webnovel

"Kau menyembunyikan sesuatu dari ku?"

"Enak saja, di pikir dia siapa sampai berani menganiaya ku? Ku laporkan pada kak Mike, baru tau rasa."

Gerutu Bian yang masih tak habis-habis mengingat peristiwa siang tadi. Langkah jalannya bahkan sampai menghentak-hentak dengan wajah mencerung. "Hiat! Hiat!!!" Tinjuannya melesat di udara membayangkan Devan yang menjadi sasarannya.

Bodohnya, pada situasi asli menjadikannya tak berdaya. Tak bisa membela diri perkara hak pribadi walau sememalukan apa yang telah di lakukan. Lagi-lagi memposisikannya seorang yang begitu jelas terkekang aturan. Devan menghukumnya dengan alasan menyalahi profesionalitas kerja. Di luar batas waktu kerja sesuai dengan yang di langgar, memerintahkannya untuk mengatasi masalah cucian perkakas sampai tangannya pucat keriput.

Mendadak makin memelas melihat makin banyaknya kecacatan di kesempurnaan jengkal tubuhnya. Lebih miris, "Aku yang akan mati kalau melaporkan tindakan kejam Devan. Alasan bajingan itu jelas-jelas merepotkan posisi ku. Aku yang masturbasi di tempat kerja? Sialan! Bukannya mendapatkan pembelaan, pasti aku yang akan di anggap lebih buruk oleh Mike."

Makin pusing, tak menemukan solusi untuk sekali saja menang dari dari Devan. Bian benar-benar butuh istirahat, melompat ke kasur bututnya dan bermimpi mesum, setidaknya untuk melanjutkan pelepasannya yang tertahan.

Tanggungjawab menutup restoran sepenuhnya. Karyawan lain ngibrit tak sudi untuk beberapa menit menunggu. Tak merasa perlu melakukan pengecekan ulang, mengabaikan deretan gerai di sekitarnya yang begitu sepi, pandangannya langsung tertuju pada motor gede tanpa pengemudi yang biasa nangkring siaga di sana.

"Ckck! Tio kemana, sih?!" Dongkol, meraih ponsel berniat untuk menghubungi sang kawan.

Tapi belum sempat nada dering panggilan terdengar, suara nyata yang melengking menyentak indra pendengarannya.

"PENJAHATTT... Tolong!!!"

Yang sangat familiar, sampai-sampai Bian sama sekali tak ada niatan untuk menghampiri sumber suara atau sekedar penasaran. Nadin bukan urusannya.

Bugghh

"Hoy! Jangan coba-coba ikut campur masalah kami, ya!"

Bughh

"AKHHH!!!"

Sampai akhirnya suara teriakan Nadin membuat kaki Bian refleks berlari secepat mungkin. Sungguh, benar-benar hanya keterjutan tanpa bisa di kendalikan, Bian tak merasa empati sedikit pun kalau-kalau terjadi hal buruk menimpa wanita itu.

Bughh

Bughhh

"RASAKAN INI! SETIDAKNYA BIAR KAU TAU TELAH BERURUSAN DENGAN SIAPA!"

Posisi restoran terletak di paling ujung, dekat taman. Malam hari begitu sunyi, gelap, meski terhalang pohon-pohon adalah jalan raya. Hal yang sempat terbesit namun masih membuatnya terkejut setengah mati.

Empat orang pria asing nampak begitu garang mengeroyok dua orang yang nampak tersungkur tak berdaya.

"Bangga sekali kau di lindungi kekasih mu, eh?! Baiklah, aku akan membuatnya makin romantis."

Bughh

"Akhh!"

Nadin yang bodohnya sok pahlawan, menamengi seorang pria di dekapannya dari pukulan-pukulan yang tak hentinya terus menyerang. Yang membuat Bian tersentak dan tak bisa lebih lama lagi menjadi penonton, sasaran para penjahat itu adalah Tio.

"Akhh!!! Sakitt!"

"Bangsat! Pergi kalian! Jangan sakiti kawan ku...!"

Teriakan Bian yang akhirnya mengintrupsi kegaduhan. Dengan tangan terkepal erat, mata melotot, napas menderu seakan tanpa gentar melawan beberapa pria bertubuh kekar yang kini menatapnya sebagai sasaran empuk selanjutnya.

"Jangan ikut campur!"

Makin parah, ucapan Bian yang menantang menyulut amarah mereka makin menjadi. "Preman tengik. Karena kalian menahan tukang ojek ku, waktu istirahat ku kini yang malah terganggu. Begitu bajingannya kalian!"

"Dasar lancang!"

Keempat preman yang serentak meninggalkan Tio dan Nadin yang seketika lega karena sejenak merasa terselamatkan. Bian yang menjadi ganti, namun bukan berkorban terlalu bodoh sampai menyerahkan tubuh remuknya untuk di hantam. Setidaknya, ia bisa memaksakan kedua kakinya untuk berlari secepat mungkin, sambil berteriak kencang,

"Tolong... Tolong...!!! Ada preman...!!!"

"Woy! Jangan macam-macam, kau!"

Situasi sekilas mirip tawuran sma di mana Bian pihak musuh tertinggal yang di jadikan target pengancaman. Hanya saja pria mungil itu begitu gesit. Mengecoh empat pria gempal yang sayangnya amat lamban seolah otot yang menggembung malah menjadi beban.

"Tolong...! Ada begal!!!"

Beruntungnya Bian yang sudah sampai tepi jalan, mendapatkan perhatian dari beberapa pengendara yang kebetulan lewat. Cukup ampuh membuat para bajingan itu lari ngibrit sebelum di hakimi masa.

"Dasar pengecut!"

"Aku akan menandai wajah mu, bocah!"

Bian takut? Tentu saja tidak!

Mengucapkan terimakasih pada beberapa orang yang berhenti dan tanpa sadar telah menolongnya. Kemudian menghampiri Tio yang tak kuasa menumpu mandiri tubuhnya, dengan sewot mengambil alih sang kawan dari Nadin yang memapah.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Rasanya rahang ku hampir remuk, Bi..." Perhatian Tio yang begitu cepat berpaling, untuk Nadin. "Nona, bagaimana keadaan mu? Apa perlu ku antarkan kau ke rumah sakit? Takutnya ada luka dalam." Cemas, seolah keadaan mirisnya sendiri tak di pedulikan.

"Jangan berpikir kalau aku adalah wanita yang lemah. Sungguh, aku baik-baik saja."

"Mengorban diri untuk di pukuli seperti tadi?"

"Khawatirkan diri mu dulu. Entah berapa lama mereka mengeroyok mu sebelum kedatangan ku, bahkan wajah mu sudah babak belur, sekarang-"

"Tidak, aku baik-baik saja. Jika tak ingin ke rumah sakit, izinkan aku mengantarkan mu pulang-"

Bian makin kesal, merasa cadangan yang di abaikan.

"Diam." Menyentak lengan Tio di bahunya sampai membuat pria itu terhuyung. "Kau masih menawarkan bantuan pada orang lain saat di sisi bersamaan membuat ku kerepotan seperti tadi?! Bahkan waktu istirahat ku terlewat hanya karena kejadian ini!"

Bian benar-benar merajuk, amat sensitif terlebih saat berurusan dengan Nadin. Sialnya, sama halnya dengan Devan, posisinya selalu tak beruntung. Tio terlalu kesakitan sampai tak bisa bawa motor. Alhasil wanita itu bersedia bolak-balik mengantar mereka pulang.

"Kau pulanglah dulu, aku bisa menahan rasa sakitnya. Kau harus segera beristirahat."

Dan Tio yang menyarankan dengan begitu lemah. Sialan! Hanya dengan seperti itu sudah menjadikannya seperti orang egois yang tak punya hati.

Sampai di rumah, jangan harap Bian langsung tidur, alih-alih malah terganggu dengan interaksi dari Tio dan Nadin yang duduk berhadapan di atas tikar.

"Besok akan ku minta rekaman cctv nya, kalian harus melaporkan orang-orang bejat itu ke kantor polisi."

"Tak usah. Aku hanya pria miskin yang tak berani meminta keadilan atau segalanya akan makin runyam."

Awalnya ingin marah karena terganggu dengan keberisikan keduanya, kalau saja ucapan Nadin yang ada benarnya. Membuatnya terlonjak bangun dari baringannya.

"Aku setuju dengannya. Besok, kita ke kantor polisi!"

"Bi, sungguh... Ini mungkin hanya karena kesialan ku." Bujuk Tio supaya tak memperpanjang masalah. Saran Nadin mendapatkan keberpihakan dari Bian yang pemaksa.

Yang paling buruk, kawannya itu sampai menduga-duga sebuah kesialan menjadi akibat dari suatu perbuatan bejat. "Kau menyembunyikan sesuatu dari ku? Katakan, kau tak sedang lari dari tanggungjawab menikahi seorang gadis yang telah kau hamili sampai-sampai membuat seorang ayah murka, kan?"