webnovel

Erat

Aku merelakanmu pergi

jangan pernah berpikir untuk kembali

tidak dirimu, tidak juga hatimu

tidak bayangmu, tidak pula kenanganmu

*****

Alaska memandang gadis di depannya dengan takjub.

Kenapa dia tampak lebih cantik dari biasanya?

Rasa hangat menjalar di dada lelaki itu, bahkan terus naik hingga ke wajahnya.

Oh My God, baru kali ini aku bisa mengagumi keindahan cipta-Mu.

Biasanya Alaska tidak terlalu mempedulikan wajah gadis yang dikencaninya. Bentuk tubuh dan cara berpakaian lebih banyak menyedot perhatian. Muka urusan ke sekian. Toh tinggal dipoles dengan make up, beres.

Sebuah keputusan nekat yang sudah ia buat, menjadi pacar Embun, sekalipun gadis itu belum menaruh hati padanya. Tapi baru kali ini, seorang Alaska merasa sangat yakin juga mantap untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita.

Mereka berdua sedang duduk di sebuah warung bambu bergaya lesehan yang kali ini nampak lengang. Mungkin karena ini hari kerja, jadi tidak banyak pengunjung atau pelancong berwisata ke kawasan itu.

Karena konsep tempat ini semi outdoor, jadi masih bisa menikmati pemandangan alam nan cantik di sekitarnya.

Persis di samping kanan Embun, bisa melihat hamparan sawah yang luas, juga sebuah sungai yang cukup lebar di tengah. Gemericik airnya bahkan bisa terdengar sampai warung. Jauh di ujung pandangan, nampak barisan bukit-bukit berjajar acak tapi tetap terlihat menawan. Hasil Sang Pencipta yang mungkin sedang ingin membuat karya seni dengan aliran abstrak.

"Ngapain liatin aku kayak gitu?" Dari sudut mata, Embun tahu bahwa Alaska sedang mengamati dirinya.

Gadis itu memang sedang menoleh ke arah sawah, menikmati pemandangan elok yang tentu sulit untuk ia temui di kota metropolitan seperti Jakarta.

"Lo cantik," jawab Al singkat.

Entah kenapa mulut Al terasa kaku. Hanya dua buah kata itu yang mampu ia ucapkan.

"Dari dulu kali. Kamu aja baru nyadar sekarang. Ke mana aja selama ini?" Embun tergelak menggoda Al.

Tumben pria ini terlihat kikuk dan wajahnya bersemu merah. Embun balas memandang Alaska. Lelaki itu segera menundukkan kepala. Tak sanggup berbalas tatap dengan gadis yang ia cintai.

"Hahaha. Astaga, kamu kenapa jadi kayak gini sih, Al?"

Embun sungguh heran dengan perubahan drastis pria yang sudah dikenalnya hampir dua tahun ini.

"Nggak tahu, aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri, Mbun. Belum pernah aku berasa malu, kikuk, dan kaku kayak gini sama cewek. Anjrit dah," keluh Al sembari makin menundukkan kepalanya.

Embun tersenyum. Dengan lembut ia mengusap rambut di atas kening Al sambil berucap, "Thanks ya Al, kamu sudah mau berubah. Kita bisa sama-sama mencoba untuk berubah jadi orang yang lebih baik, kalau mau hubungan ini berhasil."

Al mengangkat wajahnya dan balas tersenyum.

"Aku yang makasih banget sama kamu, Mbun. Kamu mau nerima cowok badung kayak aku ini," ujarnya kalem.

"Cie cie, sekarang udah pake aku dan kamu bahasanya." Embun tertawa terbahak-bahak.

"Asem kamu. Iya, mulai sekarang aku nggak pake lo gue lagi. Kan kamu calon istriku." Al mencoba melawan rasa malunya.

Pesanan mereka datang. Rica-rica mentok pedas, tempe penyet, juga ada iga bakar yang baunya sudah membuat cacing di perut menggeliat tak sabar untuk bersantap bersama seluruh keluarga.

Khas sunda, lalapan dengan beberapa jenis sayur. Ada terong, kubis, selada, kemangi, kacang panjang, timun, dan tomat. Wah, membuat air liur meronta untuk menetes. Untung saja Embun dan Al masih bisa mengendalikan bibir mereka.

"Makasih ya, Mbak," ucap Embun pada pelayan warung.

"Ya, sama-sama. Silahkan," jawab si eneng pelayan.

"Pas banget ya, hawa dingin gini, makan pedas." Al segera mengambil nasi dan lauk, buru-buru mengisi perutnya.

"Uf, enak banget. Suer," ucap Al dengan mulut masih penuh makanan.

"Makan pelan-pelan." Embun mengingatkan.

Gadis itu tersenyum melihat tingkah Al yang sering seperti anak kecil. Hanya soal hasrat terpendam saja dia jauh lebih dewasa dari Embun.

Hmmm, ternyata memang enak banget masakannya, kata Embun dalam hati.

"Hebat kamu, Al. Tempat ini memang keren. View-nya bagus, masakannya juga mantap," puji Embun.

"Ya dong, Alaska Abithama. Eh, ngomong-ngomong, kalau kita nikah nanti, namamu jadi Embun Swastika Abhitama. Keren ih." Al tertawa sendiri.

"Dih, kejauhan ngayalnya," seru Embun ikut tertawa.

"Kenapa, emang kamu nggak mau nikah sama aku? Jadi sekarang siapa yang suka mempermainkan hati orang? Kamu cuma main-main ya sama aku?" Alaska langsung cemberut.

"Astaga, dasar bocah. Aku nggak main-main. Tapi masih jauh untuk berpikir menikah. Aku mau selesaikan dulu semua masalah-masalah, kuliah kelarin dulu, nabung, banyak deh. Bukan asal nikah aja."

Embun menggelengkan kepalanya. Alaska masih terlalu menuruti nafsu dan keinginan. Belum mau berpikir panjang dan jauh ke depan.

"Tahun ini aku mau daftar kuliah," ucap Al.

Embun terbatuk-batuk dan segera meraih gelas minuman.

"Kamu kenapa? Aku disuruh makan pelan-pelan, malah kamunya yang batuk-batuk." Al memandang Embun dengan heran. Tidak biasanya gadis ini sembrono sampai tersedak.

"Aku tersedak saking kagetnya dengar omongan kamu, Al. Serius kamu mau kuliah? Dalam rangka apa?" Tentu saja Embun heran. Pria yang selama ini selengekan dan hanya mau hepi-hepi, tiba-tiba mengatakan mau kuliah.

"Dalam rangka ... merangkai masa depan bahagia denganmu. Aseeeeek," ucap Al.

Rupanya sudah mulai kumat lagi badungnya lelaki ini.

"Aku serius, Al." Embun melotot sebal.

"Aku juga serius, Mbun sayang. Aku mau kuliah, dan mulai nabung, juga merencanakan masa depan kita. Waktu berjalan cepat. Dalam sekedip mata, tiba-tiba sudah satu tahun, dua tahun. Kalau nggak dipikirkan dari sekarang, kita bakal ketinggalan. Tergerus oleh putaran masa. Tersingkir oleh arus jaman."

Pria itu mengoceh sambil bergaya ala orang berdeklamasi puisi.

"Kamu kesambet jin di kawah putih tadi ya?"

Embun terkekeh melihat gaya tengil Al.

"Aku serius kok, Mbun. Aku nggak mau kecewain kamu. Aku mau kuliah memperdalam ilmu masak memasak. Pengen bisa jadi chef handal, lalu kita buka guesthouse dan cafe nantinya. Kita kelola sendiri, berdua. Aku mau kita bahagia, walau mungkin nggak bergelimang harta. Tapi kita tidak akan kekurangan." Kali ini Al mengucapkan semua itu dengan gaya dan mimik muka serius.

"Amin. Semoga jin baik yang merasukimu hari ini nggak pergi-pergi deh," jawab Embun.

Al tersenyum dan melanjutkan makan.

Embun menatap lekat sosok Al di hadapannya. Pria tampan, yang dulu sangat badung, sepertinya sekarang sudah jadi dewasa. Ternyata cinta memang mampu mendewasakan seseorang.

Lengkap sudah kesempurnaanmu sebagai seorang pria, pikir Embun.

Seperti ini rasanya bersama kekasih. Semilir angin dingin yang memagut sekujur kulit, tak mampu menepis rasa hangat di dalam diri. Kehangatan cinta yang kini sedang memeluk mereka berdua.

Rengkuh aku selamanya, dalam dekapmu cinta. Kalau memang harus jatuh ... cinta, ijinkan aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Untuk bisa mencintamu sedalam-dalamnya.

Aku tak lagi takut untuk terluka. Terluka karena mencinta dan dicinta. Kuambil resiko itu, asalkan denganmu, selagi bisa bersamamu. Karena melepasmu, tak hanya akan melukaiku, tapi meleburkanku. Hancur tak lagi bersisa.

Kenapa aku belum bisa merasakan cinta sedikit pun pada pria ini? Dia sudah terlampau sempurna untuk gadis sepertiku. Tuhan, ijinkan aku mencintanya. Berikan rasa itu padaku. Aku mohon kali ini. Bukankah jodoh datang karena meminta dan diminta? Kini aku meminta pada-Mu, Yaa Rabb-ku. Karena dia pun telah memintaku.

Siguiente capítulo