webnovel

PYL 4 Kebangkitan 

PYL 4

-playlist chapter: Prelude in C Major, BMW 836 by Johann Sebastian Bach, Alistair McGowan

...

Seperti gempa yang bergerak pelan namun penuh guncangan serampangan. Perlahan tanah di sekitar Bono terbang naik lalu berputar mengelilingi tubuh besarnya. Kejadian itu hanya berlangsung dalam hitungan detik membuat kedua mata Bono hanya bisa menatapnya kaget.

Di dalam tabir tanah basah yang berputar dengan kecepatan tinggi, Bono merasa sesak yang perlahan menahan paru-parunya berfungsi normal. Serpihan-serpihan tanah dalam ukuran kecil tidak sengaja ikut terhirup oleh hidung besar Bono.

"Apa yang kamu lakukan, bocah?!" pekik Bono sangat terkejut.

Semula Bono hanya tahu jika Vin cukup dengan mengendalikan benda-benda rongsokan atau benda tidak berguna lainnya. Tapi kali ini tanah basah?

Tidak banyak orang berbakat yang mampu membuat gerakan seperti yang Vin lakukan saat ini. Mengangkat tanah basah ke udara dan membuatnya melayang, berputar dengan kecepatan tinggi bagi para telekinesis itu sangat jarang.

Tanah basah yang saat ini mengeliling Bono dan sedang berusaha membunuhnya, tidak bisa dikatakan main-main. Bono mencoba bergerak untuk melepaskan diri dari lingkaran neraka tersebut namun usahanya sia-sia.

Lama kelamaan area di sekitar Bono berubah gelap karena tanah basah yang pekat dan aroma yang menyesakkan. Bono terbatuk tidak berhenti.

Disisi lain Pak Tua yang menyaksikan anak kandungnya sedang dalam bahaya berusaha mendekati Vin yang berkonsentrasi untuk membunuh Bono. Pak Tua sampai memohon dan memeluk kaki Vin yang sudah kembali tegap.

"Anak muda, tolong lepaskan Bono. Dia hanya sedang tersesat. Anakku tidak boleh mati seperti ini. Tolong berikan dia kesempatan kedua." Pak Tua menangis, jauh dalam lubuk hatinya Pak Tua sadar jika tidak akan ada yang berubah meski dia mencoba.

Bono dengan pendirian akibat salah pergaulan dan Vin yang merasa terancam karena Bono sengaja menyakiti adik perempuannya, Vera. Gadis remaja itu tidak berhenti menangis dan berteriak hingga suaranya serak memohon Vin berhenti.

"Kakak, tolong hentikan." raung Vera, berjalan mendekat dan meraih tangan Vin yang berkeringat dingin.

Tapi Vin tidak bisa mendengar teriakan Vera atau ratapan Pak Tua. Vin dalam pengaruh kekuatannya yang tiba-tiba kembali melonjak drastis.

Tangan Vin mengepal kuat dan fokus pandangan matanya hanya kepada Bono yang sudah mulai tercekik oleh gelombang tanah basah. Tidak ada yang lebih menakutkan dari pada itu di tempat itu.

Vin, dalam pengaruh euforia kebangkitan. Telekinesis yang selama ini Vin pendam dan hanya Vera yang tahu tidak bisa dikendalikan. Akhirnya memakan sisi kemanusiaan Vin sendiri. Seorang remaja laki-laki yang dikuasai kekuatannya sendiri dan berpotensi menimbulkan bencana yang jauh lebih besar jika tidak segera di hentikan.

"..."

"Gadis muda, tolong hentikan kakakmu. Jika Bono harus mati dengan cara seperti ini maka aku harus merelakan. Tapi aku tidak bisa melihat titik terang untuk saudara laki-lakimu jika dia terus dikuasai oleh kekuatannya sendiri." bisik Pak Tua, mencoba menasihati Vera.

Segera Vera mengangguk mengerti. Vera juga berpikir seperti itu. Jika Vin terus dibiarkan seperti ini maka bisa jadi mereka berempat akan mati terkubur di tempat ini.

Tanpa ragu Vera berlari ke arah Vin. Memeluk punggung Vin dengan sangat erat. Vera mengusap dada Vin sebagai tanda kalau dia harus segera menghentikan perbuatannya.

"Kakak, tolong sudahi ini. Tempat ini akan hancur dan kita tidak akan punya rumah lagi. Tolong dengarkan aku, Kak." bisik Vera di telinga kanan Vin.

Mendengar bisikan adik perempuan satu-satunya, Vin menoleh ke arah belakang. Vin bisa melihat dengan jelas air mata Vera yang membasahi kedua pipinya. Membuat debu tanah liat menempel di pipi putih Vera.

Tidak ada lagi gambaran kecantikan alami yang Vera tunjukkan. Tapi kengerian akan perbuatan Vin yang di luar batas. Saat Vin menyadari itu, salah satu tangannya mengelus ujung kepala Vera lembut.

"Apa yang sudah aku lakukan?" tanya Vin kebingungan.

Dalam beberapa kasus. Ketika seseorang dikuasai kekuatannya saat kebangkitan maka bisa dipastikan pikirannya kosong. Vin sama sekali tidak sadar apa yang telah dia lakukan adalah kesalahan besar.

Untuk remaja laki-laki berusia tidak lebih dari tujuh belas tahun itu, saat melihat pemandangan mengerikan di depan matanya langsung tercekat. Kilatan di matanya jelas ingin mengatakan kalau dia tidak menyadari semua yang dia lakukan saat ini.

"Tolong berhenti kak." pinta Vera sekali lagi.

"Anak muda, tolong berhenti. Jika tidak maka tubuhmu yang akan menderita." lanjut Pak Tua prihatin.

Meski Pak Tua tetap mengkhawatirkan nasib anaknya, Pak Tua juga tidak bisa mengabaikan kondisi Vin dan Vera yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Pak Tua sangat mengerti tentang beratnya memiliki beban kekuatan yang luar biasa seperti yang Vin alami.

Secara perlahan, pusaran tanah basah di sekitar mereka mulai reda. Langit kembali cerah. Gerimis sudah tidak ada lagi. Hanya digantikan sebuah pelangi di atas salah satu atap gedung yang hampir roboh.

"Apa aku sudah keterlaluan?" tanya Vin seperti orang bingung. Manik matanya berpindah dari sudut ke sudut lain untuk mencari kebenaran itu.

"Tidak apa-apa, kak. Semua sudah berakhir." bisik Vera terus mencoba menangkan.

Dada Vin yang berdetak cepat terus Vera usap pelan. Karena itu satu-satunya cara yang Vera tahu untuk menenangkan kakak laki-lakinya yang sedang shock.

Tidak ada lagi gumpalan tanah basah yang mengambang di udara. Tidak ada lagi penampakan Bono di depan mereka membuat Pak Tua semakin merasa khawatir. Dengan tertatih Pak Tua berjalan ke tempat di mana Bono seharusnya berdiri beberapa menit yang lalu.

"Bono. Bono, di mana kamu?" kata Pak Tua lemah. Perasaannya semakin tidak jelas ketika matanya terus memandang ke sekitar tanpa adanya tanda-tanda keberadaan Bono.

Vera yang menyadari kegelisahan Pak Tua, mencoba bertanya kepada Vin.

"Di mana penjahat bertopeng itu kak?" takut-takut Vera mengatakan itu.

Vin hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Saat dirinya kehilangan kesadaran, Vin sama sekali tidak bisa mengingat apa saja yang sudah dia lakukan.

Hening.

Senyap.

Kontras dengan pemandangan pelangi yang biasanya mampu membuat Vera tersenyum lebar. Namun hari ini Vera tidak bisa melakukannya. Karena Vera bisa memastikan akan tiba saatnya Vin dibawa oleh orang-orang berseragam khusus ke kantor polisi.

Sayangnya, air mata Vera tiba-tiba mengering ketika dia ingin benar-benar menangis. Menangisi nasib kakak laki-lakinya yang malang. Nasibnya sendiri, tentu saja.

"Apa itu?" tunjuk Vin pada sebuah gundukan tanah tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah gumpalan tanah dengan siluet jari tangan manusia berukuran besar. Selanjutnya Vin hanya bisa menelan ludah ngeri.

...

-TBC-

Yuk dukung cerita ini dengan tambahkan dalam daftar bacaan kamu, tulis komentar atau review, vote dan power stone supaya yang menulis jadi tambah semangat.

Terima kasih telah membaca dan semoga harimu menyenangkan.

Siguiente capítulo