webnovel

Situasi Aman Terkendali

Pukul delapan kurang lima menit sekarang. Hanjo tiba di kantor. Sudah menjadi kebiasaannya, bila tidak ke luar kota atau tak ada kegiatan bisnis pagi hari, menjelang pukul 08.00 ia sudah berada di kantor.

Disiplin dan mengikuti aturan perusahaan baginya sangat penting. Salah satunya soal jam masuk dan pulang kantor. Tidak ada alasan untuk datang terlambat atau pulang lebih cepat. Ia menekankan hal itu kepada segenap karyawan.

Tidak ada yang berubah dengan kantor. Masih lancar lift untuk naik ke atas. Kantor masih berada di lantai 10. Karyawan pun beraktivitas sebagaimana biasa.

Tiba di ruangan, para karyawan dan karyawati memberi salam selamat pagi. Tersenyum menganggukan kepala. Ada juga beberapa yang mendekati Hanjo mengulurkan tangan. Mau bersalaman. Hanjo hanya angkat kedua tangan. Begitu cara dia menyambutnya.

"Pagi Pak Bos CEO," sambut Sarita dan Riena serentak. Keduanya adalah sekretaris Hanjo. Putri, sekretaris Mamoi seringkali juga diberinya pekerjaan. Makanya, ketiganya dikenal orang sebagai sekretaris CEO.

Hanjo duduk. Di atas meja bertumpuk sejumlah kertas dan map. Tiga hari ia tidak masuk kerja. Tentu banyak berkas dan surat-surat yang belum ditandatanganinya. Tanpa perlu membaca lebih seksama, ia membubuhkan tanda tangan. Toh, sudah diperiksa sekretaris dan juga manejer masing-masing sebelum sampai ke mejanya.

Hanjo melirik kekiri. Ke ruang sebelah yang berbataskan kaca dengan ruangannya. Ops! Memang ada yang berubah, bathinya. Ruangan sebelah itu kosong. Tidak orang yang duduk di belakang meja kerja yang berbentuk oval itu.

Itu adalah ruangan Mamoi. Selain sebagai owner atau pemegang saham, Mamoi juga menjabat Komisaris Utama. Sesuai dengan jabatan sebagai Komut, Mamoi lebih banyak mengawasi jalannya perusahaan. Tidak ikut lagi dalam operasional. Tapi selaku pemegang saham ia juga punya kewenangan memecat CEO.

Lama Hanjo memandangi ruangan itu. Meja oval berwana coklat kayu itu kosong. Tidak ada apa pun di atasnya.

Persis di belakang tempat duduk Mamoi terpampang lemari arsip. Menutupi lebih separuh dinding. Di rak yang tanpa tutup terlihat sejumlah aksesoris, buku, dan bundel arsip. Di depan meja agak ke samping kanan ada meja rapat. Meja beralaskan kaca dengan enam kursi.

Di samping meja dekat dinding terdapat meja kecil panjang. Ada peralatan kantor di sana. Telepon, rak kertas susun akrilik, tempat alat tulis kantor serta tempat map. Di bagian tengah ada pigura foto berukuran 4R. Foto close up Mamoi dengan senyumannya.

Hanjo membalas senyuman Mamoi itu. Namun ia segera memalingkan kepala. Beberapa saat kemudian Hanjo memanggil sekretarisnya melalui intercom. Riena yang datang. "Ya, Pak Bos CEO. Ada yang perlu saya kerjakan?" tanyanya.

"Ruangan Ibu Komut jangan dikunci. Buka seperti biasa. Dan jangan ubah posisi yang ada sekarang," perintahnya dengan mata tetap di ruang sebelah.

"Ya, Pak Bos CEO."

"Kamu bilang juga sama OB."

"Oke," jawab Riena mengikuti pandangan Hanjo ke ruang sebelah." Ada lagi, Pak Bos CEO?"

Hanjo menggeleng. Tiba-tiba saja munculnya dalam kepalanya. Dia akan membiarkan ruangan itu. Tidak akan ditutup. Apalagi membongkar atau memfungsikan sebagai ruangan lain. Pikirannya, itu salah satu bentuk penghormatan terhadap istrinya yang sudah tiada. Tidak mengusik ruangan dan barang-barangnya.

Hanjo teringat dengan janji bersama Lucya dan Melina. Tapi mereka belum menghubungi. Dalam hal ini Hanjo bersikap pasif saja. Menunggu. Menunggu telepon atau menunggu kabar tidak jadi.

Ia malah teringat pula dengan Hardiman Pulungan, temannya yang sudah S2 dan buka praktek pengacara. Hanjo meraih HP dan menghubunginya. "Ke Dubes Belanda yuk, Bro," ujarnya seraya mematikan HP.

Meski hanya satu kalimat saja, namun itu lebih dari cukup. Hardiman, konconya dari SMA dan tidak putus hubungan perkawanan mereka hingga sekarang. Ia pasti tahu kenapa diajak ke Dubes Belanda.

Hanjo segera ke luar ruangan. "Aku ada urusan ke Dubes Belanda. Kalau ada agenda kensel dulu. Urusan penting," ujar Hanjo pada Sarita.

Sarita mengangguk. "Siap, Pak Bos CEO!" Meski tidak tahu untuk urusan apa, namun pikir Sarita, ke Dubes Belanda tentu hal yang penting. Bahkan amat sangat penting.

Hanjo bergegas turun dan mendapatkan Karim tengah tidur dalam mobil. "Ke Dubes Belanda kita," perintah Hanjo begitu Karim sudah berada di depan setir. Mobil pun melesat segera.

Begitu mobil sampai di depan Kantor Keduataan Besar Belanda, Hanjo melarang Karim masuk halaman kantor. Ia minta diturunkan di pinggir jalan saja. "Kau balik ke kantor, nanti kutelpon kalau sudah selesai," ujarnya pada Karim.

Karim bingung. Kenapa si bos minta diturunkan di jalan. Tidak mau di antar sampai ke depan kantor yang ditujunya. Namun ia juga takut untuk bertanya. Ia kembali berjalan dengan geleng-geleng kepala.

Hanjo tidak masuk ke Kantor Dubes. Ia terus berjalan melewatinya. Persis sebelah Kantor Dubes Belanda, ia masuk bangunan ruko berlantai tiga yang sudah berlapis petak-petak kaca hitam. Di ruko bagian tengah, terbaca tulisan dalam lingkaran berwarna putih: Coffee100%.

Hanjo tersenyum memandang bangunan itu. Kawan-kawannya SMA dulu pasti paham bila disebutkan mau ke Dubes Belanda. Maksudnya adalah coffee shop di sebelah kantor Dubes itu. Bukan ke kantor perwakilan negara asing itu. Ngapain ke sana.

Ternyata kalah duluan Hanjo. Sudah ada Hardiman di meja bundar kecil sebelah pinggir depan. "Tumben. Bro yang duluan," sapa Hanjo.

Hardiman menjawab dengan senyuman kekeh lebar. "Tentulah. Apalagi ini ke Dubes. Aku pun sudah lama tak ke sini," ujarnya dengan suara baritone.

Selera mereka tidak jauh beda. Sama-sama suka dengan kopi hitam original. Tanpa tambahan apa-apa. Kecuali madu secukupnya.

"Bagaimana situasi setelah Komut meninggal? Masih aman terkendali?" tanya Hardiman setelah ia menyuruput kopi hitam di cangkir porselen kecil.

"Kalau situasi masih terkendali."

"Tak terkendali apa?" tanya Hardiman langsung pada pokok persoalan.

"Soal anak-anak Mamoi. Mereka mulai mengusik keberadaan aku."

Hardiman memperbaiki posisi duduknya. "Wah, menarik ini. Coba jelaskan, Bro."

"Mereka punya surat wasiat dari Mamoi. Mereka mengajak aku pergi ke notaries untuk membuka surat tersebut. Kata notaris untuk mengambil dan membukanya harus ada tiga orang. Aku dan kedua anak Mamoi," tutur Hanjo.

"Bagus itu. Bro sendiri juga mendapatkan surat wasiat itu kan? Nanti bisa dilihat bersama-sama bagaimana isi kedua surat itu. Itulah yang mesti dilakukan."

"Tapi aku masih ragu," ujar Hanjo yang merasa belum yakin sepenuhnya ia mampu menerima isi surat wasiat itu.

"Kenapa? Ragu soal apa?"

"Soal isinya."

"Maka harus datang. Lihat bersama-sama. Lalu laksanakan semua apa yang disebutkan dalam surat wasiat itu."

"Temani aku. Berdua kita pergi." Hanjo berharap Hardiman bisa membantunya.

"Boleh. Kapan itu?" tanya.

"Mungkin besok atau lusa."

Siguiente capítulo