webnovel

Max Melawan Kabut

Gunung menahan udara keluar. Menyebabkan udara hangat dan lembab saling melewati dan bersentuhan dengan permukaan dingin. Uap air mengembun sampai tercipta bekuan di permukaan padat. Puncak Gunung dan Hutan Terlarang ditutupi awan, tetesan-tetesan air yang tebal berkumpul seperti awan bergerak lambat dan berat. Dalam waktu singkat, semua permukaan yang ada di gunung diselimuti oleh es, termasuk Hutan Bambu Gila.

Max sedang berada di antara kabut dan tumbuhan bambu gila itu. Dia duduk bersila dan memikirkan cara apa yang paling tepat agar bisa keluar dari situasi itu. Dia tak bisa melihat apapun selain kabut saat itu. Padahal baru beberapa menit lalu, dia masuk ke Hutan Bambu Gila tanpa kesulitan yang berarti. Melalui kerapatan Bambu Gila memang cukup sulit, tapi keluar dari kabut lebih sulit.

Kabut adalah bagian dan merupakan kekuatan murni alam semesta. Terbentuk oleh suatu sebab akibat murni dari sistem alam semesta yang Maha Besar. Apakah ini ujian pertamaku karena sekian tahun berdiam diri? mungkinkah ini bagian dari menguji kembali kemampuanku sebagai pemimpin Pegunungan Sakral? Berbagai macam pertanyaan jadi berkelebat di pikiran Max.

Max menimbang-nimbang situasi. Melihat dan menunggu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka bisa di sini dalam waktu yang sangat lama. Dia juga ingat perkataan Tuan Pertapa yang intinya coba buktikan kalau kau memang pemimpin sejati. Max menghela nafas, "Mempertahankan diri sebagai pemimpin sejati itu berat," katanya dalam hati. Dia mengingat bagaimana dulu dia diuji.

"Sepertinya hanya itu satu-satunya cara untuk melawan kabut, ini seperti melawan keraguanku sendiri," Max membulatkan tekad.

Kabut berjatuhan ke permukaan kulitnya. Terasakan seperti jutaan jarum menusuk beramai-ramai tanpa ampun. Max mulai menggigil saat baru saja memejamkan mata. Dia bertekad menggunakan meditasi pembunuh setan untuk melewati ujian kabut itu. Beberapa detik setelah mencoba memusatkan konsentrasi, dia mendengar bisikan di telinganya. Bisikan perempuan lelembut penghuni kabut.

"Sedang apa kau di sini? bukankah seharusnya seorang pangeran tidak mendatangi tempat ini seorang diri? di mana para pengikutmu? ah, apa kau kehilangan pengikut?" lelembut memeluk Max.

"Waw ... aromamu sangat enak," bisik lelembut, "Bagaimana kalau kamu selamanya tinggal di sini? Aroma dan auramu bisa memberi warna pada tempat ini. Para pertapa selalu di dalam goa, padahal mereka juga punya warna-warna yang menarik, jika mereka semua keluar, tempat ini akan terlihat berbeda," kata lelembut yang kemudian disusul tawa. "Bukan hanya indah, tapi juga akan ada pertunjukan yang menarik, siapapun yang menginjakkan kaki di sini akan segera menyerap racun," lelembut melembutkan suaranya lagi di telinga Max, "Kamu tahu itu kan ... para pertapa itu sangat beracun. Mereka bicara dengan lidah bercabang, bisa membuat semua makhluk manapun ketakutan pada diri sendiri, lalu membunuh diri sendiri, para pertama bahkan tak perlu menggunakan taring untuk membunuh, mereka tak perlu menggunakan racun, tapi kalau mereka sampai menggunakan racun, tamatlah riwayat semua makhluk. Hei ... kamu tidak mendengarku?" lelembut menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh leher Max.

"Humm..... lehermu kelihatan enak," lelembut menjilatnya. "Ah! kau!" lelembut melepas pelukannya dan dengan wajah murka dia menjauh dari Max. Melianor meninggalkan tanda di leher Max, tanda itu bisa dikenali oleh makhluk seperti lelembut itu.

Perempuan lelembut itu berputar membentuk pusaran angin berwarna putih karena tubuhnya yang terdiri atas kabut tebal. Dia bergerak naik sampai menembus kerapatan pohon bambu, kemudian menukik turun seperti elang akan menangkap mangsanya dari permukaan air. Lelembut yang murka menggerakan kedua tangannya untuk mencekik leher Max.

"Kau masih berhubungan dengannya! mati saja kau disini!"

Lelembut itu mencekik leher Max. Matanya yang putih melotot menatap kedua mata Max yang terpejam. Perempuan lelembut itu mengatupkan rahangnya. Wajahnya yang putih menggumpal berubah mengeras menjadi es. Max tidak merespon sedikitpun.

"Aku membenci perempuan itu dari awal sampai akhir," lelembut bicara dengan gigi yang bergemeretak.

"Aku tak mengerti kenapa kamu membencinya," Max bicara dengan tenang menggunakan pikirannya saja pada lelembut itu. Mendengar respon dari Max yang tidak khawatir sedikitpun, lelembut itu mengencangkan cengkeramannya.

"Kamu membenci tanpa tahu alasannya?" Max meneruskan.

Lelembut itu mengamati wajah Max. Untuk beberapa saat, cengkeramannya mengendur.

"Karena kami telah bersaing sejak dulu. Aku akan membuatmu tinggal di sini, selamanya!"

"Maaf, tapi aku punya urusan yang lebih penting sebagai putra Anjing Neraka," ucap Max dengan tegas.

Perempuan lelembut melepaskan cengkeramannya ketika mendengar ketegasan Max. Dia berputar mengamati Max. Dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Kemudian dia berhenti tepat di depan Max. Dia mengulurkan jari telunjuknya ke dada Max.

"Humm, kamu memang putranya, karena itu aku ingin kau di sini, tapi baiklah, aku akan membiarkanmu melakukan tugasmu. Meskipun begitu, aku menyukai mereka, jadi kau harus bekerja keras untuk membuat mereka bersedia ikut denganmu."

"Aku tahu kamu pasti segera mengklaim mereka jadi milikmu dan takkan mengembalikan mereka begitu saja, karena itu katakan padaku di mana mereka dan aku akan membujuk mereka."

"Kamu saja punya banyak keraguan, bagaimana mungkin kamu bisa melakukannya. Biarkan saja mereka di sini, aku akan melindungi mereka."

"Tidak. Jika para Rang Rang bersedih, akan buruk akibatnya."

"Kau hanya memikirkan mereka? kau tidak memikirkanku? aku juga ingin punya teman di sini!"

"Kamu memiliki para pertapa."

Mata perempuan lelembut itu memicing. "Mereka selalu di bawah tanah," gerutunya. "Tak ada yang mau bermain denganku," tiba-tiba dia menangis. Karena itu, energi depresi segera memenuhi tempat itu. Pohon bambu yang tadinya seolah sudah mati merespon tangisnya. Dengan cepat, suara-suara mirip perempuan-perempuan mengomel bersahut-sahutan. Mereka seperti sedang menuding Max sebagai biang keladi ketidakadilan dunia pada perempuan lelembut itu.

"Kenapa aku tercipta seperti ini?" perempuan lelembut itu meraung.

Max menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya melalui mulutnya. Udara hangat yang keluar dari paru-parunya perlahan-lahan menghentikan raungan perempuan lelembut. Perempuan itu menatap Max. Dia lalu menikmati aroma nafas Max.

Wajah perempuan lelembut yang tadinya putih pucat dengan nuansa melebihi mayat berangsur-angsur memiliki percikan api. Molekul udara hangat menyentuh lengannya. Dia merasakan kehangatan yang diberikan oleh Max.

"Apa kamu bisa datang ke sini setiap hari?"

"Tidak," jawab Max, tegas.

Perempuan lelembut kecewa, tapi dia mengetahui Max punya tugas yang sangat banyak.

"Bagaimana kalau setahun sekali? cukup setahun sekali, aku akan tetap tenang. Jika kamu tidak datang, aku akan mengubah seluruh dunia menjadi es. Aku ingin merasakan kehangatan ini lagi, walaupun cuma setahun sekali, aku akan bersabar."

"Jika aku memberikannya secara rutin setahun sekali, apa yang akan kamu berikan pada dunia?"

Perempuan lelembut itu berpikir.

"Kesuburan, aku juga bisa membuat tanah menjadi subur, air menjadi penuh oksigen, udara bersih, api yang ganas menjadi lembut."

"Dengan kata lain, kamu akan mempertahankan keberadaan dan keseimbangan hutan?"

Perempuan lelembut itu mengangguk. Kemudian, Max mempertimbangkan kelebihan dari tawaran perempuan lelembut itu.

Terima kasih sudah menyimak sampai sejauh ini.

Apakah menurutmu Max selingkuh?

salam

Mutayacreators' thoughts
Siguiente capítulo