webnovel

Keras Kepala

Aku mengetuk pintu dengan sabar menunggu ibu membukakan pintu. Aku sudah izin pada mama untuk menginap di rumah ibu. Aku butuh waktu sendirian, tempat di mana aku tidak bisa bertemu dengan Argat. Begitu pintu terbuka, aku langsung memeluk ibu dengan erat. Ibu membalas pelukanku.

"Ada apa, Nak?" tanya Ibu.

Aku melepas pelukanku pada ibu. Seharusnya aku bersikap biasa saja dan tidak menunjukkan raut sedihku. Ibu menuntunku untuk duduk. Melihat raut wajah ibu yang khawatir, aku berusaha tersenyum. Aku tidak ingin menyusahkan siapa pun.

"Aku hanya merindukan Ibu. Sudah lama aku tidak menemui Ibu," ucapku.

"Kau tidak perlu cemaskan Ibu. Melihatmu bahagia saja itu sudah lebih dari cukup," ucap Ibu memegang tanganku.

"Ibu tidak apa-apa?" tanyaku yang menyadari suara ibu sedikit serak.

"Ibu hanya merasa tidak enak badan. Kau dan Argat baik-baik saja, kan? Kalian tidak bertengkar, kan?" Ibu balik bertanya.

Aku tahu kalau ibu sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku. Melihat kondisinya, aku makin tidak tega jika membuatnya bersedih. Aku sudah kehilangan sosok ayah dan aku tidak ingin kehilangan ibu juga. Ibu adalah segala-galanya bagiku. Aku akan berusaha untuk memastikan kebahagiaannya. Jika kebahagiaan ibu adalah melihat keutuhan rumah tanggaku dengan Argat, maka aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan pernikahan ini. Aku tahu kalau Argat memintaku untuk menandatangani surat gugatan cerainya, tetapi aku juga tidak bisa egois dengan mengorbankan kebahagiaan ibu, mama dan Maya. Mulai sekarang kuputuskan bahwa aku menolak gugatan cerai yang diajukan Argat. Aku akan melakukan apa pun demi bisa menyelamatkan rumah tanggaku.

"Delisa," ucap Ibu menyentuh pundakku.

"Iya, Bu. Kami baik-baik saja."

Keesokannya aku sedang merebus air. Ibu merasa tidak enak badan, jadi ibu ingin mandi dengan air hangat. Sambil menunggu rebusan airnya mendidih, aku berniat ingin membuat mi instan. Namun, gunting yang kucari tidak ada di sini. Sebenarnya ada pisau, tetapi aku lebih nyaman menggunakan gunting untuk menggunting bungkus bumbunya. Tidak ada gunting di kamarku. Mungkin ada di kamar ibu. Aku mencari ke laci untuk menemukan guntingnya. Bukannya gunting yang kutemukan, aku justru menemukan obat-obatan. Obat-obatan ini masih banyak. Kemungkinan ibu baru saja berobat. Ibu sakit apa?

"Delisa," panggil Ibu.

Ibu memasukkan kembali obat-obatan itu ke dalam laci. Ibu juga terlihat tidak senang saat aku menemukan obat-obatan ini.

"Kau sedang mencari apa?" tanya Ibu dengan raut wajah yang panik.

"Aku sedang mencari gunting. Apa Ibu punya gunting?" tanyaku.

Ibu membuka laci yang lain dan memberikan guntingnya padaku. Aku langsung pergi begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Lebih baik aku menyelidikinya secara diam-diam.

TOK…TOK…TOK…

Setelah mematikan kompor, aku pergi ke depan untuk membuka pintunya. Spontan aku mundur satu langkah saat melihat Argat. Surat gugatan cerai itu langsung terbayang di kepalaku. Bagaimana kalau Argat marah dan diketahui oleh ibu? Tidak, aku tidak akan emmbiarkan itu terjadi.

"Argat, aku belum menandatangani suratnya," ucapku berterus terang.

Tanpa kukatan sepertinya Argat sudah tahu kalau surat itu belum kusentuh sama sekali. Aku menengok ke belakang karena takut ada ibu di sana. Kututup pintunya dan memilih berbicara di luar.

"Aku bisa jelaskan semua, tetapi jangan sekarang. Aku tidak ingin Ibu mendengar apa yang terjadi di antara kita," mohonku.

"Pak ambilkan amplopnya!" perintah Argat.

Pak Hasan keluar dari mobil dengan membawa amplop berwarna cokelat dan menyerahkannya pada Argat. Argat kemudian mengambil bolpoin di sakunya dan mengeluarkan suratnya. Tanpa berbasa-basi Argat menyodorkan surat dan bolpoin itu padaku.

"Aku tidak bisa menandatanganinya," ucapku yang membuat raut wajah Argat berubah.

Argat sedikit meremas ujung kertasnya. Aku bisa melihat sebelah tangannya yang mengepal hingga menampakkan otot-ototnya. Kali ini aku akan menerima kemarahannya.

"Aku tidak ingin bercerai darimu," ucapku yang membuat Argat langsung membanting kertasnya.

"Jangan membuatku marah, Delisa," ucap Argat menajamkan kata-katanya.

"Aku ingin mempertahankan rumah tangga kita," ucapku.

"Omong kosong!"

Argat mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Tingkahku membuat Argat frustrasi.

"Setelah berulang kali mengelak, akhirnya kau mengaku. Kau memang sengaja melakukan ini," ucap Argat.

"Percayalah padaku. Sejak awal aku tidak memiliki niat untuk memisahkan kalian. Semua yang kulakukan adalah demi Maya," ucapku.

"Maya sudah pergi, kan? Aku bahkan tidak bisa menemukan keberadaannya. Kita bisa berpisah tanpa sepengetahuannya," ucap Argat mulai memelankan suaranya.

Argat mengambil selembar kertas yang sudah agak kusut itu dan bolpoinnya. Aku mendongak ke atas untuk menahan air mataku supaya tidak jatuh. Argat kemudian menyerahkan kertas itu ke tanganku.

"Lakukan ini demi aku dan demi kita," ucap Argat.

Aku kembali teringat dengan seluruh isi pesan dari Maya. Bagaimana Maya menyemangatiku untuk tidak menyerah. Sekarang aku baru ingat, Maya menghilang dariku setelah aku mengirim pesan bahwa aku sudah berhasil. Apa Maya merasa aku benar-benar berhasil? Itu sebabnya Maya menghilang dariku? Jika Argat saja tidak bisa menemukan Maya, lalu bagaimana denganku?

"Aku tidak ingin menyakiti mereka semua," ucapku yang membuat Argat kehilangan kesabaran lagi.

"Lalu apa maumu?" tanya Argat tanpa melihatku.

"Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya," mohonku.

"Sudah tidak waras. Aku tahu, kau pasti mengambil keuntungan ini, kan? Sekarang kau senang karena sudah berhasil mendapatkanku. Itu yang kau inginkan sejak awal," ucap Argat mulai menuduhku seperti kebiasaannya.

"Sampai kapan kau akan berhenti menuduhku?"

"Sampai kau mau menandatangani surat ini! Buktikan padaku bahwa tuduhanku memang salah!"

Aku tidak pernah mengira jika semuanya akan menjadi serumit ini. Kukira aku hanya diminta untuk memenuhi satu permintaan saja, tetapi tidak. Aku lupa bahwa pernikahan melibatkan dua keluarga. Mengapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya? Namun semuanya sudah terjadi dan yang bisa kulakukan hanyalah memilih.

"Bagaimanapun aku akan tetap menceraikanmu. Aku tidak akan menyerah," ucap Argat.

Aku bersimpuh di hadapannya dengan harapan Argat akan memberiku kesempatan. Biarkan saja aku merendahkan diriku sendiri asal Argat tidak menceraikanku. Begitu mendengar suara kenop pintu yang ditekan, seketika aku langsung berdiri.

"Argat. Ayo masuk, Nak," ucap Ibu mempersilakan Argat.

"Ibu, Argat harus segera pergi karena ada urusan penting di kantornya," ucapku.

Aku menatap ke arah Argat untuk memberikan isyarat supaya mengendalikan kemarahannya. Aku sedikit takut jika Argat tetap menunjukkan kemarahannya pada ibu. Aku tidak akan bisa menerimanya.

"Mungkin lain kali saja," ucap Argat kemudian pergi dari hadapan kami.

"Argat sedang tergesa-gesa, Bu."

"Kalian bertengkar? Suamimu terlihat marah," ucap Ibu merasa tidak tenang.

Aku menuntun ibu masuk ke dalam. Dengan perasaan yang teriris-iris, aku mencoba tetap tersenyum pada ibu. Mau sampai kapan aku terus berpura-pura seperti ini? Berpura-pura memiliki rumah tangga yang harmonis di hadapan ibu. Sampai kapan aku akan membina rumah tangga yang berselimut permintaan dan prasangka ini?

Siguiente capítulo