webnovel

Di rumah kakek

"Hai, Cantik. Apa kabar?" Joni mencium pipi kanan bocah itu dengan lembut. Tania hanya tersenyum dengan beberapa kali mengedipkan mata besarnya nan menggemaskan.

Nampak sekali kalau Joni sangat menyayangi Tania begitupun sebaliknya. Tania bergelayut manja cukup lama pada si sulung hingga dia yang meminta untuk turun.

Kakek, nenek, papa, om, dan tante, mereka semua sedang tidak ada di rumah. Kemungkinan terbesarnya adalah mereka sedang berbincang di halaman belakang dekat kolaam ikan. Disana memanglah tempat favorit untuk mereka, namun tidak begitu nyaman untuk tiga remaja dan satu bocah kecil yang lebih menginginkan sibuk dengan urusan sendiri.

"Kak, main sepeda, yuk!" ajak bocah kecil yang rambutnya diikat dua itu.

"Huwaaahhh … kak Juno masih terlalu lelah karena perjalanan jauh, Tania. Kakak mau tidur dulu ya, kamu main sama kak Joni saja …," ujar Juno yang menggeliat segera memejamkan mata. Dia sedikit melirik Joni sebelum benar-benar berpura untuk terlelap.

"Kak Joni masih mengerjakan tugas nih, Sayang. Kalau Tania mau menunggu, ini tidak akan lama. Tapi … kalau Tania mau main sekarang, bisa sama kak Jeje. Gimana?" ujar Joni dengan manisnya. Dia menatap Tania lalu tersenyum.

"Emm … main sama kak Jeje saja deh. Tania tidak suka menunggu …," gumam Tania yang segera menghampiri Tania yang sedang duduk di sofa dengan memainkan ponsel.

"Aku?" Jeje menatap kedua saudaranya, "Tapi aku …," ucapan Jeje tertahan. "Argh baiklah! Ayo kita main, Tania. Kita harus bersenang-senang!' Jeje segera bangkit dengan sebelumnya dia melemparkan batal sofa pada Juno yang mengintip dari kepalsuan tidurnya.

Jeje segera meletakkan ponselnya dan keluar dengan langkah yang dipimpin oleh sepupu kecilnya.

Hanya mehelakan napas panjang, Jeje sudah memiliki firasat yang tidak baik dengan ini. Joni dan Juno penasaran dengan apa yang kan terjadi, keduanya segera menatap kearah jendela untuk menonton.

"Kak Zea semangat ya! Kamu harus bersenang-senang disini, Kak!" teriak Juno riang yang membuat Jeje semakin kesal.

Jeje membenarkan ikatan rambutnya. Melirik kearah kedua saudaranya yang nampak menertawakan dia dari dalam rumah.

"Jadi, kita mau bermain apa?" tanya Jeje dengan ramahnya.

"Main sepeda," ujar si kecil Tania yang segera menghampiri sebuah sepeda kecil yang terparkir di dekat taman depan rumah kakek.

"Wahh …," keluh Jeje. Dia tidak dapat berpikr jernih untuk seketika.

"Ayo kak Zea juga ikut naik sepeda. Kita balapan," seru Tania dengan girang.

"Kan sepedanya tidak ada. Kak Zea menemani Tania saja ya … biar kakak dorong dari belakang," ujar Jeje yang bersiap berada di belakang sepupunya itu. "Lagipula, kalaupun kakak naik sepeda kamu, itu tidak akan muat. Kak Zea sudah besar," tambahnya.

Faktanya, Jeje tidak bisa menaiki sepeda. Dia bahkan belum pernah mencobanya selama ini.

"Kak Zea pakai sepeda punya kakek saja. Itu disana. Kakak pasti bisa, karena itu besar."

"Sial!" umpat Jeje spontan. Beruntung bocah kecil itu tidak mendengar.

"Ayo, Kak! Kita balapan! Ayolaahhh …," rengek Tania dengan gemasnya.

Jeje menatap bocah itu, dia kesal sekali namun tidak dapat melampiaskan kekesalannya itu dengan mudah.

Tania menarik-narik baju Jeje dan terus memintanya untuk menaiki sepeda kakek. Ekspresi Jeje semakin tidak baik, dia melirik Joni dan Juno yang ketawa ketiwi dengan memberikan semangat untuknya dari dalam rumah.

"Ahh kenapa begini," keluh Jeje.

Dia segera menghampiri sepeda itu dan menaikinya. Hanya berpikiran posisitif, menaiki sepeda tidaklah sesulit yang ia bayangkan. Hanya perlu naik, duduk dan mengayuh.

Huft.

"Ini tidak sulit, Jeje!" ujarnya yang memberi semangat untuk dirinya sendiri.

Melihat Jeje yang telah berada diatas sepesa dan nampak siap balapan, Tania segera mendorong sepeda itu dengan kuat sehingga Jeje panik. Beruntung, dia masih bisa menahan tubuhnya.

Hal yang paling menyebalkan adalah, rupanya Tania masih ingin mendorong Jeje lagi. Ketika keduanya telah berada di jalan raya, Tania kembali mendorong Jeje yang sangat lambat. Kakak sepupunya itu bahkan tidak mengendarainya, hanya naik dan melangkah dengan kaki.

"Kak Jeje semangat!" teriak Tania setelah berhasil mendorong sepeda Jeje untuk kedua kalinya hingga Jeje meluncur kencang ke jalanan yang menurun.

"Tania!" teriak Jeje yang geram.

"Yeay kak Jeje keren!" Tania kegiarangan.

"Ah ya ampun, Jeje!" Joni dan Juno segera berlarian keluar rumah dan menghampiri Tania yang masih berdiri di tepi jalan seraya menatap jalanan menurun yang tadi dialui Jeje.

"Dimana dia?" gumam Joni yang sama sekali tidak melihat penampakan dari Jeje.

"Kak Jeje keren banget! Dia meluncur sampai jauuh banget, Kak." Tania menatap Joni dengan wajah polosnya.

Sedih. Joni dan Juno berharap kalau saudarinya itu bisa mengatasinya dengan baik.

"Wahh ini bagaimana mengeremnya?" Jeje kebingungan. Dia semakin panik setelah dia berselisihan dengan motor dari arah berlawanan, hingga akhirnya …

BRAK!!

"Argh! Aduhh!" Jeje kesakitan. Dia baru saja terjatuh dan terjepit oleh badan sepedanya setelah ban sepedanya menabrak sebongkah batu yang menghalangi jalanan.

Tubuh Jeje menyusup ke dalam selokan yang kotor dan bau. Dia hanya bisa mengumpat dan berkata kasar karena hal ini.

"Dasar bocah kecil sialan! Bisa-bisanya dia mendorongku seperti itu," geramnya. Dia kesulitan bangun karena tubuhnya ersangkut di dalam dan tertimpa sepedanya.

Tubuhnya terasa sakit semua, sesekali dia mehela napas panjang dan kembali berusaha untuk bangun.

"Kamu baik-baik saja?" tanya seseorang yang telah berada di dekatnya dengan mengulurkan tangan pada Jeje.

Dengan berhati-hati dan ragu, Jeje menjulurkan tangan siap untuk menerima bantuan. Namun sialnya, pria itu malah menarik sepeda yang sebelumnya telah berhasil sedikit digeser oleh Jeje.

"Seharusnya kamu lebih hati-hati! Kasihan sepedanya jadi lecet begini." Pria itu segera mengecek bagian-bagian dari sepeda itu yang rusak karena benturan cukup keras.

"Sepeda ini parah, kamu harus membawanya ke bengkel," ujar pria itu lagi. Dia segera bangkit dan pergi begitu saja, dia bahkan tidak mempedulikan Jeje yang masih belum keluar dari selokan.

"Hey! Kamu tidak ingin menolongku?" teriak perempuan itu nyaring. Dia kesal sekali dengan pria itu. dia terdengar sedikit merintih karena bagian lututnya yang lecet juga bagian sikunya yang sangat ngilu karena terbentur batu.

"Seorang kapten basket, perlu bantuan untuk berdiri?" tanyanya.

Jeje hanya mendengkus. Entah kenapa, beberapa kali bertemu dengannya, Jeje selalu terbawa emosi. Dia adalah Tian, pria yang memberikan sapu tangan padanya saat ia cidera karena bertanding.

Tian kembali menghampiri Jeje, dia mengulurkan tangannya yang kali ini dia tulus.

Jeje yang sudah tidak ingin ditipu, mengabaikannya. Dia berusaha untuk bangun sendiri dengan kaki yang sangat sulit untuk digerakkan akrena sepertinya itu keseleo.

"Ah ya ampun! Kenapa kamu merepotkan sekali!" gerutu Tian yang segera masuk ke selokan dan menggendong tubuh Jeje yang lebih kurus darinya itu.

Jeje terkejut dengan sikap pria itu. Dia tidak pernah menyangka kalau akan mengalami hal seperti ini dengan Tian. Memalukan, itulah yang dipikirkan Jeje.

"Turunkan aku!" pinta Jeje. "Argh! Terimakasih banyak," ujar Jeje yang segera pergi setelah diturunkan oleh Tian. Dia memaksakan diri untuk terus berjalan menuju rumah kakek padahal dia terseok.

Jelas sekali kalau di tubuhnya banyak luka, namun Jeje memilih untuk mengabaikan semuanya.

Tian hanya diam mematung. Dipandanginya sosok perempuan itu dari belakang. Lengan kanan Jeje terluka, lututnya juga, pergelangan kaki kirinya juga nampak memar. Tian membiarkannya pergi, karena dia tidak akan memberikan bantuan jika perempuan itu tidak memintanya.

***

Siguiente capítulo