webnovel

Terpuruk

Satu jam telah berlalu. Akhirnya Bianka bersama kedua orang tuanya sampailah di kota X. Untung saja tempat kejadian kecelakaan itu tak jauh dari terminal bus, jadi Bianka dan kedua orang tuanya tak usah menaiki kendaraan lain lagi, hanya berjalan kaki beberapa langkah saja pastinya bisa sampai ke sana.

Bianka yang tidak sabaran, langsung berlari dengan langkah yang dipercepat ke arah orang-orang yang berkerumunan. Meskipun sudah tak seramai tadi, tapi masih ada beberapa orang warga di tempat kejadian. Bianka melemas ketika sudah sampai di depan garis lintas polisi. Ia yang tak kuasa langsung saja duduk bersimpuh dan menangis tersedu-sedu sembari memegangi garis lintas polisi itu.

Ayah Burhan dan ibu Bihana yang belum bisa menyusul anaknya karena mereka tadi hanya berjalan menuju ke tempat itu. Kini berlari dengan langkah dipercepat supaya bisa segera sampai didekat anaknya. Mereka dari kejauhan sudah tak kuasa melihat putri si mata wayangnya yang hancur berkeping-keping seperti itu. Hatinya ikut hancur seraya air mata menetes dengan sendirinya.

Keduanya langsung menepuk bahu Bianka secara bersamaan. Duduk berjongkok pula serta menatapi punggung anaknya ketika sudah sampai didekatnya. "Nak, jangan seperti ini, banyak orang yang melihat, kita tanya dulu kepada polisi, mungkin itu bukan Betran, kan kata kamu tadi dia baru berangkat jam 8, lah ini baru jam 8 masak sudah sampai di sini dia, kan enggak mungkin secepat ini, dia manusia gak akan bisa menghilang," ucap ibu Bihana dengan sedikit memberikan candaannya, memberikan harapan kepada anaknya, dengan begitu agar Bianka kembali bersemangat dan tak loyo seperti ini.

Bianka mulai mencerna ucapan ibunya. Pikirannya membetulkan ucapan ibu, tapi hatinya sungguh kacau dan sangat miris. Karena hatinya membetulkan apa yang dilihat sekarang, secara Betran tadi tak menjelaskan keberangkatan dia dengan jelas jam berapa, bisa saja ketika dia bilang mandi tadi adalah kebohongan dan langsung berangkat jadinya tiba dengan cepat. Semacam surprise untuk Bianka, tapi ternyata keadaan menjadi seperti ini. Jadi masuk akal juga dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Namun, dia masih tak terima dan ingin mendengar langsung dan jelas dari semua orang. Jadi kini ia bangkit dari duduknya. Menoleh ke arah ibunya, tersenyum kecut dan mengangguk. "Jadi, kita harus bertanya nih, Ibu?" tanya Bianka yang sangat labil sekarang.

"Ya, Nak, ayo kita tanya saja!" balas ayah Burhan. Yang kali ini beliau lah yang bertindak. Jadi ayah Burhan pun berjalan mendahului Bianka dan istrinya, menuju ke polisi yang masih sibuk meneliti informasi di garis lintas agak berjauhan dengan mereka.

"Pak, saya mau tanya, apa benar ini yang kecelakaan namanya, Betran Antonio? Kalau benar di mana orangnya sekarang? Kenapa hanya ada mobilnya saja?" Memang sengaja ayah Burhan bertanya secara mendetail supaya bisa mendapatkan jawaban cepat dan Bianka juga istrinya mendengar itu semua.

Polisi yang tadinya sangat sibuk dan hanya sesekali menoleh sembari mendengarkan pertanyaan ayah Burhan. Kini ia pun menanggapi serius, menatapi Burhan dari ujung kaki sampai puncak kepalanya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti penasaran terhadap Burhan.

"Maaf anda siapa? Apa keluarga saudara yang kecelakaan? Kalau betul, iya emang saudara yang kecelakaan bernama Betran Antonio, mobilnya hancur, tapi orangnya tidak ditemukan, entah terbakar dan terlempar atau bagaimana, kami di sini masih menyelidikinya, jadi belum bisa dipastikan dengan jelas kebenarannya," balas polisi muda yang gagah dan berbadan kekar. Sehabis itu dia sibuk mengurusi penyelidikan dan pergi begitu saja dengan anggukan kepalanya ke arah Burhan, tanda pamit dengan hormat.

Bianka yang mendengar itu semua, lidahnya serasa keluh, seluruh tubuhnya tak bergerak rasanya. Apalagi dia melihat mobil Betran yang sudah tak berbentuk itu. Bahkan ada polisi yang mendekat kembali dengan menyerahkan dompet serta ponsel Bianka. Membuat Bianka semakin tak kuasa.

"Terimakasih, Pak," seru ibu Bihana dan langsung membuka dompet itu. Sampai-sampai ibu Bihana terjingkat ketika melihat fakta adanya. Langsung saja ibu Bihana memberikan dompet itu kepada Bianka tanpa ditutupnya, supaya Bianka bisa melihat isi dompet itu sekarang juga.

"Be—Betran?" Bianka melihati dompet itu yang tepat benar-benar itu adalah milik Betran, suaminya. Karena ada foto yang tertera di dalamnya, bahkan ktp-nya jelas-jelas membuktikan itu semua. Lalu Bianka pun menggenggam erat dompet itu bersamaan dengan ponselnya. Dipeluknya erat yang menjadikan dadanya semakin sesak karena keterpurukan.

Lalu tiba-tiba Bianka pun pingsan seketika. Masih dengan memeluk erat dompet dan ponsel Betran. Untungnya ayah Burhan tak jauh dari Bianka jadi langsung saja ayah Burhan memeganginya. Hingga kini ayah Burhan pun menggendongnya.

"Pak, terimakasih atas bantuannya, saja permisi dulu mau membawa anak saya ke rumah sakit, nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi saya," ucap ayah Burhan sembari memberikan kartu nomor teleponnya. Pokoknya ayah Burhan benar-benar keren. Padahal dia bukan orang kaya bahkan orang kota. Tapi dia bisa membuat hal semacam itu, jadi sungguh sangat terlihat seperti orang-orang penting saja rasanya. Dengan begitu termasuk ayah Burhan sudah berjaga-jaga sejak dahulu.

"Sama-sama, Pak, pastinya nanti kami akan menghubungi Bapak kalau ada kabar info ditemukannya saudara, jadi yang sabar ya, Pak, banyak-banyak berdoa untuk keselamatannya, semoga saja saudara baik-baik saja." Ucapan pak polisi ini benar-benar menenangkan. Membuat ibu Bihana tersenyum dan mengangguk cepat. Lalu beliau mengikuti suaminya yang sudah berjalan mendahuluinya. Langkahnya dipercepat karena takut ketinggalan oleh suaminya.

Ayah Burhan sangat tau jelas di mana rumah sakit berada, karena beliau dulu pernah merantau ke kota ini. Jadinya tau dan pastinya tidak jauh dari tempat kejadian itu, seperti merupakan keberuntungan buat keluarganya.

"Ayah, tungguin Ibu, apa jauh rumah sakitnya? Yaaaah tunggu doooong," rengek Bihana karena merasa ditinggal oleh suaminya. Jelas dia kesulitan untuk mengejar suaminya yang kakinya panjang itu sedangkan dia tak seberapa tinggi.

Ayah Burhan menoleh dan tersenyum tipis. "Ayo, Buuu, enggak jauh kok, apa Ibu di sini saja? Biar aku saja yang mengantar Bianka ke rumah sakit," balas ayah Burhan yang sudah terhenti, menunggui istrinya, meskipun tak tertinggal jauh, tapi ya enggak enak juga dilihat orang, seperti sedang berantem saja, berjauhan seperti itu.

"Ibu ikut, ayo!" ajak Bihana ketika sudah didekat suaminya, dengan nafas yang menyembur keluar karena capek menyusul suaminya. Keduanya kini berjalan ke arah rumah sakit. Panik ketika tiba di rumah sakit mendengar Bianka merintih kesakitan dan mengigau dengan parahnya.

"Bianka, sadar, Nak, sadar! Jangan bikin Ibu cemas, Bianka, Biiiii. Ayolah Nak, jangan seperti iniiii." Ibu Bihana kini menangis karena takut putri nya kenapa-kenapa.

"Sus, Susteeeer! Tolong ini cepaaaat!" perintah ayah Burhan ketika sudah menaruh Bianka di atas brankar rumah sakit. Sungguh ayah Burhan juga sama takutnya, panik bercampur menjadi satu.

"Bersabarlah, Nak, bersabarlah!"

Siguiente capítulo