webnovel

Mencari solusi

Tante Inggrid sudah mengganti pakaiannya dengan meminjam pakaian milik ibu Veronica. Ia sedang duduk di teras milik keluarga Pandu. Ada Aden duduk di hadapannya, dan terhalang oleh meja kecil berbentuk bulat. Tante Inggrid tersenyum sangat manis, sorot matanya lurus memandang Aden yang sedang duduk sambil merundukan kepalanya.

Mereka berdua baru saja membicarakan tentang insiden yang menimpa keduanya.

"Gimana? kamu mau?" Tanya tante Inggrid setelah ia selesai memberi tahukan persyaratan kepada Aden, agar Aden tidak perlu mengganti rugi bajunya yang sudah rusak.

Tante Inggrid hanya meminta Aden untuk menemaninya kemanapun ia pergi. Mengingat bisnisnya yang berada di seluruh Indonesia, jadi kalau tante Inggrid pergi keluar kota, Aden harus selalu siap jika diminta untuk menemaninya setiap saat. Selain itu Aden akan dibelikan pakaian yang bagus dan layak untuk merubah penampilannya.

"Tugasmu enak banget lho, cuma nemenin tante doang. Nanti juga kamu bakal dapet uang jajan dari tante. Kamu bisa beli hape baru, baju yang bagus, atau nanti kalau kamu nurut sama tante, kamu akan tante belikan motor."

Tawaran tante Inggrid membuat Aden menelan ludah. Benar-benar tawaran yang sangat menggiurkan. Aden hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Tapi ia dapat melihat kalau tante Inggrid benar-benar serius. Tidak ada kebohongan di wajah tante Inggrid.

Siapa sih yang tidak mau dengan tawaran yang sangat menjanjikan itu? Kerjanya enak, tidak banyak menguras tenaga, dan juga pikiran.

Khayalan Aden langsung membayangkan betepa cerah masa depannya. Hidupnya akan segera berubah seratus delapan puluh derajat. Kemudian manik mata Aden melirik ke arah amplop yang ada di atas meja. Amplop itu berisi uang yang jumlahnya pasti tidak sedikit.

Tante Inggrid sengaja memberikan itu secara cuma-cuma kepada Aden, sebagai bukti bahawa ia benar-benar serius dengan ucapnya.

Kemudian sorot mata Aden lurus menatap wajah tente Inggrid yang sedang duduk di hadapannya. Namun Aden masih diam, dan terlihat ia sedang berpikir.

Sebagai manusia biasa, siapa sih yang tidak akan tergiur sama tawaran yang diberikan tante Inggrid. Begitupun dengan Aden, sejujurnya ia sangat ingin mengatakan 'mau'. Namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa takut dan khawatir.

"Maukan?" Tanya tante Inggrid kembali.

"Saya_"

"Jangan Den..." potong Pandu. Yang baru saja keluar dari dalam rumahnya. Pandu berjalan mendekati Aden, lalu ia berdiri tepat di samping Aden. "Gue udah denger tadi kamu dijanjiin apa sama tante Inggrid, gue harap lu bisa mikir jernih Den. Jangan langsung terima gitu aja. Hati-hati."

Aden dan tante Inggrid langsung mengalihkan pandangnya ke arah Pandu.

"Simple aja sih Ndu," tante Inggrid mengangkat kaki kanan, dan meletakan di atas kaki kirinya. Bibirnya tersenyum simpul sambil mentap Pandu, "kalo dia nggak mau artinya dia harus ganti baju tante, lagian tante cuma nawarin dia jadi assisten. Tantekan sering keluar kota, jadi butuh temen. Terus tante juga bakal bayar dia mahal. Tante cuma mau ngasih dia kerjaan aja kok." Jelas tante Inggrid dengan gayanya yang santai.

"Tapi itu nggak masuk akal tante, mana ada kerjaan assisten dengan bayaran tinggi, terus mau dibeliin motor segala. Nggak masuk akal." Ucap Pandu sambil memicingkan bibirnya.

"Itu sih terserah Aden aja," tante Inggrid membuang napas lembut kemudian ia berdiri dari duduknya. Ia berjalan meninggalkan Pandu dan Aden seraya berkata. "Itu di dalam amplop ada kartu nama dan alamat tante, besok kamu ke rumah aja. Aku tunggu jawabanmu di rumah."

Tante Inggrid berlalu sambil menenteng tas tangannya.

Pandu dan Aden saling bersitatap setelah tante Inggrid sudah brjalan jauh untuk berkumpul kembali dengan anggota arisan lainnya. Pandu menelan ludah, ia menatap Aden penuh khawatir. Sedang Aden terlihat sangat bingung, hingga keningnya berkerut.

Kemudian Pandu menjatuhkan pantatnya di kursi, yang ada di sebelah Aden. Selain cemas Pandu juga melihat Aden dengan tatapan yang iba.

"Lu nggak mau kan, terima tawaran tante Inggrid?" Tanya Pandu.

Aden membuang napas pelan sebelum menjawabnya, kemudian wajahnya yang teduh dan memelas menatap datar ke arah Pandu. "Aku nggak punya uang buat gantinya."

Ungkapan Aden membuat Pandu kembali menelan ludah, ia semakin cemas dengan kata-kata Aden yang seperti tidak punya pilihan. Artinya kemungkinan besar Aden akan menerima tawaran tante Inggrid. Terlihat Pandu mengambil HP di saku celananya. Setelah HP ia nyalakan ia melihat saldo rekening melalui aplikasi mobile bankingnya.

"Huuft..." Pandu membuang napas kasar setelah ia mengetahui sisa saldo melalui internet banking. Di rekeningnya ia hanya memiliki saldo sebesar lima juta rupiah saja. Jadi kalau ingin membantu Aden, uangnya masih kurang sangat banyak. Pandu terdiam, dan berpikir.

"Lu nggak usah khawatir, nanti gue bantu." Kata Pandu mencoba menenangkan hati Aden. "Nanti gue bisa minta tolong sama nyokap gue."

Aden tersenyum tipis, ia merasa tidak yakin ibu Veronica akan mau membantunya. Lagipula, sekalipun ibu Veronica membantu, tapi tetap saja Aden masih berhutang. Hanya pindah orang saja.

Akan tetapi jika Aden menerima tawaran tante Inggrid, ia akan terbebas dari hutang, dan justru kehidupannya akan berubah jauh lebih baik.

"Apa iya  ibumu mau bantu? Kalau pun iya, tetep aja, aku punya hutang sama ibu kamu. Uang dari mana?" Aden terlihat sangat putus asa. "Siapa tau, kalau aku kerja sama tante Inggrid nanti bisa dapet uang banyak." Aden tersenyum simpul, ia merasa akan menemukan kehidupan yang lebih layak. "Lagian orangnya juga baik ya?"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Pandu hembuskan secara perlahan. Pandu merasa bingung, harus bagaimana cara menasehati Aden.

"Tapi lu belum tau maksud tante Inggrid apaan?" Pandu mencoba untuk mengingatkan Aden. Ia benar-benar berharap Aden tidak menerima tawaran tantr Inggrid. Sekuat tenaga Pandu akan membantu Aden. "Jangan langsung ke goda sama janji manis Den... bisa aja nanti tante Inggrid minta sesuatu yang nggak lu duga. Dia udah ngasik banyak sama lu, dia bakal ngerasa punya hak sama lu, hidup lu. Gue yakin lu nggak akan bisa bebas, hidup lu dia yang bakal ngatur_"

Aden terdiam, memikirkan kata-kata Pandu yang hampir mirip sama nasehat dari kakak iparnya, Dadang.

Sedangkan Pandu berkata seperti itu tulus bukan karena ia suka sama Aden. Tetapi memang karena ia merasa kasihan, jadi meskipun orang lain, atau bukan Aden yang mengalami musibah itu, Pandu pasti akan mengatakan hal yang sama kepada orang itu.

"-lu jangan khawatir, gue pasti bakal bantu lu." Imbuh Pandu. "Lu jangan pikirin soal mau ganti uang dari nyokap gue, yang penting lu jangan ambil tawaran tante Inggrid."

Kata-kata Pandu membuat Aden bisa sedikit bernapas lega. Aden menatap teduh ke arah Pandu, dan bibirnya tersenyum simpul. "Yaudah kalau gitu, aku nggak terima tawaran tante Inggrid. Mudah-mudahan ibu kamu mau bantu ya." Ucap Aden penuh harap.

"-makasih ya Ndu, kamu baik banget ternyata." Puji Aden.

Kata-kata Aden membuat Pandu tersenyum, Pandu bisa merasa sedikit lega mendengar keputusan Aden. Kemudian secara reflek Pandu menjatuhkan telapak tangannya tepat di atas telapak tangan Aden, dan tanpa sadar ia meremasnya.

"Lu nggak usah khawatir, lagian kan gue yang nyuruh lu dateng ke sini. Se-enggaknya gue harus ikut tanggung jawab." Ucapnya tulus dan penuh dengan perasaan.

"Iya..." jawab Aden sambil melihat telapak tangannya sedang diremas-remas oleh Aden.

Kemudian Pandu tersentak dan reflek melepas cekalannya di telapak tangan Aden. "Sorry," ucap Pandu dengan raut wajah yang gugup dan terlihat salah tingkah.

Sementara Aden hanya tersenyum nyengir, sorot matanya menatap Pandu, dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.

~♡♡♡~

"Tidak!" Tegas ibu Veronica, setelah ia mendengarkan Pandu menjelaskan maksud, untuk mengajaknya berbicara berdua setelah selesai makan malam.

Ibu Veronica menolak permintaan Pandu untuk membantu Aden karena suatu alasan.

"Tujuh puluh juta itu bukan uang kecil Ndu, mami nggak bisa sembarangan kasih uang itu secara cuma-cuma. Lagian kan tante Inggrid sudah kasih tawaran sama tukang cilok itu. Kalau dia mau, semua masalah dia akan selesai." Imbuh ibu Veronica menjelaskan.

"Tapi mi, yang ditawarin tante Inggrid ke Aden itu nggak masuk akal." Ucap Pandu berusaha membujuk ibunya. "Pandu yakin kalau mami pasti tau maksud tante Inggrid itu apa. Pandu udah denger siapa tante Inggrid. Anaknya tante Inggrid itu temen Pandu, dia sering cerita sama Pandu kalau ibunya sering bawa laki-laki yang usianya jauh lebih mudah dari Desma."

Ibu Veronica membuang napas kasar, kemudian ia berdiri dari duduknya sambil melipat kedua tangan di atas perutnya.

"Itu bukan urusan kamu Ndu, kamu nggak boleh ikut campur. Itu juga bukan urusan mami. Urusan mami sama anak cilok itu udah selesi. Mami juga udah bayar dia lebih dari yang mami janjiin." Kemudian Ibu Veronica menatap wajah Pandu dengan tatapan selidik. "Lagian kenapa sih kamu maksa banget buat bantu tukang cilok itu?"

Pertanyaan ibu Veronica membuat Pandu tercekat, ia sedikit salah tingkah dibuatnya. Pandu berusaha mengatasi rasa gugupnya agar tidak ketahuan ibunya.

"Ya... dia, dia kan temen Pandu mi, Pandu nggak mau lah kalo temen Pandu jadi simpenan orang. Trus gara-gara Pandu juga dia Aden jadi ngalamin musibah kayak gini." Jelas Pandu. Ia berharap ibu Veronica bisa mengerti.

"Kamu terlalu berlebihan, pokoknya mami nggak bisa bantu temen kamu itu. Kamu nggak perlu khawatir temen kamu akan baik-baik saja. Jangan mikir yang aneh."

Ibu Veronica tidak salah dengan penolakannya untuk membantu Aden. Alasannya juga masuk akal, meskipun ia mampu membantu Aden, namun uang tujuh puluh juta bukan uang yang sedikit, ia tidak mungkin memberikan atau meminjamkan uang itu dengan orang yang tidak dikenal.

"Udah mami ngantuk, kamu juga harus istirahat." Imbuh ibu Veronica. Kemudian ia berjalan menuju kamar, meninggalkan Pandu di ruang keluarga.

Wajah Pandu terlihat putus asa, ia membuang napas kasar sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Hati-hatinya tiba-tiba gelisah saat teringat janjinya yang akan membantu Aden.

~♡♡♡~

Di kantin sekolah Pandu mengajak teman-temannya berkumpul. Ia ingin meminta bantuan Lukman dan yang lainya agar bisa bisa menolongnya.

"Gila, buat apaan duit sebanyak itu?" Jonathan terkejut, setelah Pandu menyampaikan maksudnya. "Gue nggak ada." Ucap Jonathan tanpa basa-basi.

"He... he..." Alex tertawa nyengir setelah Pandu mengalihkan perhatian padanya. Meski Pandu tidak berkata apapun tapi ia sudah bisa langsung mengerti maksudnya. "Kalau tujuh ratus ribu gue ada Ndu." Meski sangat jauh dari target, setidaknya Alex mempunyai niat untuk membantu Pandu.

"Payah lu," ketus Pandu.

Menarik napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan secara perlahan. Pandu diam sambil berpikir. Pandu tidak bertanya kepada Lukman, Aldo dan Roby, karena ia merasa sudah tahu jawabanya. Meski mereka anak orang kaya, tapi Pandu sadar jika teman-temannya masih sekolah dan belum punya penghasilan. Orang tua mereka hanya memberikan jatah bulanan untuk uang jajan saja.

"Emang buat apaan sih Ndu, kenapa lu nggak minta sama nyokap lu aja." Tanya Lukman sambil memberikan solusi.

Namun sayang solusi dari Lukman tidak bisa membantunya, karena Pandu sudah melakukannya.

"Udah, nyokap gue nggak mau bantu." Jawab Pandu. "Pokoknya gue harus dapet duit itu, gimanapun caranya." Pandu diam, terlihat ia sedang berpikir.

Sementara teman-temannya hanya diam dan memandang Pandu penuh dengan rasa penasaran.

Pandu sengaja tidak memberitahu kepada teman-temannya, akan digunakan untuk apa uang itu. Lebih tepatnya ia tidak mungkin memberi tahu, toh dikasih tahu juga percama, mereka tetap tidak bisa membantu.

"Kalian bisa bantuin gue cari kerjaan nggak?" Ucap Pandu sambil mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya.

"HAH!?"

Ucap Lukman dan yang lainya. Mereka semua seperti tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

Siguiente capítulo