnya; pertama, sakit, kedua sembuh, kedua bangkit. It's almost, always in those cycle."

"Yeah, I know it Bund. Cuma kadang Aku mikir, sampai kapan Aku harus silang pendapat dan kalah terus sama Ayah? Kapan pendapat dan pemikiran Aku sebagai anak perempuan mereka didengar?" curhat Saheera, Adri hanya menyimak mendengarkan, "Kenapa di mata beliau, anak perempuan itu gak boleh berpikir progresif? Apa dengan mempertahankan sistem tradisional mereka itu, Kita bisa maju?"

"Oke ..." Saheera menghela nafasnya sejenak, "Mereka selalu bilang, wanita itu di rumah, hidup dan rezekinya sudah dijamin, dan tempatnya untuk mendapat kemuliaan itu bukan di dunia, tapi di akhirat, sebagai bentuk penghargaan atas kesabarannya di dunia ..."

"Iya." Adri kembali mengangguk-ngangguk.

"Tapi apa iya ... di masa sekarang Bun? Apa iya mau seperti itu terus? Toh Aku hanya ingin seimbang, bukan left out totally from their culture kan. Why is it so hard to just let me live my life based on what I planned?" finalnya masih menggebu-gebu. Dua hari memendam masalah dan tidak ada yang bisa diajak bercerita, akhirnya kekesalan itu tumpah dihadapan Adri yang memang selalu mengerti.

Adri merangkul Saheera erat, "Bunda dan Ayah paham sekali pemikiran Kamu. Kami gak bisa menjanjikan apapun, apalagi yang mengubah perspektif keluarga Kamu. Tapi ..."

"Kami selalu ada buat Kamu dan pemikiran Kamu yang mungkin sulit mereka dengar."

Siguiente capítulo