webnovel

Meninggikan Suara

'Apa?! Bianka meminta maaf kepadaku? Dan mulai berbicara kepadaku? Apa aku tidak salah dengar? Benarkah itu? Semoga ini adalah awal yang baik.' Batin Bisma yang tak percaya. Hatinya kini dipenuhi kebahagiaan yang luar biasa, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi. Bagaikan tersirami oleh air hujan yang sungguh sejuk di dalamnya.

Seketika Bisma yang sedari tadi menunduk pun menoleh ke arah Bianka. Tersenyum tipis dan berpura-pura sok jual mahal, senyuman Bisma itu Bianka tidak dapat melihatnya. Matanya juga sedikit berkaca-kaca dan membalas Bianka dengan anggukan kepala saja.

"Apa kamu memaafkan kita Bisma?" tanya Bianka lagi yang semakin tulus dalam berucap. Bisma yang berpura-pura sok jual mahal ada rasa tak tega dan sontak langsung membalasnya.

"Iya, tidak apa-apa. Memang tidak ada yang salah kok, bukankah memang manusia harus saling menolong? Jadi santai saja, Cin ..." Belum usai Bisma meneruskan kata-katanya. Dan mulutnya itu dibungkam dengan satu tangannya. Padahal niat Bisma sok jual mahal mulai dari sekarang, agar terkesan macho dan dingin. Gentle dilihat dari sisi lelakinya juga terlihat keren, tapi ternyata masih saja mulutnya itu suka keceplosan. Mungkin memang dirinya sudah sifat kodratnya seperti itu, sifat yang ceria dan tidak membosankan, jadi tidak akan bisa berubah menjadi seperti lelaki yang dingin pada umumnya. Lagian Bisma hampir keceplosan memanggil Bianka dengan sebutan cinta segala tadi makanya dirinya mencoba mengontrol diri agar tidak sembarangan.

"Kalau begitu terimakasih atas semuanya, keluarga ini akan membalas budi baikmu dan tak akan melupakannya," balas Bianka. Bianka lalu menjauh dari Bisma kembali dan berada di samping ibunya saja.

Sementara Bisma hanya tersenyum saja, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, pikirannya kalau membalas Bianka lagi maka tidak akan ada habisnya rasa sesal dan terimakasih Bianka itu, dan itu semua agak membuat Bisma merinding rasanya, jadi Bisma menyudahi semua itu dengan diam, yang penting dirinya bisa melihat keadaan Bianka dan keluarganya itu sudah lebih dari cukup, dan yang dilakukan Bisma hanyalah menunggu papanya untuk keluar dari ruangan ayah Bianka sekarang. Karena sudah agak lama Bisma menunggu tapi doker Bagaskoro tidak kunjung keluar juga.

Akhirnya dalam kurun waktu hampir satu jam lamanya, keluarlah juga dokter Bagaskoro dengan wajah yang tak bisa ditebak oleh siapapun. Bisma yang sungguh penasaran terlebih dahulu menghampiri papanya, hati Bisma sudah mulai was-was. Merasakan kalau sesuatu terjadi kepada ayah Bianka itu.

"Pa, bagaimana keadaan beliau? Apa baik-baik saja?" tanya Bisma dengan dahi yang berkerut, karena semakin lama Bisma melihat wajah papanya yang rautnya sudah berubah-ubah itu, Bisma semakin tau jawabannya. Namun Bisma tidak ingin hanya menebak-nebak saja, jadi ingin tau secara langsung dari mulut papanya kejadian yang sebenarnya.

Dokter Bagaskoro pun menggeleng dengan cepat, menunduk dengan penuh penyesalan. "Maksud, Papa? Apa ayah Burhan meninggalkan kita untuk selamanya?" tanya Bisma yang semakin memperjelas tebakannya itu. Aslinya Bisma tidak ingin berucap hal yang menyakitkan seperti itu, tapi dia harus membantu papanya yang sulit untuk mengucapkan rasa sedih itu dari mulutnya.

"Apa maksudmu, Bisma? Heeey jangan sembarangan!" sahut Bianka yang sudah mulai meninggikan suaranya karena tak terima. Kakinya dengan cepat di langkahkan agar semakin mendekat ke arah dokter Bagaskoro. Bersama ibunya Bianka sekarang sudah sangat dekat dengan dokter Bagaskoro. Mencoba memastikan ucapan Bisma itu. Tangan Bianka dengan cepat mulai menarik kerah baju dokter Bagaskoro dengan wajah yang sudah mulai terlihat bingung dan tak fokus.

"Nak, sabar! Kendalikan dirimu dulu! Jangan membuat Ibu malu! Ibu yakin ayah baik-baik saja!" seru ibu Bihana dengan berbisik, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, juga mencoba menenangkan putrinya. Dirinya tidak mau tenggelam dalam kesedihan dan mempercayai itu terlebih dahulu. Juga tidak mau menyalahkan Bisma lagi, sudah mulai menghormati Bisma mulai dari sekarang, selaku Bisma adalah anak dari dokter Bagaskoro yang mengatasi kesehatan suaminya itu.

Namun Bianka tak perduli lagi dengan ucapan ibunya itu. Bagi Bianka yang penting ayahnya selamat, makanya dia harus segera mengetahui keadaan ayahnya dengan tidak sabaran. "Dok, Ayah saya baik-baik saja kan? Cepat katakan, Dok!" Bianka mulai sesenggukan dan menangis. Dirinya mulai tau jawabannya karena suster juga ikut merubah wajahnya menjadi sedih dan ikut menundukkan kepalanya.

Dokter Bagaskoro yang tidak mau membisu lagi dan harus mengungkapkan semua ini walaupun berat, dirinya pun berucap dengan lantangnya. "Emmm maaf, dengan beribu-ribu penyesalan, kalau pak Burhan tidak bisa diselamatkan lagi, sudah meninggalkan kita semua, saya turut menyesal atas keadaan ini. Semua ini adalah takdir. Sekali lagi saya minta maaf. Saya turut berduka cita."

Bianka yang tak terima dan sedikit tak sadar dengan apa yang dilakukannya, semakin mencengkeram kerah leher dokter Bagaskoro. Akibatnya dokter Bagaskoro mulai terbatuk-batuk karena tak bisa bernafas. Bisma pun mulai membantu papanya untuk melepaskan cengkeraman Bianka. Bianka yang tersadar pun melepaskan cengkeramannya.

"Dokter berbohong kan? Tidak mungkin ayah meninggalkanku! Dosa, Dok kalau berbohong, jangan coba-coba Dokter membohongiku!"

Air mata Bianka terus menetes dan kini memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangannya. Sementara ibu Bihana tidak bisa berkata-kata, tenggorokannya terasa tercekat dan dirinya pun seketika tak sadarkan dirinya, akibat tidak mampu menerima semua ini.

"Ehhh, Ibu ... Ibuuuu. Bangun, Ibuuuu!" teriak Bianka yang melihat ibunya sudah tergeletak. Bianka mencoba menunduk dan membantu ibunya tapi kakinya terasa lumpuh dan tak bisa digerakkan karena tegang dengan semua kenyataan yang berat ini.

Bisma yang tidak bisa tinggal diam, dirinya pun membantu Bianka untuk membawa ibunya ke ruangan lain, agar bisa beristirahat dan pulih kembali. "Kamu tenanglah! Biar Ibu aku yang mengatasi, kamu bisa melihat ayahmu ke dalam," ucap Bisma yang sudah menggendong ibu Bihana dan berhamburan ke arah ruangan yang tak jauh dari ruangan ayah Burhan itu. Dibantu oleh suster untuk mengatasinya.

Dan dengan cepat Bianka pun langsung saja masuk ke dalam ruangan ayahnya. Ditemani oleh dokter Bagaskoro yang kebetulan dirinya tidak ada jam kesibukan lain, makanya dokter Bagaskoro mencoba menjaga Bianka demi putranya itu. Walau putranya belum dianggap oleh Bianka, tapi hitung-hitung rasa kemanusiaannya juga selayaknya dokter.

"Kamu yang sabar ya, Nak. Semua memang akan kembali ke sisi-Nya. Tinggal menunggu giliran saja masing-masing setiap umat manusia." Dokter Bagaskoro mulai memberikan ketenangan dan ucapan belasungkawanya.

Namun Bianka yang sudah kebanyakan pikiran itu dengan tangisannya pun menyembur dokter Bagaskoro dengan rasa sakit yang ia rasakan. "Apa Dokter bilang? Semua ini karena Dokter tidak becus dalam bertindak. Hingga ayahku meninggal, hiks, hiks. Dokter dengan entengnya berucap sabar, hah! Iya Dokter berucap seperti itu karena tidak pernah merasakan seperti apa yang aku rasa sekarang! Bayangkan kalau Dokter merasakan apa yang aku rasa! Pastinya Dokter tak akan terima!"

Siguiente capítulo